Selasa, Januari 08, 2013

PEDAGOPHONETICS

Pedagophonetics: suara yang di keluarkan oleh seorang guru ketika mengajar memiliki pengaruh terhadap keberhasilan peserta didik dalam menerima materi pelajaran. karena suara seorang guru ketika mengajar itu seakan-akan seperti alunan musik. (pen- segmen, intonasi, akustik)
Pedagophonetics : Suara guru memiliki potensi untuk mensugesti peserta didik supaya peserta didik mampu untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh seorang guru. (Sugestopedia)
Pedagophonetics : unsur yang terpenting dalam menyampaikan materi seorang guru harus bisa menguasai tempat.

Selasa, November 27, 2012

Ilmu Bahasa Itu Penting!!!

Ilmu Bahasa Itu Penting!!!!
(munaqo)

(Pertikaian antara Iblis dan Malaikat Untuk Merebutkan sebuah Ilmu Bahasa dari Allah)
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS. AL Baqarah 33)
(*teori tentang Pembelajaran Bahasa (Belajar Kosakata)

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah 37)
(*Muncul Teori Pragmatik) (Dari Kata ke kalimat)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
(QS. Ar Rum : 22)

(*Teori Komunikatif)

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ibrahim : 4)
(*Teori Komunikatif)

Rabu, Oktober 03, 2012

INSTRUMEN PENELITIAN

INSTRUMEN PENELITIAN
MUHAMMAD NANANG QOSIM


BAB I
Pendahuluan
    Instrumen merupakan Alat yang di pakai untuk mengerjakan sesuatu sarana penelitian (berupa perangkat tes dsb) untuk memperoleh data sebagai bahan pengolahan. (Kamus Besar indonesia edisi ketiga Hal: 437).
    Penelitian adalah kegiatan pengmpulan, pengolahan analisa dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prisip umum. (Kamus Besar indonesia edisi ketiga).
    Instrumen penelitian merupakan alat yang dipakai suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suau hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prisip umum.













BAB II
Pembahasan
Keberhasilan penelitian banyak ditentukan oleh instrumen yang digunakan, sebab data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaa penelitian (masalah) dan menguji hipotesis  diperoleh mellui instrumen. Instrumen sebagai alat pengumpul data harus betul-betul empiris sebagaimana adanya. Data yang salah atau tidak menggambarkan data empiris bisa enhyesatkan peneliti, sehingga kesimpulan penelitian yang ditarik atau dibuat peneliti bisa keliru.  Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam menyusun instrumen penelitian, antara lain :
1.    Masalah Variabel yang diteliti termassuk indikator variabel, harus jelas dan spesifik sehingga dapat dengan mudah menetapkan jenis instrumen yang akan digunakan.
2.    Sumber  data/informasi baik jumlah maupun keragamannya harus diketahui  terlebih dahulu sebagai bahan atau dasar dalam menentukan isi, bahasa, sistematika item dalam instrumen penelitian.
3.    Keterandalan dalam instrumen itu sendiri sebagai alat pengumpulan data baik dari keajegan, kesahihan maupun objektivitasnya.
4.    Jenis data  yang diharapkan dari penggunaan instrumen harus jelas, sehingga peneliti dapat memperkirakan cara analisis data guna pemecahan masalah penelitian.
5.    Mudah dan praktis digunakan akan tetapi dapat menghasilkan data yang diperlukan.
Apabila mengkaji hakikat instrumen penelitian, peneliti sebaiknya memperhitungkan terlebih dahulu jenis data manakah yang diperlukan dalam penelitian. Apakah data kuantitatif atau data kualitatif? Apakah data nominal, ordinal, interval atau data rasio ? apakah data primer atau data sekunder? Data kuantitatif data yang berkenaan dengan jumlah atau kuantitas, yang dapat dihitung dan simbolkan dengan ukuran-ukuran kuantitas.  Data kualitatif berkenaan dengan nlai kualitas seperti baik, sedang, kurang, dan lain-lain. Data kualitatif jika perlu dapat disimbolkan dengan ukuran-ukuran kuantitatif, asal ada kriteria yang jelas dan ajeg penggunaannya.
    Data nominal adalah data kategori, yakni klasifikasi atau penggolongan. Data ordinal adalah data yang memiliki penggolongan dan urutan (order) berdasarkan kriteria tertentu, misalnya ranking, nomor urutan. Data interval adalah data yang memiliki sifat penggolongan, urutan, dan harga atau nilai.
    Misalnya data mengenai prestasi belajar. Data rasio adalah data yang memiliki sifat-sifat kategori, ordinal, interval, dan memiliki standar yang pasti. Misalnya, data hasil pengukuran dengan alat yang baku seperti meter untuk ukuran panjang, kilogram untuk ukuran berat, celcius untuk ukuran suhu dan lain-lain. Data primer adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, sedangkan data sekunderdiperoleh dari tangan kedua seperti laporan, dokumentasi, nilai rapot, nilai ujian dan lain-lain.
A.    Jenis-jenis Instrumen
Instrumen penelitian sebagai alat pengumpul data , dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain :
1.    Tes
Tes adalah alat pengukur yang berharga bagi peneitian pendidikan. Tes ialah seperangkatseperangkat rangsangan (stimulus) yang diberikan kepada seorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dapat di jadikan dasar bagi penetapan skor angka. Persyaratan pokok bagi tes adalah Validitas dan reliabilitas. Dua jenis tes yang sering dipergunakan sebagai alat pengukur adalah :
a.    Tes lisan, yaitu berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara lisan tentang aspek-aspek yang ingin diketahui keadaannya dari jawaban yang diberikan secara lisan.
b.    Tes tertulis, yaitu berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara tertulis tentang aspek-aspek yang ingin diketahui keadaannya dari jawaban yang diberikan secara tertulis. Tes tertulis ini dibedakan dalam dua bentuk yaitu ;
(1)    Tes essay (essay test) yaitu tes yang menghendaki agar testee memberikan jawaban dalam benuk uraian atau kalimat-kalimat yang disusun sendiri.
(2)    Tes objektif adalah suatu tes yang disusun di mana setiap pertanyaan tes disediakan alternatif jawaban yang dipilih. Tes ini dapat menghasilkan skor konstan, tidak tergantung kepada siapa pun yang memberi skor tidak dipengaruhi oleh sikap subjektivitas. Tes subjektif diberi ke dalam beberapa bentuk berikut ini :
(a)    Tes betul-salah (true false items)
(b)    Tes pilihan Ganda (multiple choice items)
(c)    Tes menjodohkan (matcing items)
(d)    Tes melengkapi (completion items)
(e)    Tes jawaban singkat (short answer items)
(Mechrens dan Lechman, 1975)
Dilihat dari tingkatannya tes dapat diklasifikasikan menjad dua tes baku dan tes buatan penliti sendiri. Tes baku adalah tes yang dipublikasikan dan telah disiapkan oleh para ahli secara cermat sehingga norma-norma perbandingan, validitas, reliabilitas dan petunjuk pemberian skornya telah di uji dan disiapkan. Tes buatan sendiri, agar dapat dipergunakan sebagai alat pengukuran perlu diperhatikan beberapa hal berikut :
(1)    Tes harus valid
Tes disebut valid apabila tes tersebut benar-benar dapat mengungkapkan asek yang diselidiki secara tepat, dengan kata lain harus memiliki tingkat ketepatan yang tinggi dalam mengungkap aspek-aspek yang hendak diukur.
(2)    Tes harus realiabel
Tes dikatakan reliabel apabla tes tersebut mampu memberikan hasil yang relatif tetap apabila dilakukan secara berulang pada kelompok individu yang sama. Dengan kata lain tes itu memiliki tingkat ketetapan yang tinggi dalam mengungkap aspek-aspek yaang hendak diukur.
(3)    Tes harus objektif
Tes dikatakan objektif apabila dalam memberikan nialai kuantitatif terhadap jawaban, unsur sobjektivitas penilai tidak ikut mempengaruhi.
(4)    Tes harus bersifat diagnostik
Tes bersifat diagnostik apabila tes memiliki daya pembeda dalam arti mampu memilah-milah individu yang memiliki kemampuan yang tinggi sampai dengan angka terendah dalam aspek yang akan diungkap. Untuk itu harus dilakukan perhitungan tingkat kesukaran butir tes dan analisa butir tes. Tingkat kesukaran berupa indeks P = 100 dari satu butir tes yang termudah sampai indeks P = 0,00 dari satu item tes yang tersukar. Keadaan ini harus tersebar sedemikian rupa di dalam tes. Penyebarannya disarankan sebagai berikut 20% butir tes yang sukar 50% butir tes yang kesukarannya sedang, dan 30%butir tes yang mudah.
(5)    Tes harus efesien
Tes yang harus efesien yaitu tes yang mudah cara membuatnya dan mudah pula penilainnya.

2.    Wawancara dan kuisioner
Salah satu cara untuk memperoleh data ialah dengan jalan mengajukan pertanyaan. Wawancara dan kuesioner memakai pendekatan ini. Instrumen ini dapat digunakan untuk mendapatkan informasimengenai fakta, keyakinan, perasaan, niat, dan sebagainya. Meskipun wawancara dan kuesioner sama-sama menggunakan pendekatan bertanya, kedua metode tersebut mempunyai perbedaan penting.
a.    Wawancara adalah metode pengumpulan data yang sudah mapan dan yang, karena beberapa sifatnya yang  unik, masih banyak dipakai. Salah satu aspek wawancara yang terpenting ialah sifatnya yang luwes. “Rapport”  atau hubungan baik dengan orang yang diwawancarai dapat memberikan suasana kerjasama, sehingg memungkinkan diperolehnya informasi yang benar. Pewancara dapat mempertimbangkan macam orang yang diwawancarai serta situasi ketika wawancara itu dilakukan. Pewancara dapat menguraikan pertanyaan atau menjelaskan maksud pertanyaan it sekiranya pertanyaan tersebut kurang jelas bagi subjek. Kelebihan-kelebihan ini tidak terdapat dalam teknik pengumpulan data yang lain.
b.    Kuesioner
Kontak langsung dengan para subjek yang diperlukan dalam wawancara memakan banyak waktu serta mahal biayanya. Banyak informasi yang sama dapat dikumpulkan dengan perantaraan daftar pertanyaan tertulis yang diberikan kepada para subjek. Dibandingka dengan wawancara, daftar pertanyaan atau kuesioner tertulis ini lebih efesien dan praktis, serta memungkinkan digunakannya sampel yang lebih besar. Kuesioner banyak digunakan penelitian pendidikan. Keuntungan selnjutnya teknik ini adalah, karena semua subjek diberi instruksi yang sudah baku, maka hasil-hasil penelitian itu tidak akan diwarnai oleh penampilan, suasana perasaan, atau tingkah laku peneliti.
Yang Perlu Diperhatikan Dalam Membuat Kuesioner
•    Pakai bahasa yang sederhana, yang mudah dimengerti oleh responden, hindari menggunakan bahasa yang sulit dimengerti
Contoh:
•    Apakah Ibu mengikuti program ASI Eksklusif?
•    Apakah Ibu memberikan makanan tambahan selain ASI pada bayi ibu? (lebih mudah dimengerti)

3.    Daftar infertory
Mendapat ukuran kepribadian adalah bidang lain yang menarik perhatian para peneliti pendidikan. Ada beberapa jenis ukuran kepribadian , masing –masing mencerminkan sudut pandang teoritis yang berlainan. Sebagian mencerminkan teori tentang sifat dan jenis (traith and type theories), sedang yang lain berasala dari teori psikoanalitis dan motivasi. Peneliti harus mengetahui secara tepat lebih dulu apa yang diukurnya baru kemudian memilih instrumen, dengan memperhatikan bukti kevalidan instrumen. Tiga jenis ukuran kepribadian yang paling banyak dipakai adalah :
(1)    Daftar inventori (inventories)
(2)    Skala penilaian (rating scale) dan
(3)    Teknik proyektif
4.    Skala pengukuran
Skala Pengukuran menurut (Nazir, 1999), serta (Good dan Hatt, 1952) adalah cara mengubah fakta-fakta kualitatif yang melekat pada objek atau subjek penelitian (attribute) menjadi urutan kuantitatif. Pembuatan skala pengukuran ini dibuat dengan mendasarkan pada dua asumsi.
(1)    Ilmu pengetahuan pada akhir-akhir ini lebih cenderung menggunakan prinsip-prinsip matematika
(2)    Ilmu pengetahuan semakin menuntut presisi yang lebih baik utamanya dalam hal mengukur gradasi, misalnya sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, atau dalam urutan angka seperti contohnya, 4,3,2,1.
5.    Obsevarsi
Dalam banyak hal, pengamatan langsung secara sitematis terhadap tingkah lau merupakan metode yang disukai. Seorang peneliti menetapkan terlebih dahulu tingkah laku yang ingin diteliti, keudian memikirkan prosedur sistematis untuk menetapkan, menggolongkan, mencatat tingkah laku itu, baik dalam situasi wajar, ataupun yang “buatan”.
6.    Sosiometri
Teknik Sosiometris dipakai untuk mempelajari organisasi kelompok-kelompok sosial . prosedur dasarnya, meskipun dapat dimodifikasi dengan berbagai cara, berupa permintaan kepada para anggota suatu kelompok tertentu untuk menunjukan teman pilihan mereka yang pertama, kedua, dan seterusnya menurut kriteria tertentu, biasanya untuk sesuatu kegiatan tertentu pula.




















BAB III
Kesimpulan
Instrumen merupakan Alat yang di pakai untuk mengerjakan sesuatu sarana penelitian. Keberhasilan penelitian banyak ditentukan oleh instrumen yang digunakan, sebab data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaa penelitian (masalah) dan menguji hipotesis  diperoleh melalui instrumen. Instrumen sebagai alat pengumpul data harus betul-betul empiris sebagaimana adanya.
Tes adalah alat pengukur yang berharga bagi peneitian pendidikan. Tes ialah seperangkatseperangkat rangsangan (stimulus) yang diberikan kepada seorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dapat di jadikan dasar bagi penetapan skor angka.














DAFTAR PUSTAKA
Arief Furchan M.A, PHD.2007. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan.    Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Diknas.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Balai Pustaka. Jakarta
S. Margono, Drs.2005. Metodologi Penelitian Pendidikan.Pt Rineka Cipta. Jakarta
Suharsimi arikunto, Prof. Suahrdjono,Prof, Supardi, Prof. 2009. Penelitian Tindakan Kelas.  Bumi Aksara. Jakarta
Nana sayodikh. 2009. Metodologi penelitian tindakan kelas.. Rosda karya.bandung.
Nana sudjana, Dr dan Dr. Ibrahim, M.A.2007.Penelitian Dan Penilaian Pendidikan.Bandung. Sinar Baru Algesindo
Sukardi, Prof. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan, kompetensi dan praktinya. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Penggunaan Pendekatan filosofis, historis, semiotik, dan fenomologi sebagai sarana menafsirkan wahyu di era postmodern

 Penggunaan Pendekatan filosofis, historis, semiotik, dan fenomologi
sebagai sarana menafsirkan wahyu di era postmodern
Muhammad Nanang Qosim

A. PENDAHULUAN
Ketika pluralisme agama semakin didasari oleh banyak tokoh agama, entah lewat perkembangan pengetahuan, peradaban bangsa–bangsa atau yang lainnya, banyak pemikir agama islam mulai menaruh minat pada metodologi studi islam. Dari metode-metode itu ada yang bersifat a priori dan metafisik.
Kritik agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh umat agama dari jurusan lain, yakni yang dikembangkan oleh ilmu antropologi, historis, fenomenologi, filosofis, semiotika, sosiologi dll. Dari kelompok studi ini dengan dibandingkan dengan kelompok lain ialah karena mereka lebih tertarik pada praktik–praktik peribadatan, ritus, upacara–upacara yang konkret.
Metodologi studi Islam merupakan suatu usaha yang sistematis dalam membentuk manusia–manusia yang bersikap, berfikir, dan bertindak sesuai dengan ketentuan–ketentuan yang digariskan oleh agama Islam untuk keselamatan dan kebahagian hidupnya di dunia maupun di akhirat.
Maka perlu ada pengkajian dalam pendekatan islam pada era postmodern pada saat ini. Permasalah-permasalan yang muncul akibat zaman yang bergulir cepat dan analisis masalah-masalah keagamaan pada era saat ini masih tergolong tradisional.
B. PERMASALAHAN
1. bagaimana pendekatan filosofis, pendekatan historis, pendekatan semiotika dan pendekatan fenomenologi?
2. Apa tujuan dari pendekatan-pendekatan tersebut?



C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a) Pendekatan Filosofis
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenal sebab-sebab, asas-asas, hukum dsb terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Pengertian filsafat pada umumnyadikemukakan oleh Sidi Galzaba. Menurut beliau filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik formatnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita sering menjumpai berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlainan, namun inti semua pulpen adalah sebagai alat tulis.[1]
Berdasarkan pendekatan filosofis, Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan nilai-nilai ajaran Islam menurut konsepsi filosofis, bersumber kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendekatan filosofis ini memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembaangannya didasarkan kepada sejauh manan pengembangan berfikir dapat dikembangkan.
Dalam proses belajar mengajar, pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam, atau pada proses penciptaan manusia berasal, bagaimana proses kejadiannya sampai pada terciptanya bentuk manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, yaitu Allah SWT).
Dalam hal ini, Al-Qur’an benar-benar memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan pikirannya (rasio) secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selalau hamba Allah SWT, selaku makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi.
Pendekatan filosofis, Al Qur’an memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti dengan adanya pengahrgaan Allah SWT kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran (rasio). Ungkapan penghargaan tersebut terulang sebanyak 780 kali salah satu diantaranya adalah surat Al Baqarah: [2]: 269:[2][3]
b) Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis kea lam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada dasarnya kandungan Al-Qur’an, yaitu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religious yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintregasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, dan demikian lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah SWT, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara’ (orang-orang fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), dan sebagainya.
Jika pada bagian yang berisi konsep-konsep Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, Al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kejadian-kejadian historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersenbunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.[4]
Menurut buku Fenomenologi Agama historis adalah studi mengenai rangkaian ungkapan-ungkapan khusus, yang tidak dapat ditarik kembali, di mana ungkapan-ungkapan yang lebih akhir secara kumulatif dipengaruhi yang lebih dahulu. Pendekatan historis bisa dicapai melalui usaha memahami ungkapan-ungkapan itu dengan cara menghubukannya dengan konteks sejarah mereka dan memahami seluruh konteks dengan cara berpindah dari satu ungkapan ke ungkapan yang lain.
c) Pendekatan Semiotika
Merupakan suatu pendekatan atau metode analisis untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna arti dari suatu tanda atau lambang.[5] Dari pengertian tersebut yang perlu digarisbawahi yaitu bahwa para ahli melihat pendekatan semiotika merupakan suatu ilmu pendekatan atau proses yang berhubungan dengan tanda. Namun jika kita perhatikan, definisi yang diberikan nampaknya terlalu luas.
Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal tang menunjuk pada adanya hal lain.
Sebagaimana halnya para ahli semiotika membedakan tingkatan hubungan semiotika yaitu tataran sintaktik (sintactic level), tataran semantik (semantic level), tataran prakmatik (pracmatic level).
Selain itu terdapat tiga macam inkuiri semiotika yaitu semiotika murni (pure), deskrpsiptif (dercriptive), dan terapan (applied).
Semiotika murni berkenaan dengan desain metabahasa, yang seharusnya mampu membicarakan setiap bahasa yang menjadi objek semiotika. Karena sumbangannya bagi semiotika murni, seseorang mungkin menyebut karya.
d) Pendekatan Fenomenologi
Merupakan studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.[6] Pengikut fenomenologi agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religious, seperti korban, ritus, dewa-dewa, dan lain sebagainya.
Satu fenomena religious yang khusus tidaklah harus dianggap seolah hanya mempunyai satu arti; mungkin saja dan sungguh-sungguh mempunyai banyak arti bagi partisipan yang berbeda dalam tindak religious. Dengan menghubungkan apa yang dipahami oleh masing-masing partisipan, fenomenologi menerima suatu pemahaman diatas pemahaman banyak individu partisipan.
Metode fenomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermaksud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu.[7]





2. Tujuan dari beberapa Pendekatan
a. Pendekatan Filosofis
• Agar seseorang dapat menggunakan pemikiran atau rasio seluas-luasnya sampai titik maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga seseorang terlatih untuk terus berfikir dengan menggunakan kemampuan berfikirnya.
• Dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar mendapatkan hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
• Agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.[8]
b. Pendekatan Historis
• Seseorang dapat melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara alam idealis dengan alam empiris dan historis.
• Untuk mengenali berbagai macam konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret yaitu konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, konsep hari akhir dll.[9]
c. Pendekatan Semiotika
• Untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengatur agama Islam.
• Mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan dalam agama Islam dan membawanya pada sebuah kesadaran.[10]


d. Pendekatan Fenomenologi
• Untuk menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya.
• Untuk merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno atau menerangkan permasalahan suatu cerita dari mitos.
• Untuk menerangkan pokok-pokok dari praktik-praktik religious dan upacara-upacara orang-orang primitive.
• Untuk memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religious dengan kehidupan sekitar.[11]
3. Tokoh-tokoh dari berbagai pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
Dari pendekatan filosofis tokohnya yaitu Muhammad Al-Jurjawi yang berjudul “Hikmah Al-Tasyri’ wa falsafatuuhu” selain itu pula Louis O. Kattsof yang mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan adalah merenung.[12]
b) Pendekatan Historis
Salah satu tokoh dari pendekatan historis adalah Kuntowijoyo yang telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam.[13]
c) Pendekatan Semiotika
Beberapa tokoh pendekatan semiotika yaitu :



1. Charles Sanders Peirce
Adalah salah seorang filosof Amerika yang paling orisinal dan multidimensional yang lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839.
2. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure terkenal teori semiotikanya dengan tanda. Beliau berasal dari Swiss.
3. Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli semiotik dibidang linguistic pada abad kedua puluh.
d) Pendekatan Fenomenologi
Tokoh tokoh pendekatan fenomenologi yaitu
1. Husserl (1859-1939), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan agama islam.
2. Profesor G. van der Leeuw (1933) yaitu dengan menerbitkan buku “Phanomenologie der Religion”.[14]
4. Contoh- contoh dari berbagai pendekatan
a. Pendekatan Filosofis
Sebagai mahasiswa setiap harinya kita jumpai berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlain-lainan, namun inti semua pulpen itu adalah alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.

b. Pendekatan Historis
Seseorang yang ingin memahami Al-qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari turunnya Al-qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Al-qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-qur’an.
c. Pendekatan Semiotika
Asap menandai adanya api.
d. Pendekatan Fenomenologi
Cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, upacara pengguburan dan sebagainya.
D. KESIMPULAN
Dari makalah yang sudah dijelaskan di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengertian
a) Pendekatan Filosofis
Berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik formatnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.
b) Pendekatan Historis
Dapat disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah segala peristiwa yang dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
c) Pendekatan Semiotika
Merupakan suatu ilmu pendekatan atau proses yang berhubungan dengan tanda.
d) Pendekatan Fenomenologi
Merupakan studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
2. Tujuan dari beberapa pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
 Agar seseorang dapat menggunakan pemikiran seluas-luasnya sampai kepada titik maksimal dari daya tangkapnya
 Dapat digunakan dalam memahami agama
 Agar merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan
b) Pendekatan Historis
 Agar melihat adanya kesenjangan atau keselarasan
 Untuk mengenali berbagai macam konsep
c) Pendekatan Semiotika
 Untuk menunjukkan tanda-tanda/kaidah-kaidah
d) Pendekatan Fenomenologi
 Untuk menginterprestasikan suatu teks
 Untuk merekonstruksi suatu kompleks
 Untuk menerangkan pokok-pokok
 Untuk memahami struktur dan organisasi
3. Tokoh dari berbagai pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
 Muhammad Al-Jurjawi
 Louis O. Kattsof
b) Pendekatan Historis
 Kuntowijoyo
c) Pendekatan Semiotika
 Charles Sanders Peirce
 Ferdinand de Saussure
 Roman Jakobson
d) Pendekatan Fenomenologi
 Husserl
 Profesor G. van der Leeuw
4. Contoh-contoh dari berbagai pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
 Berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlainan
b) Pendekatan Historis
 Seseorang yang ingin memahami Al-qur’an
c) Pendekatan Semiotika
 Asap menandai adanya api
d) Pendekatan Fenomenologi
 Upacara penguburan
E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan. Penulis sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Penulis minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi.
Akhirnya segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya dan menerangkan pikiran-pikiran kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Amiiiiin….
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogjakarta: Kanisius. 1995.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Sirozi, M., dkk. Arah Baru Studi Islam Indonesia Teori dan Metodologi. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media Group. 2008.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006.

________________________________________
[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42-43.
[2] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), cet.1. hlm. 100-101.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm: 43
[4] Abuddin Nata, Op cit, hlm. 46-48.
[5] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006 ), cet. 3. hlm. 11.
[6] Mariasusai Dhafamony, Fenomenologi Agama, (Yogjakarta: Kanisius, 1995 ), cet 1. hlm. 7.
[7] Ibid, hlm. 42-43.
[8]Armai Arief, Op cit, hlm. 101.
[9] Abudin Nata, Op cit, hlm. 47.
[10] Alex Sobur, Op cit, hlm. 12.
[11] Mariasusai Dhafamony, Op cit, hlm. 31.
[12] Abuddin Nata, Op cit, hlm. 43.
[13] M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam Indonesia Teori dan Metodologi, (Yogjakarta: Ar Ruzz Media,2008), cet. 1, hlm. 17-18.
[14] Mariasusai Dhafamony, Op cit, hlm. 42.

ULAMA

ULAMA
M. Nanang Qosim
1.    PENDAHULUAN
Ulama  yang  secara  leksikal  berarti  orang  yang  berpengetahuan    mempunyai kedudukan  yang  sangat penting  dan  strategis  dalam  masyarakat  Islam.  Kedudukannya yang  sangat  penting  tersebut,  tidak  saja  dikarenakan  fungsinya  sebagai  tempat  rujukan masyarakat  dalam  menghadapi  berbagai  persoalan  keagamaan  yang  mereka  hadapi, akan  tetapi  pada  masyarakat  tertentu  dan  pada  masa  tertentu  ulama  pun  mempunyai peran  yang  cukup  significan  dalam  masalah-masalah  sosial,  politik,  maupun kenegaraan.
Pentingnya  kedudukan  ulama  dalam  masyarakat  Islam  tersebut  pada  awalnya dilandasi  oleh  keterangan    dari    teks-teks  al-Quran  dan  al-Hadits.  Kemudian kandungan  dari  teks-teks  tersebut  menjadi  filosofi  dan  norma  yang  dianut  oleh masuarakat Islam sejak sepeninggalnya Rasulullah sampai sekarang. Di  dalam    Al-Quran  banyak  sekali  ayat-ayat  yang  menerangkan  kedudukan ulama di  sisi  Allah.  Dalam    surat  al-Mujadalah  Allah  SWT  berfirman  : “  Allah  akan mengangat  orang-orang  yang  beriman  dan  orang-orang  yang  berilmu  lebih  tinggi beberapa derajat “ . Bahkan dalam surat  Ali Imran ayat 18, Allah SWT menyebut diri-Nya  bersama  para  malaikat  dan  orang-orang  yang  berilmu    dalam  persaksian  akan keesaan-Nya.
Demikian  juga  banyak  sekali  hadits-hadits  nabi  yang  menjelaskan  tingginya kedudukan  ulama.  Salah satu  teks    yang  mendukung  posisi  di  atas  adalah  hadits nabi yang  berbunyi  ‘Innal  ‘Ulama  waratsah  al-anbiya ‘  (  sesungguhnya  ulama  adalah pewaris  para  nabi  ).  Menurut  Ibn  Hajar  Al-Atsqalani (773  -  852  ),  dalam Fath  al- Bary, hadits tersebut adalah  hadits yang ditemukan dalam beberapa kitab hadits, antara lain  dalam  kitab-kitab  Abu  Dawud,  Al-Turmudzy  dan  Ibnu  Hibban.  Hadits  ini dipandang shahih oleh  Al-Hakim, hasan oleh  Hamzah  Al-Kinany,  dan  dilemahkan oleh  para ulama  hadits  lainnya,  disebabkan  karena idhtirab,  kekacauan  dan kesimpangsiuran para perawinya. ( Ibn Hajar, 1959 : 169 )
Imam    Bukhari  menulis    hadits  di  atas  di  dalam  sahihnya,  tetapi  beliau  tidak menyatakan  bahwa  ungkapan  tersebut  adalah  hadits  Nabi  saw.  Pencantumannya  pada kitab tersebut  memberi arti bahwa ungkapan tersebut mempunyai dasar yang diperkuat oleh  al-Quran  dengan  firman Allah  : Kemudian K ami wariskan  al-Kitab  kepada  yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami ( Q.S 35 : 32 )
Untuk  mengetahui  siapakah  ulama  itu,  sebaiknya  kita membuka  lembaran  Al-Quran  dan  hadits.  karena  keduanya  banyak  membicarakan  hal  itu. Kata ‘ulama disebutkan  di  dalam  Al-Quran sebanyak  dua  kali. Pertama, dalam konteks ajakan  Al-Quran  untuk  memperhatikan  turunnya  hujan  dari  langit,  beraneka  ragamnya  buah-buahan,  gunung, binatang  dan  manusia  yang  kemudian  diakhiri  dengan  firmannya, Sesungguhnya yang takut kepada Allah di  antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (  Q.S  35 : 28  ) Ayat  ini menggambarkan bahwa  yang dinamakan ulama adalah  orang-orang  yang  memiliki  pengetahuan  tentang  ayat-ayat  Allah  yang  bersifat  kauniyah. Kedua,  dalam  konteks  pembicaraan  Al-Quran  yang  kebenaran  kandungannya  telah diakui oleh ulama Bani Israil ( Q.S 26 : 197 )
Berdasarkan  ayat  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  yang  dinamakan  ulama menurut  Al-Quran  adalah  mereka  yang  mempunyai  pengetahuan  tentang  ayat-ayat Allah,  baik  yang  bersifat kauniyah maupun quraniyyah,  dan  dengan  pengetahuan tersebut mereka mempunyai sifat khosyyah dan taqwa.
2.    BATASAN MASALAH
Hadits-hadits  nabi    yang  berkaitan  dengan  masalah  ulama  cukup  banyak ragamnya,  seperti  yang  berkaitan  dengan    kedudukannya,  karakteristiknya,  dan  tugas-tugasnya.  Karena  begitu  banyaknya  hadits-hadits yang  berkaitan dengan  ulama  dalam berbagai  aspeknya, maka pada   makalah ini penulis  hanya akan mencoba mengungkap salah satu aspek saja, yaitu bagaimana karakteristik-karakteristik ulama menurut hadits nabi.  Semua  hadits  nabi    yang  berkaitan  dengan  ulama  dikumpulkan  kemudian diklasifikasi  berdasarkan  masalahnya.  Setelah  itu  dianalisis  dan  dikaitkan  dengan masalah-masalah  yang  berkembang  sekarang.  Perlu  diketahui  pula  bahwa  dalam makalah  ini  tidak  dimasukkan  semua  hadits  yang  berkaitan  dengan  karakteristik ulama.  Pemakalah  hanya  membatasi  sebanyak  10  hadits  yang  dianggap  penting  dan mewakili.
3.    KARAKTERISTIK-KARAKTERISTIK  ULAMA  MENURUT  HADITS  NABI  DAN  UPAYA RELEVANSINYA
3.1.    Ulama yang mengamalkan ilmunya
1)    Bersabda Rasulullah SAW  :  “Orang  ‘alim,  ilmu,  dan  amal  ada di dalam  surga.  Jika seorang  ‘alim  tidak  mengamalkan  apa  yang  diketahuinya  maka  ilmu  dan  amalnya berada di surga,  sedangkan orang ‘alim tersebut ada di  dalam neraka “. (H.R Dailami )
2)    Bersabda  Rasulullah  SAW  : “  Seseorang  tidak  dikatakan  ‘alim  sebelum  dia melaksanakan apa yang diketahuinya “. ( H.R  Baihaqi dari Abi Darda )
3)    Bersabda Rasulullah  SAW : “ Di akhir  zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang fasik “. ( H.R  Hakim dari Anas )
4)    Bersabda Rasulullah SAW : “ Ilmu itu ada dua. Pertama ilmu di lisan.  Itu merupakan hujjah  Allah  pada  makhluknya.  Dan  kedua  ilmu  dalam  hati.  Itulah  ilmu  yang bermanfaat “. ( H.R Tirmidzy dari Jabir )
Kemampuan  seorang  ‘alim  untuk  melaksanakan  apa  yang  diketahuinya merupakan  indikasi  bahwa  pengetahuannya  tersebut  masuk  ke  dalam  hatinya.  Amal merupakan  buah  dari  ilmu.  Ilmu  dapat  dilihat  berbuah  atau  tidak  melalui  amal.  Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diwujudkan dengan amal perbuatan.
Seperti  telah  dijelaskan  pada  pendahuluan,  bahwa  yang  dimaksud  dengan ‘ulama  menurut  Al-Quran  adalah  mereka  yang  mempunyai  pengetahuan  apa  saja tentang  ayat-ayat  Allah  dan    dibarengi  dengan  sifat  khosyyah.    Maka  yang  dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat  adalah ilmu apa saja yang dengannya   dapat menjadikan seorang ‘alim lebih merasa takut dan taqwa kepada Allah. Ilmu yang dimilikinya dapat bermanfaat bagi dirinya  dan juga bermanfaat  bagi orang  lain. Ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya, apabila dia mampu melaksanakan; sedangkan bermanfaat bagi orang lain,apabila ilmu tersebut mampu menunjukkan orang lain kepada jalan kebaikan.
3.2.    Bersifat Wara
5)    Bersabda Rasulullah SAW  : “  Yang  celaka dari  ummatku  adalah  seorang  ‘alim  yang suka  maksiat  serta  seorang  abid  yang  bodoh.  Sejahat-jahatnya  orang  jahat  adalah orang  jahat  dari  kalngan  ulama.  Dan  sebaik-baiknya  orang  baik  adalah  orang  yang paling baik dari kalangan ulama “. ( H.R darimi dari Akhwash )
6)    Bersabda R asulullah  SAW  : “Sifat  adil  itu   baik,  tetapi  lebih  baik  jika  dimiliki oleh para  penguasa;  sifat  pemurah  itu  baik,  tetapi    lebih  baik  jika  dimiliki  oleh  para hartawan;  sifat  wara  itu  baik,  tetapi lebih  baik  jika dimiliki  oleh para  ‘ulama;  sabar itu baik, tetapi  lebih baik  jika dimiliki oleh  kaum papa; bertaubat itu baik,  tetapi lebih baik  jika  dimiliki  oleh  para  pemuda;  dan  pemalu  itu  baik,  tetapi  lebih  baik  jika dimiliki oleh kaum  perempuan “. ( H.R Dailami dari Umar )
Sifat wara merupakan  sifat  yang  harus selalu  melekat pada diri seorang  ulama. Wara  adalah  kemampuan  seorang  ‘alim  untuk  selalu  menjaga  diri  dari  kemungkinan terjerumus  pada  perbuatan-perbuatan  tercela.  Seorang  ‘alim  yang  melaksanakan ilmunya  dia  akan  bersifat  wara.  Dalam  hadits  di  atas  dijelaskan  bahwa  sifat  wara  itu baik,  akan  tetapi  lebih  baik  lagi  jika  dimiliki  oleh  ulama.  Pentingnya  seorang  ulama memiliki  sifat  wara  ini,  karena  ulama  merupakan  panutan  masyarakat.  Semua perbuatan  dan  tingkah  lakunya  akan  selalu  diperhatikan  dan  diikuti  oleh  ummatnya. Sehingga jika dia salah maka ummatpun akan mengikutinya.
3.3.    Tidak Ambisi terhadap Harta dan Kekuasaan
7)    Bersabda  Rasulullah  SAW  : “  Sejahat-jahatnya  ulama  adalah  ulama  yang mendatangi  penguasa.  Dan  sebaik-baiknya  penguasa  adalah  mereka  yang mendatangi ulama ". ( H.R Ibnu Majah dari Abu Hurairah )
8)    Bersabda Rasulullah SAW : “Para  ulama adalah  kepercayaannya  para  rasul selama mereka  tidak  berkecimpung  dengan    kekuasaan  serta  memasuki  keduniaan.  Jika mereka  berkecimpung  dengan  urusan  kekuasaan  serta  memasuki  urusan  keduniaan, maka mereka  telah mengkhianati       para rasul. Oleh karena itu hati-hatilah terhadap mereka. ( H.R Al-’Aqili dari Anas )
Hadits  di  atas  memberi  pengertian  kepada  kita  bahwa  diantara  karakteristik ulama adalah tidak    ambisi terhadap harta dan kekuasaan. Ungkapan “selama  dia  tidak bergaul dengan penguasa  dan  memasuku  urusan keduniaan “.  Kalau kita  mengambil pengertian  seperti  di  atas,  bagaimana  kalau  seorang  ulama  datang  kepada  penguasa dalam  rangka  membicarakan  ummat  atau  untuk  menasihati  penguasa  yang bersangkutan.  Hal  ini  tentunya bukan merupakan  perbuatan  terlarang  dan  bahkan  bisa dianggap  sebagai  perbuatan  terpuji.  Dan  dari  segi  lain  perbuatan  tersebut  jelas menguntungkan  ummat.  Kalau  seorang  ulama  tidak  mau  datang  kepada  penguasa dengan  alasan  hadits  di  atas,  maka  untuk  masa  sekarang  ini  akan  sangat  merugikan ummat  Islam  pada  umumnya.  Pemakalah  lebih  setuju  jika  ungkapan  di  atas diterjemahkan dengan  “ tidak  berambisi  pada  persoalan  kekuasaan  dan harta benda “.  Sebab  perbuatan ambisi  ini  dapat  menjerumuskan  seseorang  untuk  berbuat yang tidak terpuji.
3.4.    Ikhlas dalam beramal dan tidak bersifat dengki
9)    Bersabda Rasulullah SAW : “Janganlah kamu mempelajari ‘ilmu untuk merendahkan ‘ulama  serta  membingungkan  masyarakat  sehingga  arah  manusia  akan  berbalik padamu.  Maka  barang  siapa  yang  berbuat  demikian  ia  berada  dalam  neraka  “. ( H.R Ibnu Majah dari Jabir )
Ilmu  yang  dimiliki  oleh  seorang  ‘alim  hendaklah  digunakan  untuk  tujuan-tujuan  kebaikan  ummat,  bukan  hanya  untuk  kebaikan  bagi  dirinya  sendiri.  Seorang ‘alim  hendaklah  memanfaatkan  ilmunya  bukan  untuk  memperoleh  popularitas,  dan bukan pula untuk menyaingi sesama ulama lainnya.
3.5.    Bersikap amanah dalam menyampaikan ilmu
10)    Bersabda Rasulullah SAW :“  Barang siapa  yang ditanya  tentang  suatu pengetahuan kemudian  dia  menyembunyikannya,  dia  pada  hari  kiamat  akan  dikendalikan  dengan kendali dari neraka “. ( H.R Abu Dawud dari Tirmidzy )
Seorang  ‘alim  hendaklah  menyampaikan  pengetahuan  yang  ia  ketahui  kepada orang lain yang membutuhkannya. Pengetahuan adalah anugrah Allah yang merupakan milik  ummat.  Semua manusia  berhak  untuk  menikmati  dan  mendapatkan  petunjuk dari  ilmunya  seorang  ulama.  Berdasarkan  hadits  di  atas  bahwa  seorang  ulama  yang menyembunyikan  ilmunya  maka Allah  SWT  akan  mengendalikannya  dengan  kendali api neraka di akhirat nanti. ( H.R Abu Dawud dari Tirmidzy )
4.    KESIMPULAN
Dengan  melihat  beberapa  hadits  Rasulullah  di  atas  kita  bisa  melihat  bahwa karakteristik- karakteristik ulama adalah sbb :
1.    mengirinya  ilmu yang diketahuinya dengan perbuatan-perbuatan nyata
2.    bersikap wara
3.    tidak ambisi pada kekuasaan dan harta dunia
4.    bersikap ikhlas dan tidak dengki
5.    bersikap amanah dalam menyampaikan ilmu






DAFTAR PUSTAKA
Bukhary ( 1996 ) Shahih Bukhari, Beirut : Darul-Fikr
Ghazali,  Abu  Hamid  Muhammad  bin  Muhammad Ihya  ‘Ulum  al-Din, Juz  I Beirut  : Darul-Fikr.
Hasyimy  bek  ,  Ahmad    (  1948  )  Mukhtaru  al-Ahadits  Nabawiyyah  wal  Hikam  al-Muhammadiyyah. Indonesia : Maktabah Dar al-Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah.
Nawawy,  Muhyiddin  Abi  Zakaria  Yahya  (  1938  )  Riyadush  Sholihin  min  Kalamil-
Mursalin, Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby
Quraish Shihab ( 1995 ) Membumikan Al-Quran, Bandung : Mizan

Sabtu, September 29, 2012

METODE DAN PEDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
MUHAMMAD NANANG QOSIM

I.    PENDAHULUAN

Bahasa Adalah sebuah kebutuhan, psikologis, dan Sosiologis yang berupa bunyi dan sistem simbol untuk mengungkapkan kebutuhan dan keinginan secara arbitrer.
Kemahiran seseorang dalam suatu bahasa tidak menjamin kemahirannya mengajarkan bahasa tersebut kepada orang lain mahir berbahasa adalah satu hal dan mahir mengajarkan bahasa adalah hal yang lain. Seorang guru bahasa arab harus menguasai setidak-tidaknya tiga halyaitu : (1) kemahiran berbahasa arab, (2) pengetahuan tentang bahasa arab, dan (3) ketrampilan mengajarkan bahasa arab. (fuad efendy, metodologi pengajaran bahasa arab, 2005).
    Penguasaan bahasa lebih dari satu, yang biasa di sebut bilingualisme untuk penguasaan dua bahasa dan multilingualisme untuk lebih dari dua, mempunyai sifat-sifat yang khas. Dari kekhasan perlu adanya pendekatan untuk menciptakan kecakapan. Dalam hal ini kecakapan bahasa arab yaitu ; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari empat kecakapan tersebut penulis memilih kecakapan berbicara dalam konteks percakapan berbahasa arab.
    Sebagaimana kajiannya adalah percakapan bahasa arab, maka perlu pembatasan yang berupa ; Dasar-dasar teoritis pengajaran, metode dan teknik pengajaran, dan evaluasi.

A.    Dasar-dasr teoritis pengajaran bahasa
Sebagaimana disebutkan dimuka, pengajaran bahasa dibangun atas landasan teori-teori ilmu jiwa, dan ilmu linguistik. Psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu. Linguistik memberikan informasi tentang seluk beluk bahasa. Informasi dari keduanya di ramu menjadi suatu cara atau metode yang memudahkan proses belajar mengajar, untuk mencapai tujuan tertentu.

1.    Teori – teori Psikologis
Para ahli psikologi pembelajaran sepakat bahwa dalam proses belajar mengajar terdapat unsur-unsur; internal yaitu bakat, minat, kemauan dan pengalaman terdahulu dalam diri pemebelajar, dan eksternal yaitu lingkungan, guru, buku teks dsb. Yang menjadi pokok perselisihan adalah jawaban terhadap pertanyaan yang berupa unsur manakah yang menjadi faktor dominan atau paling besar pengaruhnya dalam proses pembelajaran?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditelusuri melalui dua mazhab psikologi yakni mazhab behaviorisme dan mazhab kognitive. Madzhab pertama memberikan perhatian lebih besar kepada faktor-faktor eksternal. Sedangkan madzhab kedua lebih memfokuskan perhatiannya kepada faktor internal.

    1. Mazhab Behaviorisme
Pelopor mazhab ini adalah ilmuwan Rusia Pavlov (1849 – 1939) yang termasyhur dengan teorinya yang menghubungkan stimulus primer (makan) dan stimulus sekunder ( nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respon (keluarnya air liur) anjing yang di jadikan sebagai hewan percobaannya. Berdasarkan penelitian Pavlov, air anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa ada makanan. Ilmuwan berikutnya adalah Edward L. Thorndike dalam studinya, ia mengemukakan dengan teori “hukum Efek”nya yang memeberikan perhatian kepada ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Menurutnya ganjaran memperkuat hubungan anatara stimulus dan respon, sebaliknya hukuman melemahkannya. B.F. Skinner berpendapat serupa, tapi dia memakai istilah penguatan (reinforcement) menggantikan ganjaran. Skinner berpendapat bahwa ganjaran atau penguatan bukan saja memperkuat hubungan antara stimulus dan respon tapi juga memotivasi untuk belajar merespon.
    Dari penjabaran tersebut tampak jelas bahwa yang menjadi perhatian utama para penganut mazhab behaviorisme dalam pemebelajaran adalah faktor eksternal dan bahwa merekayasa lingkungan pemebelajaran adalah cara efektif untuk mencapai tujuan.
    Dalam pengajaran bahasa, mazhab behaviorisme melahirkan pendekatan audio lingual. Dalam pendekatan ini peran guru sangat dominan karena dialah yang memilih bentuk stimulus, memeberikan ganjaran dan hukuman dan memeberikan penguatan , menentukan jenisnya, dan guru pula memilih buku, materi dan cara mengajarkannya. Bahkan menentukan jawaban atas perntanyaan yang di ajukan kepada pembelajar.
    2. Mazhab Kognitif
Mazhab kognitif menegaskan pentingnya keaktifan pembelajar. Pembelajarlah yang mengatur dan menentukan proses pemebelajaran. Lingkungan bukan bukanlah penentu awal dan akhir positif atau negatifnya hasil pemebelajaran. Menurut pandangan ini, seseorang ketika menerima stimulus dari lingkungannya, dia melakukan pemilihan sesuai dengan minat dan keperluannya, menginterprestasikannya, menghubungkannya, dengan pengalaman terdahulu, baru kemudian memilih alternatif respon yang paling sesuai.

2.    Teori – teori Ilmu Bahasa
Pengembangan linguistik mempunyai pengaruh yang tak sedikit atau membawa konsekuensi perubahan – perubahan dalam pengembangan desain pengajaran bahasa. Sumbangan ini terwujud pada hasil temuan linguitik yang berupa deskripsi bahasa. Bahasa yang dapat dipakai atau berguna bagi pengajaran bahasa.
    a). Aliran struktural
Munculnya ketidakpuasan terhadap hasil-hasil analiasis secara tradisional, menyebabkan para ahli menelusuri bentuk-bentuk baru cara mengajarkan aspek bahasa. Kemudian lahirlah tata bahsa struktural yang mengakar pada filsafat behaviorisme.
Aliran ini dipelopori oleh linguis dari swis Ferdinand De Saussure tapi dikembangkan lebih lanjut secara signifikan oleh Leonard Bloomfield. Dialah yang meletakan dasar-dasar linguistik struktural berdasarkan penelitian-penelitian dengan menggunakan metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam sains.
    Beberapa teori tentang bahasa menurut mazhab ini dapat disebutkan anatara lain ; 1. bahasa itu pertama-tama adalah ujaran, 2. kemampuan berbahasa diperoleh melalui kebiasaan yang ditunjang dengan latihan dan penguatan, 3. setiap bahasa memiliki sistemnya sendiri yang berbeda dengan bahasa lain, oleh karena itu menganalisis suatu bahasa tidak bisa memakai kerangka yang di gunakan untuk menganalisis bahasa lainnya, 4. setiap bahasa memeiliki sistem utuh dan cukup untuk mengekspresikan maksud dari penuturnya, oleh karena itu tidak ada satu bahasa yang paling unggul atas bahasa yang lainnya. 5. Semua bahasa yang hidup dan berkembang mengikuti perubahan zaman terutama karena terjadinya kontak dengan bahasa lainnya. Oleh karena itu kaidah-kaidahnya pun bisa mengalami perubahan. Dan 6. Sumber pertama dan utama kebakuan bahasa adalah penutur bahasa tersebut, bukan lembaga ilmiah, pusat bahasa atau mazhab-mazhab gramatika. (Fuad Efendy, Fuad Efendy, metodologi pengajaran bahasa arab 2005 hal. 10).
    b). Aliran Generatif – Transformatif
Linguistik transformasi lahir sebagai reaksi atas ketidak puasan terhadap pemikiran – pemikiran dan prosedur analisis bahasa yang dikembangkan oleh aliran struktural. Tokoh aliran ini adalah Noam Chomsky.
Chomsky berpendapat bahwa bahasa merupakan aktivitas mental, sedangkan rangsangan itu semata-mata sebagai penyentil saja untuk mengaktifkan kemampuan dasar berbahasa seseorang yang disebut dengan (language Acquisition Devise).
Perhatian Utama dari teori ini adalah usaha mendeskripsikan kompetensi pemakai bahasa berupa pengetahuan yang dimiliki oleh pemakai dalam keadaan sebenarnya. (Fuad Efendy, metodologi pengajaran bahasa arab 2005 hal. 14-15).

B.    Bahasa dan Usia
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar bahasa arab. Faktor-faktor yang datangnya dari individu dapat di golongkan dalam dua kelompok, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal antara lain, umur, bakat, kemampuan inteletual, minat kepribadian, keaktifan dll. Yang tergolong faktor-faktor eksternal antara lain yang tercakup dalam situasi lingkungan kelas, atau lingkungan formal, dan lingkungan bahasa atau penutur bahasa asli.
Usia merupakan salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang sedikit banyak memberikan warna tersendiri pada kelompok itu. Usia akan mengkelompokan masyarakat menjadi kelompok kanak-kanak, kelompok remaja, kelompok dewasa. Tentu saja batas usia itu tidak bisa secara tepat kita pastikan.

1.    Kelompok Anak-anak
Anak mulai belajar berbicara pada uisa kurang lebih 18 bulan, dan usia kurang lebih tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan sudah menguasai “tata bahasa” bahasa ibunya, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna. Pada masa awal perkembangannya bahasa anak-anak itu mempunyai ciri antara lain penyusutan (reduksi). (Sumarsono, Sosiolinguistik. 2010 hal. 136)
Pada anak usia sekitar 7 tahun biasanya sudah masuk SD. Setelah SD kepada mereka diajarkan ketrampilan suatu bahasa. Paling tidak dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, mereka diajar bahasa yang sebenarnya meruapakan bahasa ibu mereka sendiri. Kedua, mereka diajari bahasa lain yang berbeda dengan bahasa ibu. Bahasa lain itu akhirnya sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. (Sumarsono, Sosiolinguistik. 2010 hal. 148)
2.    Kelompok Remaja
Masa remaja, ditinjau dari segi perkembangan, merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunya ciri antara lain petualangan, pengelompokan  (klik), “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula dalam bahasa mereka. (Sumarsono, Sosiolinguistik. 2010 hal. 150)
3.    Kelompok Dewasa
Bahasa Akuisisi oleh orang dewasa adalah belajar bahasa, disengaja melelahkan, proses intelektual yang jarang, jika pernah, hasil dalam kelancaran total asli diperoleh begitu alami oleh anak kecil, terlepas dari kemampuan intelektual atau motivasi pribadi. (www.eslbase.com/articles/language-acquisition-adults diakses tanggal 10 april 2011 )


II.    PEMBAHASAN

Sebelum kita berbicara tentang metode-metode pengajaran bahasa, ada baiknya berbicara dulu tentang beberapa istilah yang lazim di gunakan dalam pembelajaran bahasa, khususnya bahasa asing sebagai bahasa tujuan. Setidaknya ada tiga istilah terkategori secara bertingkat dalam melakukan proses pembelajaran bahasa. Istilah itu adalah : pendekatan, metode, dan teknik.
Pendekatan pembelajaran adalah tingkat pendirian filosofis mengenai bahasa, belajar, dan mengajar. (Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran bahasa arab, 2011 hal. 167). Menurut al Naqah (2006) dalam Acep hermawan (2011), pendekatan pada hakekatnya adalah sekumpulan asumsi tentang proses belajar mengajar yang dalam bentuk pemikiran aksiomatis yang tak perlu diperdebatkan.
Metode Pembelajaran adalah tingkat perencanaan program yang bersifat menyeluruh yang berhubungan erat dengan langkah-langkah penyampaian pelajaran secara prosedural, tidak saling bertentangan, dan tidak bertentangan dengan pendekatan. ( Abd Rozaq, 2007 dalam Acep hermawan 2011).
Teknik pembelajaran lebih bersifat aplikatif, karena itu sering disebut gaya pembelajaran. Dikatakan demikian karena aspek ini bersentuhan langsung dengan kondisi nyata seoarang guru dalam menjabarkan metode ke dalam langkah-langkah aplikatif.
A.    Pendekatan Komunikatif
Pendekta komunikatif berdasarkan konsep audio lingual digunakan secara luas sampai awal tahun enampuluhan. Setelah itu, para ahli dan praktisi merasa tidak puas karena para pelajar, setelah belajar beberapa ahun, tetap belum lancar berkomunikasi dalam bahasa taget. Sedangkan para ahli linguistik mengecam dari sisi landasan teoritisnya. Seperti kita etahui, pendekatan aual oral atau metode audio lingual didasarkan atas teori tata bahasa strukturalisme dan teori ilmu jiwa behaviorisme.
B.    Metode ketrampilan percakapan
Ketrampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran berupa ide, pendapat, keinginan atau perasaan kepada mitra bicara. Dalam makna yang lebih luas, berbicara merupakan suatu system tanda-tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia untuk menyampaikan pikiran dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Bahkan menurut tarigan (1994 / II : 15) berbicara merupakan kombinasi factor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantic, dan linguistic secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi control social.
    Secara Umum ketrampilan berbicara bertujuan agar para pelajar mampu berkomunikasi lisan secara baik dan wajar mengandung arti menyampaikan pesan kepada orang lain dalam cara yang secara social dapat diterima. Namun tentu daja mencapai tahap kepandaian berkomunikasi diperlukan aktivitas-aktivitas latihan yang memadai dan mendukung. Aktivitas-aktivitas seperti itu bukan perkara mudah bagi pemebelajaran bahasa, sebab harus tercipta dahulu lingkungan bahasa yang mengarahkan para pelajar kea rah sana. Subayakto Nababan (1993: 175) dalam Acep Hermawan (2011 : 136) membagi aktivitas ini kedalam dua kategori, yaitu pra-komunikatif dan komunikatif.
1.    Latihan Pra-komunikatif
Latihan pra komunikatif tidak berarti bahwa latihan-latihan yang dilakukan belum komunikatif, tetapi dimaksudkan membekali para pelajar kemampuan-kemampuan dasar dalam berbicara yang sangat diperlukan ketika terjun di lapangan, seperti latihan penerapan pola dialog, kosakata, kaidah, mimic muka, dan sebagainya.
Ada beberapa teknik yang mungkin dilakukan dalam latihan pra-komunikatif, anatra lain: Dialog , praktek pola, dan karangan lisan.
a.    Hapalan Dialog
Teknik ini merupakan latihan meniru dan menghapalkan dialog-dialog mengenai berbagai macam situasi dan kesempatan. Melalui latihan ini digharapkan pelajar dapat mencapai kemahiran yang baik dalam percakapan dalam percakapan yang dilakukan secara wajar dan tidak dibuat-buat. Walaupun awalnya memang dipola berdasarkan hapalan, namun jika dilakukan latihan secara terus menerus lama kelamaan akan menjadi kemampuan berkomunikasi secara wajar.
b.    Dialog Melalui gambar
Teknik ini diberikan agar para pelajar dapat memahami fakta melalui gambar yang diungkapkan secara lisan sesuai tingkatan mereka. Guru dalam hal ini membawa gambar-gambar dan menunjukan satu persatu kepada pelajar sambil bertanya, lalu para pelajar menjawab sesuai gambar yang ditunjukan, misalnya :

Jawaban    Pertanyaan        Jawaban    Pertanyaan
هذا تلميذ    من هذا؟        هذا قلم    ما هذا؟
هذاه تلميدة    من هذه؟        هذه مرسمة    ما هذه؟
ذالك سائق    من ذالك؟        ذالك مكتب    ما ذالك؟
تلك طبيبة    من تلك؟        تلك كرّاسة    ما تلك؟

c.    Dialog terpimpin
Teknik ini diberikan agar para pelajar mampu melengkapi pemebicaraan sesuai situasi tertentu yang dilatihkan. Dalam hal ini guru memeberikan contoh Tanya jawab dalam bahasa arab, misalnya tentang “nonton film di bioskop”. Dalam Tanya jawab ini dikemukan contoh cara merespon/menjawab, setelah itu guru memberikan kalimat kepada para pelajar untuk direspon sebagaimana contoh, misalnya :

Jawaban    Pertanyaan
انا ايضا أريد ان أذهب إلى السنيما مساء    أريد ان أذهب إلى اسنيما، و انت؟
لن اذهب إليه، عندي واجبات منزلية كثيرة   

d.    Dramatisasi Tindakan
Teknik ini diberikan agar para pelajar dapat mengungkapkan suatu aktivitas secara lisan. Dalam hal ini guru melakukan tindakan tertentu seperti tersenyum, tertawa, duduk, dan sebaginya sambil bertanya, misalanya :

Jawaban    Pertanyaan
انت تتبسم    مذا أعمل؟
انت تضحك   
انت تجلس على كرسي   


2.    Latihan Komunikatif
Latihan komunikatif adalah latihan yang lebih mengandalkan kreatifitas para pelajar dalam melakukan latihan. Pada tahap ini keterlibatan guru secara langsung mulai dikurangi untuk memberi kesempatan kepada mereka mengembangkan kemampuan sendiri. Para pelajar pada tahap ini ditekankan untuk lebih banyak berbicara daripada guru. Sedangkan penyajian latihan diberikan secara bertahap, dan dianjurkan agar materi latihan dipilih sesuai dengan kondisi kelas. Secara psikologis memang setiap kelas memiliki kecenderungan, pandangan dan kemampuan kolektif yang tidak sama, oleh sebab itu guru harus pandai memanfaatkan kondisi ini agar setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan setidaknya memberikan kegairahan kepada mereka.
Beberapa aktivitas yang memungkinkan dilakukan dalam latihan komunikatif secara bertahap adalah sebagai berikut :
a.    Percakapan kelompok
Peralatan yang harus disediakan adalah tape recorder untuk merekam semua percakapan. Dalam satu kelas para pelajar di bagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai kebutuhan. Setiap kelompok diberi judul cerita yang sederhana. Sebelum latihan dilaksanakan para pelajar diperkenankan untuk berunding dengan teman-teman sekelompoknya. Didalam latihan ini para pelajar berganti-ganti mengatakan sesuatu yang disambung oleh teman-teman sekelompoknya sehingga menjadi sebuah cerita yang lengkap. Semua kegiatan percakapan direkam sehingga dapat didengarkan lagi. Guru dalam latihan ini berkeliling dari kelompok lainnya dan menjawab pertanyaan jika para pelajar meminta. Setelah kegiatan selesai, rekaman selanjutnya diputar kembali untuk didiskusikan dengan para pelajar, baik mengenai isi, pola, intonasi, dan sebagainya.
b.    Bermain peran
Pada aktivitas ini guru memberikan tugas peran tertentu yang harus dilakukan oleh para pelajar. Peran yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat penguasaan bahasa para pelajar. Tentu saja peran yang diberikan kepada tingkat pemula tidak sama dengan yang diberikan kepada tingkat menengah dan lanjutan. Misalnya guru memberikan tugas : Ragakanlah! Jika kamu seorang guru dan maman sebagai muridmu. Apa yang akan dikatakan jika kalian bertemu dijalan?Misalanya percakapan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

مامن    :    السلام عليكم، يا أستاذ؟
أستاذ    :    و عليكم السلام ورحمة الله وبركاته، إلي اين تذهب يا مامن؟
مامن    :    اريد ان أشتري الأدوات المدرسية، يا استاذ
أستاذ    :    مذا تحتج إليه، يا مامن؟
مامن    :    أحتج إلى الكراّسة، والقلم، والمرسمة، والمسطرة
أستاذ    :    وافقتك السلامة
مامن    :    آمين
Bermain peran ini merupakan teknik yang sangat berguna dalam melatih perilaku berbahasa. Pemberian tugas ini dapat dilakukan sangat dengan mulai dari cara sederhana sampai kepada yang rumit yang memerlukan penguasaan pola-pola kompleks.
   
c.    Praktek ungkapan social
Ungkapan social maksudnya adalah perilaku-prilaku social saat berkomunikasi yang diungkapkan secara lisan, misalnya member hormat, mengungkapkan rasa kagum, gembira, ucapan perpisahan, member pujian, ucapan selamat, dan sebagainya. Pola-pola ungkpan ini dipraktekan dalam rangkaian pembicaraan pada situasi tertentu. Pola-pola ungkapan yang biasanya digunakan mislanya:
(alangkah indahnya lukisan Ini) – (ما أجمل هذه الصورة)
(semoga engkau selamat) – وافقتك السلامة))
(semoga engkau berhasil) – (اتمني لك انجاح)
(selamat hari raya idul fitri) – ( أهنئك بعيد الفطر المبارك)
d.    Praktek lapangan
Praktek lapangan maksudnya adalah berkomunikasi dengan penutur asli di luar kelas. Tentu saja aktivitas ini hanya bias dilakukan di tempat-tempat yang ada penutur aslinya bahasa arab. Praktek lapngan ini sangat berarti bagi perkembangan kemampuan bahasa arab, sebab berbicara dengan penutur aslinya secara tidak langsung dapat mengadakan koreksi berbahasa dalam berbagai aspek. Selain itu kegiatan berbicara dilapangan dapat dijadikan ukuran perkembangan belajar bahasa teersebut.
e.    Problem Solving
Problem solving atau pemecahan masalah biasanya dilakukan dalam bentuk diskusi. Aktivitas ini bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi, atau mengadakan sebuah kesepakatan tentang suatu rencana. Berdiskusi lebih tinggi tingkat kesulitannya dibandingkan dengan hiwar, sebab berdiskusi melibatkan kemampuan menganlisa, menilai, menyimpulkan fakta. Dalam aktivitas ini guru juga harus melihat tingkat kemampuan pelajar bahasa arab. Bagi tingkatan pemula tingkat permasalahan yang dipecahkan harus sederhana, tidak menutup kemungkinan aktivitas yang harus dilakukan pelajar berdasarkan bantuan imajinasi guru jika situasi menghendaki demikian.

III.    KESIMPULAN

    Kemahiran seseorang dalam suatu bahasa tidak menjamin kemahirannya mengajarkan bahasa tersebut kepada orang lain mahir berbahasa adalah satu hal dan mahir mengajarkan bahasa adalah hal yang lain. Seorang guru bahasa arab harus menguasai setidak-tidaknya tiga halyaitu : (1) kemahiran berbahasa arab, (2) pengetahuan tentang bahasa arab, dan (3) ketrampilan mengajarkan bahasa arab. Ketrampilan berbicara merupkan aspek terpenting dalam berkomunikasi, dalam hal ini berbagai metode dalam pengajaran percakapan, yaitu :
1. Latihan Pra-komunikatif
a.    Hapalan Dialog
b.    Dialog Melalui gambar
c.    Dialog terpimpin
d.    Dramatisasi Tindakan
2. Latihan komunikatif
a.    Percakapan kelompok
b.    Bermain peran
c.    Praktek ungkapan social
d.    Praktek lapangan
e.    Problem Solving
DAFTAR PUSTAKA

Efendy, Fuad. 2005. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang. Misykat
Hermawan, Acep. 2011. Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab. Bandung. Rosda
DIK.SC. J.G. KOOLIJ. 1994. Ilmu Bahasa Umum. Jakarta. RULL
Tarigan, henry Guntur. 1986. Pengajaran Analisis konstratif Bahasa. Jakarta. Dirjen DIKTI
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya. Airlangga Press
Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan, landasan penyusunan Buku Pelajaran Bahasa. Ikip Semarang Press

Sabtu, Mei 08, 2010

Bimbingan Al Quran dalam Berpikir

Kemampuan berpikir adalah keistimewaan yang dimiliki manusia, yang menyebabkan posisi manusia lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan kemampuannya berpikir, manusia memperoleh pengetahuan, mengenali dunia sekitarnya, memikirkan sejarah masa lampaunya, dan memikirkan masa depannya. Dengan kemampuan berpikir pula, manusia mampu mencapai kesempurnaan dan memiliki tujuan dalam hidupnya. Tetapi sayangnya, berbagai macam ide dan doktrin yang berkembang di dunia telah mengepung pemikiran mereka dan membuat mereka kesulitan dalam menentukan jalan hidup yang harus mereka ambil.
Menurut sebagian ahli, dewasa ini berbagai sarana propaganda dan media massa telah menjadikan pemikiran manusia sebagai sasarannya. Kini banyak sekali sarana yang bisa digunakan manusia mendapatkan informasi dan pengetahuan. Namun pada saat yang sama, kondisi ini membuka pula peluang bagi manusia untuk mengambil informasi yang salah sehingga pemikirannya menjadi tersesatkan. Sikap takabur dan tenggelam dalam kehidupan duniawiah merupakan penyebab dari kesalahan pemikiran ini. Manusa yang sombong menganggap dirinya besar akan mengira bahwa pemikirannya sendiri yang paling benar. Perasaan yang menipu ini akan menghalangi manusia untuk memandang fenomena sekitarnya secara jernih dan berpikir secara benar.

Al Quranul Karim yang merupakan kitab bimbingan dan petunjuk bagi manusia, memerintahkan manusia untuk selalu membuka mata dan telinga, serta memikirkan segala sesuatu dengan pikiran yang terbuka. Al Quran menyatakan bahwa takabur adalah sikap setan yang merupakan penyebab pertama terjadinya kesesatan. Karena sikap sombong dan takabur, setan telah membangkang perintah Allah sehingga dia keluar dari jalan yang benar. Kini pun kita melihat bahwa kekuatan-kekuatan adidaya dunia juga sedang mengikuti jalan yang diambil setan itu. Mereka menganggap diri mereka paling benar dan paling kuat di dunia, dan karena itu mereka melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan di muka bumi.
Dalam rangka melindungi keselamatan manusia, Al Quran memerintahkan manusia untuk berjalan ke arah cahaya kebenaran. Al Quran juga menyatakan bahwa ayat-ayat wahyu Ilahi adalah sumber cahaya dan pengetahuan bagi manusia. Dalam Al Quran surah Az-Zukhruf ayat 43, Allah berfirman, yang artinya sbb. “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di jalan yang lurus.”
Al Quran adalah sebuah kitab yang tidak terdapat kesalahan di dalamnya, karena kitab ini merupakan kata-kata Tuhan Yang Maha Bijaksana. Al Quran diturunkan untuk memberikan petunjuk dan pencerahan kepada manusia, serta menjauhkan manusia dari penyimpangan. Di dalam Al Quran tidak terdapat sedikitpun pendistorsian, penipuan, kekurangan, atau penambahan. Oleh sebab itu, manusia yang mau mendalami makna Al Quran akan mendapatkan manfaat yang sangat banyak. Kandungan Al Quran bagaikan lautan yang tidak bertepi, sehingga maknanya tidak akan pernah habis digali dan dipelajari. Setiap kali manusia menggali makna Al Quran, dia akan menemukan makna-makna baru yang akan semakin memperkaya jiwa dan pemikirannya.
Ayat-ayat Al Quran akan menghiasi manusia dengan pemikiran bersih dan jernih, serta menjauhkan manusia dari penyimpangan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt, Al Quran memberikan manusia kemampuan untuk memisahkan antara kebenaran dan kesesatan. Besarnya peran Al Quran dalam membimbing manusia, tampak dalam wasiat terakhir Rasulullah saaw kepada umatnya, yaitu, “Berpegang teguhlah kepada Al Quran dan Ahlil Baitku, dan kalian tidak akan tersesat untuk selamanya.”

Salah satu bimbingan Al Quran kepada manusia dalam berpikir adalah menjauhi persangkaan. Bersandar pada sesuatu yang meragukan hanya akan membawa manusia kepada kesesatan. Manusia harus mencari pengetahuan secara benar, dan setelah meyakini kebenarannya, barulah mengikuti pengetahuan itu. Mengikuti sesuatu yang tidak jelas dan tidak bisa diyakini kebenarannya hanya akan membawa manusia ke arah kesesatan. Dalam surah Yunus ayat 36 disebutkan, “Dan kebanyakan dari mereka tidak mengikuti sesuatu, kecuali karena persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Kita mengetahui bahwa manusia pada umumnya hanya mengikuti perasaan dan pandangan lahiriah semata. Perilaku seperti ini akan menyeret manusia ke arah penyimpangan. Sebagai contoh, kaum jahiliah menyembah berhala karena dulu nenek moyang mereka mengajarkan demikian. Mereka merasa bersalah dan berdosa meninggalkan pekerjaan itu. Padahal, bila mereka menggunakan akal pikirannya, mereka akan memahami bahwa berhala adalah benda yang tidak mampu melakukan apapun dan tidak mampu memberikan perlindungan kepada mereka. Menanggapi perilaku mereka itu, Allah swt berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 170, yang artinya sebagai berikut. “Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?”

Bimbingan Al Quran lainnya dalam masalah berpikir adalah bersikap takwa dan tawadu’ karena kedua sikap ini akan menyebabkan manusia berpikiran jernih dan benar. Takwa artinya memelihara diri dari hal-hal yang akan menyebabkan manusia terlibat dalam dosa. Ketakwaan harus dimiliki oleh setiap manusia yang ingin menjalani kehidupan yang benar dan mulia di hadapan Allah. Allah swt berfirman dalam surah Al Anfaal ayat 29 sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu “furqan” dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” Arti “furqan” di sini adalah kemampuan untuk memisahkan antara jalan yang benar dan jalan yang salah.
Sementara itu, sikap tawadhu’ akan membuat manusia selalu siap mendengarkan nasehat dan petuah dari orang lain, agar hidupnya terjaga dari kesesatan. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, sikap sombong akan membuat manusia merasa dirinya paling benar dan tidak mau menerima bimbingan dari orang lain. Dengan demikian, sikap takwa dan tawadhu’ adalah dua kunci utama yang akan membawa manusia untuk berpikir secara benar.
Selanjutnya, bimbingan yang diberikan Al Quran kepada manusia agar mampu berpikir secara benar adalah menjauhi tipu daya dunia. Daya tarik materi akan membuat manusia tertarik dan terikat kepada dunia. Akibatnya, manusia akan terjebak dalam pemikiran materialisme dan hedonisme, dan membuat manusia terus-menerus mengejar kenikmatan duniawiah. Manusia seperti ini akan merasa bahwa kehidupannya di dunia adalah abadi dan sedikit demi sedikit ia akan terjauhkan dari hakikat kehidupan. Dalam rangka menjauhkan manusia dari sisi lahiriyah kehidupan, Al Quran selalu mengajak manusia memikirkan hakikat di balik hal-hal lahiriah itu.
Misalnya, dalam surah Qaaf ayat 6 hingga 8, disebutkan, “Maka apakah mereka tidak melihat kepada langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” Di sini, Al Quran mengajak manusia untuk memikirkan kebesaran Tuhan dan bersujud kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Manusia yang selalu ingat akan kebesaran Tuhan akan terjaga dari kesesatan pemikiran.

Akhlak dan Politik

Akhlak dan politik adalah dua masalah penting dalam kehidupan manusia dan manusia sering mempersoalkan dua perkara ini. Di antara pertanyaan sering yang diajukan manusia, adalah apakah akhlak dan politik mempunyai kaitan atau apakah keduanya merupakan dua hal yang terpisah? Apakah politik menjadi lebih baik ketika ia dibentuk di atas fondasi nilai-nilai akhlak? Apakah politik harus diutamakan di atas akhlak ataukah akhlak yang harus diuatamakan di atas politik? Semua pertanyaan ini akan terjawab ketika kita membahas secara keseluruhan tentang akhlak dan politik.
Akhlak adalah sekelompok sifat dan keistimewaan jiwa manusia yang merupakan sumber perilaku dan perbuatannya. Sementara itu, deskripsi dari politik di antaranya adalah ilmu mengurusi dan mengatur sebuah negara. Sebagian pemikir Barat menyebutkan tujuan politik adalah untuk memperoleh kekuasaan dengan segala cara yang mungkin ditempuh dan untuk mempertahankan kekuasaan itu. Di antara pendukung kuat pandangan ini ialah Nicolo Machiavelli, ahli sejarah dan politik Itali abad ke 15. Dalam salah satu bukunya, Machiavelli menasehati para pemegang kekuasaan, bahwa dalam politik, nilai-nilai akhlak harus diabaikan dan mereka harus menggunakan segala macam cara untuk mengurus negara dan memelihara kekuasaan.

Dewasa ini, para pemikir Barat telah berhasil mengasingkan agama dan akhlak dalam kehidupan masyarakat Barat. Mereka pun juga menganggap bahwa politik dan akhlak adalah dua hal yang terpisah. Dalam pandangan seperti ini, para politikus dianggap berhak menggunakan segala macam sarana demi memelihara kekuasaan mereka, seperti berbohong, menipu, atau malah membunuh dan merampok. Mereka bahkan menggunakan akhlak sebagai alat untuk menipu opini umum demi menjustifikasi perbuatan mereka. Di sepanjang sejarah, khususnya pada beberapa abad yang lalu, pemerintah Eropa dan Amerika telah melaksanakan aksi-aksi tidak berakhlak, seperti menduduki negara-negara lain, melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat negara-negara tersebut, dan merampok kekayaan mereka. Imperialisme Barat ini telah terjadi di berbagai pelosok dunia tanpa mempedulikan nilai maknawi dan hak asasi manusia.
Di pihak lain, terdapat kelompok pemikir lainnya yang percaya bahwa politik haruslah berpegang kepada akhlak dan berdiri di atas fondasi nilai-nilai akhlak. Dalam pandangan kelompok ini, politik bukanlah sarana untuk memperoleh kekuasaan atas rakyat, namun merupakan sarana untuk memperluas nilai-nilai maknawi dalam masyarakat. Oleh karena itu, menurut kelompok ini, legalitas sebuah pemerintahan tergantung pada kemampuannya untuk memberikan perhatian kepada masalah akhlak dalam membentuk masyarakat yang sehat dari sisi kejiwaan.
Agama-agama Ilahi, terutama Islam, merupakan sumber dari pemikiran politik yang berakhlak ini. Islam senantiasa menuntut pemeliharaan nilai-nilai spiritual dan akhlak dalam pemerintahan dan politik. Dalam pandangan Islam, pengamalan nilai-nilai akhlak akan menghalangi kecenderungan pemimpin untuk berlaku batil dan zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sudah tercatat dalam sejarah, pengurusan negara yang tidak mempedulikan nilai-nilai tinggi akhlak hanya akan memberi keuntungan kepada pemilik kekuasaan dan kekayaan, sementara rakyatnya akan sengsara dan menderita. Oleh karena itulah Islam menekankan pentingnya akhlak dalam politik.
Dalam pandangan Islam, politik adalah sarana untuk berkhidmat kepada rakyat dengan cara menegakkan keadilan, menghancurkan kezaliman dan kefasadan, serta mengenalkan rakyat kepada keutamaan dan kesempurnaan insani. Dalam sistem pemerintahan seperti ini, sudah tentu pelaku politiknya harus terdiri dari orang-orang yang bertaqwa dan mengetahui tanggung jawabnya di hadapan Tuhan dan rakyat. Menurut pandangan Islam, tujuan politik bukan saja harus suci dan benar, namun sarana untuk mendapatkan kekuasaan politik itu juga harus benar dan legal. Karena itulah Islam menetapkan nilai-nilai ketakwaan, keadilan, sikap saling membantu sesama, menjauhkan diri dari penipuan dan metode yang tidak bermoral dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
Sejarah para nabi, khususnya sejarah Islam, memperlihatkan contoh nyata dari pengunaan politik yang berakhlak dan dampak positifnya terhadap individu dan masyarakat. Para nabi Ilahi berpegang teguh kepada dasar akhlak, baik ketika mengajarkan spiritualitas ataupun ketika berperang melawan kezaliman serta ketika menjalankan pemerintahan. Nabi Muhammad saaw merupakan contoh ideal seorang penguasa yang berakhlak. Berkali-kali Nabi Muhammad ditawari kedudukan dan kekayaan dengan syarat beliau menarik diri dari mendakwahkan Islam. Tetapi, Rasulullah tidak pernah menerima tawaran itu karena tujuannya dalam berdakwah adalah untuk mengajak manusia kepada kemuliaan, bukan untuk mencari kekuasaan.
Di antara keistimewaan akhlak Rasulullah saaw ialah berpegang kepada janji. Di saat beliau melakukan perjanjian damai dengan kaum non-muslim, beliau akan berpegang teguh kepada janji itu, selagi kaum non muslim itu juga tidak tidak melanggar perjanjian tersebut. Ajaran lain dari Rasulullah adalah perilaku yang baik terhadap para tawanan perang. Malah beliau memberikan kelonggaran kepada para tawanan itu, yaitu siapa saja yang bisa mengajar membaca dan menulis kepada 10 muslim, akan dibebaskan. Akhlak yang diajarkan oleh Rasul ini amat bertentangan dengan sikap para penguasa Barat yang malah menyiksa dengan kejam para tawanan perangnya.
Imam Ali as juga merupakan contoh terbaik dari seorang muslim yang berpegang teguh kepada nilai-nilai akhlak dan maknawi. Di sepanjang periode pemerintahannya, Imam Ali a.s. berkali-kali disarankan untuk tidak melaksanakan keadilan sementara waktu, demi mencegah perlawanan dari sebagian orang yang berkuasa. Tetapi Imam Ali menekankan bahwa dia menerima jabatan sebagai pemimpin Islam karena ingin melaksanakan keadilan dan menegakkan hak orang-orang teraniaya, jika tidak, jabatan sebagai pemimpin tidak ada arti baginya.
Pada zaman pemerintahan Imam Ali, terdapat tokoh-tokoh politikus yang licik dan penipu, di antaranya Muawiyah. Selepas kesyahidan Imam Ali a.s., Muawiyah di hadapan pengikutnya berkata, “Aku bersumpah demi Tuhan bahwa aku tidak berperang dengan kalian supaya kalian melakukan solat, berpuasa, menunaikan ibadah haji, atau mengeluarkan zakat. Tetapi sebaliknya, aku berperang dengan kalian demi untuk mendapatkan kekuasaan dan menjadi penguasa kalian.” Politik yang berakhlak mulia yang dilaksanakan oleh Imam Ali a.s. telah terekam dalam sejarah sebagai contoh terbaik sebuah pemerintahan Islam. Sebaliknya, Muawiyah dicacat sejarah sebagai penguasa pemerintahan umat Islam yang kejam, despotik, dan menyengsarakan rakyat karena telah menginjak-injak nilai-nilai akhlak.
Dewasa ini, kita menyaksikan dunia dipenuhi dengan kesengsaraan akibat para penguasa tidak menghiraukan nilai-nilai akhlak dalam menjalankan kekuasaan mereka. Sikap haus kekuasaan dan kekayaan telah menimbulkan perang dan penindasan di berbagai pelosok bumi. Para pemilik kekuasaan dan kekayaan kini bahkan telah menggunakan cara-cara canggih demi melanggengkan kekuasaan mereka, di antaranya dengan menggunakan media massa. Melalui media massa, mereka menutup-nutupi aksi kriminalitas mereka dan bahkan memperlihatkan citra yang baik bagi segala tindakan amoral mereka.
Contoh jelas dari masalah ini adalah invasi AS dan Inggris ke Irak yang mereka sebut-sebut sebagai usaha untuk memerangi terorisme yang mengancam dunia, memusnahkan senjata pembunuh massal Irak, dan menegakkan demokrasi. Padahal sesungguhnya, tujuan mereka adalah untuk merampok kekayaan bangsa Irak dan memperluas wilayah kekuasaan mereka. Dalam pelaksaan ambisi tidak bermoral ini, para politikus AS dan Inggris juga bekerja sama dengan para investor, misalnya produsen senjata dan perusahaan-perusahaan perminyakan yang kini berebut proyek eksplorasi minyak di Irak.
Tidak ada jalan lain untuk menghentikan semua kesewenang-wenangan politik ini selain mengembalikan politik ke jalannya yang benar, yaitu berkhidmat kepada rakyat dan menyebarluaskan nilai-nilai akhlak dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan gerakan dari dalam masyarakat sendiri, misalnya tidak memilih atau mengangkat para politikus yang tidak bermoral sebagai pengambil keputusan dalam pemerintahan.



BUKTI-BUKTI PENGUAT IKHLAS

Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas, Dr. Yusuf al-Qaradhawi


Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yg banyak sekali, cthnya dlm kehidupan orang yg mukhlis; dlm tindak-tanduknya, dlm pandangan terhadap dirinya dan juga orang lain. Di antaranya adalah:

Pertama: Takut Kemasyhuran

Takut kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yg mempunyai pangkat tertentu. Dia perlu yakin bhw penerimaan amal di sisi Allah hanya dgn cara sembunyi-sembunyi, tdk secara terang-terangan dan didedahkan. Sbb andaikata kemasyhuran seseorang memenuhi seluruh angkasa, lalu ada niat tdk baik yg masuk ke dlm dirinya, maka sedikit pun manusia tdk memerlukan kemasyhuran itu di sisi Allah.


Maka dr itu zuhud dlm masalah kedudukan, kemasyhuran, penampilan dan hal-hal yg serba gemerlap lbh besar drp zuhud dlm masalah harta, syahwat perut dan kemaluan. Al-Imam Ibn Syihab az-Zuhri berkata: “Kami tdk melihat zuhud dlm hal tertentu yg lbh sedikit drp zuhud dlm kedudukan. Engkau melihat seseorang berzuhud dlm masalah makanan, minuman dan harta. Namun jika kami membahagi-bahagikan kedudukan, tentu mereka akan berebut dan meminta lbh banyak lagi.”

Inilah yg membuat para ulama salaf dan orang-orang shaleh antara mereka mengkhuatirkan dan menyangsikan hatinya dr ujian kemasyhuran, penipuan dan kedudukan. Oleh krn itu mereka memperingatkan hal ini kpd murid-muridnya. Para pengarang buku tlh meriwayatkan dlm pelbagai gambaran ttg tingkah laku ini, spt Abu Qasim a-Qusyairi dlm ar-Risalah, Abu Thalib al-Makky dlm Qutul-Qulub, dan al-Ghazali di dlm al-Ihya’.

Begitu pula yg dikatakan seorang zuhud yg terkenal, Ibrahim bin Adham, “Allah tdk membenarkan orang yg suka kemasyhuran.”

Beliau juga berkata, “Tdk sehari pun aku berasa gembira di dunia kecuali hanya sekali. Pd suatu mlm aku berada di dlm masjid salah satu desa di Syam, dan ketika itu aku sdg sakit perut. Lalu muazzin dtg dan menyeret kakiku hingga keluar dr masjid.”

Beliau berasa senang krn muazzin tersebut tdk mengenalinya. Maka dr itu beliau diperlakukan secara kasar, kakinya diseret spt seorang pesakit. Beliau meninggalkan kedudukan dan kekayaannya krn Allah. Sebenarnya ketika itu beliau tdk ingin keluar jika tdk sakit.

Seorang zuhud yg terkenal, Bisyr al-Hafy berkata, “Saya tdk mengenal orang yg suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina.”

Beliau juga berkata, “Tdk akan merasakan manisnya kehidupan akhirat orang yg suka terkenal di tgh manusia.”

Seseorang prnh menyertai perjalanan Ibn Muhairiz. Ketika hendak berpisah, orang itu berkata, “Berilah aku nasihat.”

Ibn Muhairiz berkata, “Jika boleh hendaklah engkau mengenal tetapi tdk dikenal, berjalanlah sendiri dan jgn mahu diikuti, bertanyalah dan jgn ditanya. Lakukanlah hal ini.”

Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Seseorang tdk berniat secara benar krn Allah kecuali jika dia suka tdk merasakan kedudukannya.”

Khalid bin Mi’dan adalah seorang ahli ibadah yg dipercayai. Jika semakin ramai orang-orang yg berkumpul di sekelilingnya, maka beliau pun beranjak pergi krg takut dirinya menjadi terkenal.

Salim bin Handzalah menceritakan, “Ketika kami berjalan secara beramai-ramai di blkg Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Umar melihatnya lalu melemparkan susu ke arahnya.”

Ubay bin Ka’ab lalu bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, apakah yg tlh engkau lakukan?”

Jawab Umar, “Sesungguhnya kejadian ini merupakan kehinaan bg yg mengikuti dan ujian bg yg diikuti.”

Ini merupakan perhatian Umar bin al-Khattab secara psikologi terhadap fenomena yg pd permulaannya boleh menimbulkan kesan dan pengaruh yg jauh terhadap kejiwaan orang-orang yg mengikuti dan sekaligus orang yg diikuti.

Diriwayatkan dr al-Hasan, beliau berkata, “Pd suatu hari Ibn Mas’ud keluar dr rumahnya, lalu diikuti beberapa orang. Maka beliau berpaling ke arah mereka dan berkata: “Ada apa kamu mengikutiku? Demi Allah, andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.”

Pd suatu hari al-Hasan keluar rumah lalu diikuti beberapa orang. Beliau bertanya, “Apakah kamu ada keperluan kpdku? Jika tdk, mengapa kejadian spt ini masih tersemat dlm hati orang Mu’min?”

Ayyub as-Sakhtiyani melakukan suatu perjalanan, lalu ada beberapa orang yg mengalu-alukan kedatangannya. Beliau berkata, “Andaikata tdk krn aku tahu bhw Allah mengetahi isi hatiku ttg ketidaksukaan aku terhadap hal ini, tentu aku takut kebencian dr Allah.”

Ibn Mas’ud berkata, “Jadilah kamu sbg sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang rumah, obor pd waktu mlm dan pembaharu hati yg diketahui penduduk langit, namun tdk dikenal penduduk bumi.”

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Jika engkau sanggup utk tdk dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tdk dikenal? Apa sukarnya engkau tdk disanjung-sanjung? Tdk mengapalah engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”

Athar-athar ini tdk mengajak kpd pengasingan atau uzlah. Orang-orang yg menjadi sumber riwayat ini adalah para imam dan da’ie. Mereka memiliki pengaruh yg amat baik dlm menyeru masyarakat, mengarahkan dan memperbaiki keadaan manusia. Tetapi yg dpt difahami dr sejumlah penyataan mereka adalah kebangkitan dr naluri jiwa yg tersembunyi, kewaspadaan terhadap tipudaya yg disusupkan syaitan ke dlm hati manusia, jika hati mereka dicampuri hal-hal yg serba gemerlap dan dikelilingi orang-orang yg mengikutinya.

Kemasyhuran itu sendiri bknlah suatu yg tercela. Tiada yg lbh masyhur drp para Anbia’, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan imam-imam mujtahidin. Tetapi yg tercela adalah mencari kemasyhuran, takhta dan kedudukan, serta sgt bercita-cita mendapatkannya. Kemasyhuran tanpa cita-cita ini tdklah menjadi masalah, sekali pun ia ttp menjadi ujian bg orang-orang yg lemah, spt yg dikatakan oleh Imam al-Ghazali.

Sejajar dgn pengertian ini yg tlh disebutkan dlm hadith Abu Dzar drp Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bhw Baginda prnh ditanya ttg seorang lelaki yg melakukan suatu amal kebajikan krn Allah, lalu orang ramai menyanjungnya.

Maka Baginda menjawab, “Itu kurnia yg didahulukan, sekaligus khabar gembira bg orang Mu’min.” (HR Imam Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)

Ada pula lafaz lain, “Seseorang melakukan amal krn Allah lalu orang-orang pun menyukainya..”

Pengertian spt inilah yg ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir at-Thabary dan alin-lainnya.

Begitu pula hadith yg ditakhrij Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah, dr hadith Abu Hurairah, bhw ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang melakukan suatu amal dan dia pun senang melakukannya. Setiap kali dia melakukannya kembali, maka dia pun berasa takjub kpdnya.”

Baginda bersabda, “Dia mempunyai dua pahala, pahala krn merahsiakan dan pahala memperlihatkan.”

Kedua: Menuduh Diri Sendiri

Orang yg mukhlis sentiasa menuduh diri sendiri sbg orang yg berlebih-lebihan di sisi Allah dan krg dlm melaksanakan pelbagai kewajipan, tdk mampu menguasai hatinya krn terpedaya oleh suatu amal dan takjub pd dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tdk diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tdk diterima.

Krn sikap spt ini, ada sebahagian di antara para salaf yg menangis tersedu-sedu ketika jatuh sakit. Beberapa orang yg menziarahinya bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, padahal engkau suka berpuasa, mendirikan solat malam, berjihad, mengeluarkan sedekah, haji umrah, mengajarkan ilmu dan banyak berzikir?”

Beliau menjawab, “Apa yg membuatkanku tahu bhw hanya sedikit dr amal-amalku yg masuk dlm timbanganku dan juga diterima di sisi Rabb-ku? Sementara Allah tlh berfirman, Allah hanya menerima (amal) dr orang-orang yg bertaqwa,”

Satu-satunya sumber taqwa adalah hati. Maka dr itu al-Quran menambahinya dgn firman Allah yg bermaksud: “Maka sesungguhnya itu timbul dr ketaqwaan hati..” (al-Hajj: 32)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Taqwa itu ada di sini,” Baginda mengulanginya tiga kali dan menunjuk ke arah dadanya. (HR Imam Muslim)

Sayyidah Aishah prnh bertanya kpd Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ttg orang-orang yg dinyatakan dlm firman Allah bermaksud: “Dan orang-orang yg memberikan apa yg tlh mereka berikan dgn hati yg takut, (krn mereka tahu bhw) sesungguhnya mereka akan kembali kpd Rabb mereka.” (al-Mu’minun: 60)

“Apakah mereka orang-orang yg mencuri, berzina, meminum khamar dan mereka takut kpd Allah?”

Baginda menjawab, “Bkn wahai puteri as-Shiddiq. Tetapi mereka adalah orang-orang yg mendirikan solat, berpuasa, mengeluarkan sedekah, dan mereka takut amalnya tdk diterima. Mereka itu bersegera utk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yg segera memperolehinya.” (HR Imam Ahmad dan lain-lainnya)

Orang yg mukhlis sentiasa takut terhadap riya’ yg menyusup ke dlm dirinya, sdg dia tdk menyedarinya. Inilah yg disebut syahwah khafiyyah yg menyusup ke dlm diri orang yg meniti jalan kpd Allah tanpa disedarinya.

Dlm hal ini Ibn ‘Atha’illah memperingatkan, “Kepentingan peribadi dlm kederhakaan amat jelas dan terang. Sdgkan kepentingan peribadi di dlm ketaatan tersamar dan tersembunyi. Padahal menyembuhkan apa yg tdk nampak itu amat sukar. Boleh jadi ada riya’ yg masuk ke dlm dirimu dan orang lain juga tdk melihatnya. Tetapi kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu merupakan budi ketidakjujuranmu dlm beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tdk perlu bagimu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.”

Ketiga: Beramal Secara Diam-Diam, Jauh Dr Liputan

Amal yg dilakukan secara diam-diam harus lbh disukai drp amal yg disertai liputan dan didedahkan. Dia lbh suka memilih menjadi perajurit bayangan yg rela berkorban, namun tdk diketahui dan tdk dikenali. Dia lbh suka memilih menjadi bahagian dr suatu jamaah, ibarat akar pohon yg menjadi penyokong dan saluran kehidupannya, tetapi tdk terlihat oleh mata, tersembunyi di dlm tanah; atau spt asas bangunan. Tanpa asas, dinding tdk akan berdiri, atap tdk akan dpt dijadikan berteduh dan bangunan tdk dpt ditegakkan. Tetapi ia tdk terlihat, spt dinding yg terlihat jelas. Syauqy berkata di dlm syairnya:

Landasan yg tersembunyi
Tdk terlihat mata krn merendah
Bangunan yg menjulang tinggi
Di atasnya dibangun megah

Di bahagian sblm ini tlh dikemukakan hadith Mu’adz, “Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yg berbuat kebaikan, bertaqwa dan menyembunyikan amalnya, iaitu jika tdk hadir mereka tdk diketahui. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dr setiap tempat yg gelap.”

Keempat: Tdk Memerlukan Pujian Dan Tdk Tenggelam Oleh Pujian

Tdk meminta pujian orang-orang yg suka memuji dan tdk bercita-cita mendapatkannya. Jika ada seseorang memujinya, maka dia tdk terkecoh ttg hakikat dirinya di hdpn orang yg memujinya, krn mmg dia lbh mengetahui ttg rahsia hati dan dirinya drp orang lain yg boleh tertipu penampilan dan tdk mengetahui batinnya.

Ibn ‘Atha’illah berkata, “Orang-orang memujimu dr persangkaan mereka ttg dirimu. Maka adalah engkau orang yg mencela dirimu sendiri krn apa yg engkau ketahui pd dirimu. Orang yg paling bodoh adalah yg meninggalkan keyakinannya ttg dirinya krn ada persangkaan orang-orang ttg dirinya.”

Diriwayatkan dr Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh, bhw jika dipuji orang lain maka beliau berkata, “Ya Allah, jgnlah Engkau hukum aku krn apa yg mereka katakan. Berikanlah kebaikan kpdku dr apa yg tdk mereka ketahui.”

Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anh berkata kpd orang-orang yg mengekori dan mengerumuninya, “Andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.” Padahal beliau adalah sahabat yg menonjol, pemuka petunjuk dan pelita Islam.

Sekumpulan orang memuji seorang Rabbani. Lalu dia mengadu kpd Allah sambil berkata, “Ya Allah, mereka tdk mengenalku dan hanya Engkaulah yg mengetahui siapa diriku.”

Salah seorang yg shaleh bermunajat kpd Allah, krn sebahagian orang ada yg memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan dan kemuliaan akhlaknya:

Mereka berbaik sangka kpdku
Padahal hakikatnya tdklah begitu
Tetapi aku adalah orang yg zalim
Sbgmana yg Engkau sedia maklum
Kau sembunyikan semua aib yg ada
Dr pandangan mata mereka
Kau kenakan pakaian menawan
Sbg tabir tutupan
Jadilah mereka meyintai
Padahal aku tdk layak dicintai
Tapi hanyalah diserupai
Jgnlah Engkau hinakan aku
Pd Hari Qiamat di tgh mereka
Jadikanlah aku yg mulia
Termasuk yg hina dina

Penyair yg shaleh ini mengisyaratkan makna yg lembut dan sgt penting, iaitu keindahan tabir yg diberikan Allah kpd hamba-hambaNya. Brp banyak cela yg tersembunyi, dan Allah menutupinya dr pandangan orang ramai. Andaikata Allah membuka tabir itu dr pandangan mereka, tentu kelemahannya akan terserlah dan kedudukannya akan jatuh. Tetapi kurnia Allah enggan utk menyingkap tabir kelemahan hamba-hambaNya, sbg kurnia dan kemuliaan bgnya.

Seerti dgn ini tlh dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah, “Sesiapa yg memuliakanmu, sbnrnya dia tlh memuliakan keindahan tabir pd dirimu. Keutamaan ada pd diri orang yg memuliakanmu dan menutupi aibmu, bkn pd diri orang yg menyanjungmu dan berterima kasih kpdmu.”

Abu al-Atahiyah berkata dlm syairnya:

Allah tlh berbuat baik kpd kita
Krn kesalahan tdk menyebar ke mana-mana
Apa yg tersembunyi pd diri kita
Tentu tersingkap di sisiNya

Kelima: Tdk Kedekut Pujian Terhadap Orang Yg Mmg Layak Dipuji

Tdk kedekut memberikan pujian kpd orang lain yg mmg layak dipuji dan menyanjung orang yg mmg layak disanjung. Di sana ada dua bencana yg bakal muncul: Pertama, memberikan pujian dan sanjungan kpd orang yg tdk berhak. Kedua, kedekut memberikan pujian kpd orang yg layak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh memuji sekumpulan para sahabatnya, menyebut-nyebut keutamaan dan kelebihan mereka, spt sabda Baginda ttg Abu Bakar yg bermaksud: “Andaikata aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, nescaya aku mengambil Abu Bakar sbg kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”

Sabda Baginda kpd Umar: “Andaikata engkau melalui suatu jalan, tentu syaitan akan melalui jalan yg lain.”

Sabda Baginda kpd Uthman: “Sesungguhnya beliau adalah orang yg para malaikat pun berasa malu terhadap dirinya.”

Sabda Rasulullah terhadap Ali: “Di mataku engkau spt kedudukan Harun di mata Musa.”

Sabda Rasulullah terhadap Khalid bin al-Walid: “Beliau adalah salah satu drp pedang-pedang Allah.”

Sabda Rasulullah terhadap Abu Ubaidah: “Beliau adalah kepercayaan umat ini.”

Masih ramai sahabat yg dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, krn kelebihan dan keistimewaan mereka. Di antara mereka ada dr kalangan pemuda, spt Usamah bin Zaid yg diangkat menjadi komandan pasukan perang, padahal dlm pasukan tersebut terdapat para pemuka sahabat. Baginda mengangkat Itab bin Usaid sbg pegawai di Makkah, padahal umurnya masih dua puluh thn. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman, padahal beliau masih muda. Sebahagian di antara mereka lbh diutamakan drp orang-orang yg lbh terdahulu memeluk Islam, krn kelebihan dirinya, spt Khalid bin al-Walid dan Amr bin al-Ash.

Boleh jadi seseorang tdk mahu memberikan pujian kpd orang yg layak dipuji, krn ada maksud tertentu dlm dirinya, atau krn rasa iri hati yg disembunyikan, spt takut campurtangan di pejabatnya, atau menyaingi kedudukannya. Krn dia juga tdk mampu utk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya berdiam diri dan tdk perlu menyanjungnya.

Kita melihat bagaimana Umar bin al-Khattab yg meminta pendapat Ibn Abbas dlm pelbagai urusan, padahal Ibn Abbas masih sgt muda. Maka para pemuka sahabat berkata kpdnya, “Bicaralah wahai Ibn Abbas. Krn usia yg muda tdk menghalangimu utk berbicara.”

Keenam: Berbuat Selayaknya Dlm Memimpin

Orang yg mukhlis krn Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terhadapan dan ttp patriotik ketika berada paling blkg, selagi dlm dua keadaan ini dia mencari keredhaan Allah. Hatinya tdk dikuasai kesenangan utk tampil, menguasai barisan dan menduduki jabatan strategi dlm kepimpinan. Tetapi dia lbh mementingkan kemashlahatan bersama krn takut ada kewajipan dan tuntutan kepimpinan yg dia lewatkan.

Apa pun keadaannya dia tdk bercita-cita dan tdk menuntut kedudukan utk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebankan tugas sbg pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kpd Allah agar dia mampu melaksanakannya dgn baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tlh mensifatkan kelompok orang spt ini dlm sabda Baginda yg bermaksud:

“Keuntungan bg hamba yg mengambil tali kendali kudanya fi sabilillah, yg kusut kepalanya dan yg kotor kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di barisan blkg, maka dia pun berada di kedudukan penjagaan.” (HR Imam Bukhari)

Allah meredhai Khalid bin al-Walid yg diberhentikan sbg komandan pasukan, sekali pun beliau seorang komandan yg sentiasa mendapat kemenangan. Stlh itu beliau pun menjadi orang bawahan Abu Ubaidah tanpa rasa rendah diri. Dlm kedudukan spt itu pun beliau ttp ikhlas memberikan pertolongan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan seandainya ada seseorang yg meminta jawatan dan sengaja utk mendapatkannya. Tlh disebutkan di dlm as-Shahih, bhw Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh bersabda kpd Abdurrahman bin Samurah:

“Jgnlah engkau memimta jawatan pemimpin. Krn jika engkau memperoleh jawatan itu tanpa meminta maka engkau akan mendapat sokongan, dan jika engkau memintanya, maka semua tanggungjawab akan dibebankan kpdmu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Ketujuh: Mencari Keredhaan Allah, Bkn Keredhaan Manusia

Tdk memperdulikan keredhaan manusia jika di sebalik itu ada kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sbb setiap orang di antara satu sama lain saling berbeza dlm sikap, rasa, pemikiran, kecenderungan, tujuan dan jalan yg ditempuh. Berusaha membuat mereka redha adalah suatu yg tdk bertepi, tujuan yg sulit diketahui dan tuntutan yg tdk terkabul. Dlm hal ini seorang penyair berkata:

Adakalanya seseorang
Membuat redha sekian ramai orang
Kini betapa jauh jarak yg membentang
Di tgh tuntutan-tuntutan hawa nafsu

Penyair lain berkata:

Jika aku meredhai orang-orang yg mulia
Tentunya aku memurkai orang-orang yg hina

Orang yg mukhlis tdk terlalu peduli dgn semua ini, krn syiarnya hanya bersama Allah. Dikatakan dlm satu syair:

Boleh jadi engkau mengasingkan diri
Tetapi hidup ttp terasa pahit di hati
Boleh jadi engkau redha
Padahal orang lain murka
Engkau membangun dan orang lain merobohkan
Antara diriku dan alam ada kerosakan
Jika di hatimu ada cinta semua itu tiada daya
Apa yg ada di atas tanah
Ttp menjadi tanah

Kelapan: Menjadikan Keredhaan Dan Kemarahan Krn Allah, Bkn Krn Kepentingan Peribadi

Kecintaan dan kemarahan, pemberian dan penahanan, keredhaan dan kemurkaan harus dilakukan krn Allah dan agamaNya, bkn krn pertimbangan peribadi dan kepentingannya, tdk spt orang-orang munafik opportunis yg dicela Allah dlm KitabNya:

“Dan di antara mereka ada yg mencela mu ttg (pembahagian) zakat. Jika mereka diberi sebahagian drpnya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tdk diberi sebahagian drpnya, dgn serta merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)

Boleh jadi engkau prnh melihat orang-orang yg aktif dlm lapangan dakwah, apabila ada salah seorang rakannya melontarkan perkataan yg mengganggu atau melukai perasaannnya, atau ada tindakan yg menyakiti dirinya, maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan harakah dan aktivitinya, meninggalkan medan jihad dan dakwah.

Ikhlas utk mencapai tujuan menuntutnya utk cekal dlm berdakwah dan gerak langkahnya, sekali pun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak melampaui batas terhadap dirinya. Sbb dia berbuat krn Allah, bkn krn kepentingan peribadi atau atas nama keluarga, serta bkn krn kepentingan orang tertentu.

Dakwah kpd Allah bkn spt harta yg ditimbun atau harta milik seseorang. Tetapi dakwah merupakan milik semua orang. Siapa pun orang Mu’min tdk boleh menarik diri dr medan dakwah ini hanya krn sikap atau tindakan tertentu yg mempengaruhi dirinya.

Kesembilan: Sabar Sepanjang Jalan

Perjalanan yg panjang, lambatnya hasil yg diperoleh, kejayaan yg tertunda, kesulitan dlm bergaul dgn pelbagai lapisan manusia dgn perbezaan perasaan dan kecenderungan mereka, tdk boleh membuatnya menjadi malas, bersikap leka, mengundurkan diri, atau berhenti di tgh jalan. Sbb dia berbuat bkn sekadar utk sebuah kejayaan atau pun kemenangan, tetapi yg plagi pokok tujuannya adalah utk keredhaan Allah dan menuruti perintahNya.

Nabi Nuh ‘alaihissalam, pemuka para anbia’, hidup di tgh kaumnya selama 950 thn. Beliau berdakwah dan bertabligh, namun hanya sedikit sekali yg mahu beriman kpd beliau. Padahal pelbagai cara dakwah sudah ditempuh, waktu dan bentuk dakwahnya juga pelbagai cara, sebagaimana yg difirmankan oleh Allah melalui perkataan beliau:

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku tlh menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dr kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kpd iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dlm telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan terlalu menyombongkan diri.” (Nuh: 5-7)

Sekali pun harus menghabiskan masa selama 950 thn, beliau ttp menyeru kaumnya dan akhirnya ada 40 orang yg berhimpun bersama beliau. Sedangkan kaumnya yg lain berpaling dr beliau, sekali pun beliau sgt berharap mereka mahu beriman.

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita individu-individu Mu’min di dlm surah al-Buruj. Mereka rela mengorbankan nyawa fi sabilillah dan mereka tdk mengatakan, “Kematian ini dpt memberi apa-apa manfaat terhadap dakwah kita?”

Mereka tdk berkata spt itu, krn mereka mempunyai keteguhan hati dan pengorbanan. Kejayaan dakwah ada di tgn Allah. Siapa yg tahu kalau pun darah mereka itu merupakan santapan lazat bg pohon iman generasi berikutnya?

Perkara yg prinsip, alam orang yg mukhlis hanya bg Allah semata. Dia cekal dlm hal ini dan terus spt itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kpd Allah, krn Allah-lah yg menyediakan penyebabnya dan membatasi waktunya. Dia hanya sekadar berusaha. Jika berjaya, maka segala puji hanya bg Allah, dan jika gagal, maka segala daya kekuatan itu hanya milik Allah.

Sesungguhnya di akhirat Allah tdk akan bertanya kpd manusia, “Mengapa engkau tdk memperoleh kemenangan?” Tetapi Dia akan bertanya, “Mengapa engkau tdk berusaha?”

Allah tdk bertanya, “Mengapa engkau tdk berjaya?” Tetapi Dia bertanya, “Mengapa engkau tdk melakukannya?”

Kesepuluh: Berasa Senang Jika Ada Yg Bergabung

Berasa senang jika ada seseorang yg mempunyai kemampuan, bergabung dlm barisan mereka yg mahu beramal, utk menegakkan bendera atau ikut taat dlm amal. Hal ini harus disertai dgn usaha memberikan kesempatan kpdnya, sehingga dia dpt mengambil tempat yg sesuai dgn kedudukannya. Dia tdk harus rasa terganggu, terganjal, dengki atau pun gelisah krn kehadirannya. Malahan jika orang yg mukhlis melihat ada orang lain yg lbh baik drp dirinya yg mahu memikul tanggungjawabnya, maka dgn senang hati dia akn mundur, memberikan tanggungjawabnya kpd orang itu dan dia berasa senang menyerahkan jawatan kpdnya.

Sebahagian orang yg memegang jawatan, lbh-lbh lagi jika berada di barisan hadapan, tdk mahu menyerah dlm mempertahankan kedudukannya, tdk mahu berundur walau bagaimanapun keadaannya dan suka menekan orang lain. Dia berkata, “Ini merupakan kedudukan yg tlh diberikan Allah kpdku, maka aku tdk mahu melepaskannya. Ini adalah pakaian yg tlh dikenakan kpdku, maka aku tdk mahu membukanya. Kedudukan ini dtg dr langit.”

Padahal waktu terus berlalu, keadaan berubah dan kekuatan menjadi lemah. Setiap masa diperuntukkan bg mereka yg sesuai dgnnya, sebagaimana setiap tempat diperuntukkan bg orang yg mmg sesuai dgn tenoat itu. Banyak cemuhan ditujukan kpd penguasa yg bermati-matian mempertahankan kerusi dan kedudukannya, dgn anggapan bahawa merekalah yg paling mampu mengendalikan perahu dan menjaganya dr terpaan angin taufan.

Ketika mendapat kritik dr orang lain, para da’ie Muslim tdk boleh menutup mata atau menutup telinga. Mereka juga tdk boleh lpd tgn demi kemaslahatan dakwah sebagaimana orang lain yg tdk boleh lps tgn demi kemaslahatan negara dan ummah. Krn andai lpd tgn, boleh jadi itu merupakan belenggu syaitan dan godaan yg dibisikkan ke dlm hati para aktivitis Islam. Sehingga jika yg lbh banyak berbicara adalah kepentingan diri sendiri, kecintaan kpd kedudukan dan dunia, maka itu dianggap pengabdian terhadap agama.

Brp ramai jemaah atau harakah yg disusupi kezaliman dr luar, pengaruh dr dlm atau kepincangan dlm berfikir dan beramal, tiada inovasi dan tajdid, sbg akibat dr kerakusan satu atau dua orang yg terlibat di dlmnya. Dia tdk mahu melepaskan kedudukannya kpd orang lain. Dia lupa bahawa bumi ini terus berputar, planet-planet terus berlalu, dunia terus berubah. Tetapi ternyata mereka tdk mahu berputar seiring dgn putaran bumi, tdk berubah seiring dgn perubahan waktu dan tempat serta keadaan manusia.

Malahan di antara mereka ada yg memikul beban dan tanggungjawab melebihi kemampuan bahunya. Padahal maksudnya ialah utk menghalang jalan bg orang lain yg lbh mampu dan lbh bertenaga, bkn sahaja orang lain itu dpt dikerahkan utk mengurangkan beban amanat yg dipikulnya malah sekaligus sbg melatih diri utk memikul tanggungjawab.

Kesebelas: Rakus Terhadap Amal Yg Bermanfaat

Di antara bukti ikhlas adalah rakus terhadap amal yg paling diredhai Allah, dan bkn yg paling diredhai oleh dirinya sendiri. Sehingga orang yg mukhlis lbh mementingkan amal yg lbh banyak manfaatnya dan lbh mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri.

Dia senang melakukan puasa nafilah dan solat dhuha. Namun sekali pun waktunya dihabiskan utk mendamaikan mereka yg sdg bertikai, justeru itulah yg lbh dipentingkannya. Dlm sebuah hadith disebutkan:

“Ketahuilah, akan ku khabarkan kpdmu ttg sesuatu yg lbh utama drp darjat puasa, solat dan sedekah. Iaitu mendamaikan di antara sesama manusia. Sbb kerosakan di antara sesama amnusia adalah pemotong.” (HR Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi, hadith shahih)

Dia mendapatkan kesenangan di hati dan kegembiraan di dlm jiwa jika boleh melaksanakan umrah pd setiap bulan Ramadhan dan haji pd musimnya. Tetapi dikatakan kpdnya, “Sumbangkan saja wang itu utk ikhwan kita di Palestin atau Bosnia atau Kashmir yg sdg mengalami kehancuran.” Jika hatinya tdk lapang dan menolak, maka dia spt apa yg dikatakan al-Ghazali sbg orang yg tertipu.

Ada seorang penderma dr salah satu negara kaya yg berkunjung ke Afrika utk membangun sebuah masjid. Di sana dia ditemui oleh para wakil masyarakat, yg mengusulkan akar dia membaiki bbrp masjid lama yg hampir roboh. Sementara masjid-masjid itu berada di tempat strategik di tgh permukiman penduduk dan kewujudannya sgt diperlukan. Tabung yg mestinya utk membangun satu masjid yg direncanakan, cukup utk membaiki sepuluh masjid lama yg sudah ada dan hampir roboh itu. Tetapi ternyata dia menolak, kecuali jika namanya digunakan utk nama-nama masjid tersebut.

Kedua Belas: Menghindari Ujub

Di antara tanda kesempurnaan ikhlas ialah tdk merosak amal dgn ujub, berasa senang dan puas terhadap amal yg tlh dilakukannya. Sikap spt ini dpt membutakan matanya utk melihat celah-celah yg sewaktu-waktu muncul. Seharusnya apa yg perlu dilakukan oleh orang Mu’min stlh melaksanakan suatu amal ialah takut jikalau dia tlh melakukan kelalaian, disedari mahupun tdk disedari. Maka dr itu dia takut jikalau amalnya tdk diterima. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dr mereka yg bertaqwa.” (al-Maidah: 27)

Di antara ungkapan yg sgt berkesan dlm masalah ini, yg dinisbatkan kpd Ali bin Abi Thalib adalah, “Suatu keburukan yg menyesakkanmu lbh baik di sisi Allah drp kebaikan yg membuatmu ujub.”

Pengertian spt ini juga ditetapkan Ibn ‘Atha’illah di dlm Al-Hikam, beliau berkata, “Boleh jadi Allah membuka pintu ketaatan bagimu, tetapi tdk membuka pintu penerimaan amal bagimu. Boleh jadi Allah mentaqdirkan kederhakaan ke atas dirimu, lalu kederhakaan itu menjadi sbb yg menghantarkan ke tujuan. Kederhakaan yg membuahkan ketundukan dan kepasrahan lbh baik drp ketaatan yg membuahkan ujub dan kesombongan.”

Dr sini al-Quran memperingatkan agar tdk menyertai sedekah dgn menyebut-nyebut sedekah itu dan ucapan yg menyakitkan, krn dikhuatirkan justeru menggugurkan pahala yg dihilangkan pengaruhnya. Allah berfirman yg bermaksud:

“Perkataan yg baik dan pemberian maaf lbh baik drp sedekah yg diiringi dgnsuatu yg menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yg beriman, jgnlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dgn menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), spt orang yg menafkahkan hartanya krn riya’ kpd manusia dan dia tdk beriman kpd Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan bg orang itu adalah spt batu licin yg di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih (tdk bertanah).” (al-Baqarah: 263-264)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan ujub dan menjadikannya termasuk hal-hal yg merosak. Ibn Umar meriwayatkan dr Baginda yg bermaksud:

“Tiga perkara yg merosak dan tiga perkara yg menyelamatkan. Sedangkan perkara-perkara yg merosak adalah kedekut yg ditaati, hawa nafsu yg diikuti dan ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR Imam at-Thabrani, hadith hasan dlm Shahih al-Jami’ as-Shaghir, no. 3045)

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita kejadian yg dialami kaum Muslimin pd waktu Perang Hunain. Allah tlh memberikan kemenangan kpd mereka sewaktu Perang Badar, padahal mereka sama sekali tdk diunggulkan menang. Allah juga memberikan kemenangan kpd mereka pd Perang Khandaq, yg sblm itu pandangan mereka meredup, hati mereka naik ke atas hingga sampai ke tenggorokan, mereka menduga yg bukan-bukan terhadap Allah dan mereka tergoncang dgn hebat. Allah juga memberikan kemenanagn kpd mereka pd waktu Perang Khaibar dan Fathu Makkah. Tetapi pd waktu Perang Hunain mereka menjadi ujub krn jumlah mereka yg banyak. Ternyata jumlah yg banyak ini tdk memberi manfaat apa-apa, hingga mereka pasrah kpd Allah. Mereka pun menyedari bahawa kemenangan datang hanya dr sisi Allah. Dia berfirman yg bermaksud:

“Sesungguhnya Allah tlh menolong kamu (hai kaum Mu’min) di medan peperangan yg banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu pd waktu kamu menjadi sombong krn banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yg banyak itu tdk memberi manfaat kpd kamu sedikit pun, dan bumi yg luas itu tlh terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari ke blkg dgn bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kpd RasulNya dan kpd mereka yg beriman.” (at-Taubah: 25-26)

Orang Mu’min yg sedar adalah mereka yg menyerahkan segala urusannya hanya kpd Allah, lalu percaya bahawa kemenangan hanya dtg dr sisiNya. Firman Allah:

“Dan kemenangan itu hanyalah dr Allah Yg Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Aali Imran: 126)

Kemuliaan juga datang hanya dr sisiNya:

“Barangsiapa yg menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu.” (Fathir: 10)

Taufiq kpd hal-hal yg baik juga berasal dr pertolongan Allah. FirmanNya:

“Dan tdk ada taufiq bagiku melainkan dgn (pertolongan) Allah.” (Hud: 88)

Hidayah hanya dtg dr sisiNya:

“Barangsiapa yg disesatkanNya, maka kamu tdk boleh mendapatkan seorang pemimpin pun yg dtg yg mampu memberikan petunjuk kpdnya.” (al-Kahfi: 17)

Dikatakan dlm sebuah syair:

Andaikan Allah tiada mempedulikan kehendakmu
Nescaya tdk akan ada pilihan bg semua manusia
Andaikan Dia tdk memberi petunjuk jalanmu
Nescaya kau akan tersesat sekali pun langit ada di sana

Ketiga Belas: Peringatan Agar Membersihkan Diri

Al-Quran tlh memperingatkan utk membersihkan diri dr pujian dan sanjungan ke atas dirinya, sebagaimana firmanNya:

“Dia lbh mengetahui tentang (keadaan) kamu, ketika Dia menjadikan kamu dr tanah dan ketika kamu masih dlm janin perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan diri kamu suci. Dialah yg paling mengetahui tentang orang yg bertaqwa.” (an-Najm: 32)

Allah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani yg menganggap dirinya suci. Firman-Nya yg bermaksud:

“Apakah kamu tdk memerhatikan orang yg menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan sesiapa yg dikehendaki-Nya dan mereka tdk dianiaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)

Hal ini terjadi krn mereka berkata, spt yg dijelaskan Allah yg bermaksud:

“Kami ini adalah anak-anak Allah dan keksih-kekasih-Nya.” (al-Maidah: 18)

Perkataan mereka ini disanggah dgn firman-Nya yg bermaksud:

“Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yg diciptakan-Nya. Dia mengampuni sesiapa yg dikehendaki-Nya dan menyeksa siapa yg dikehendaki-Nya. Dan, kepunyaanl Allah-lah kerajaan di antara keduanya, dan kpd Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah: 18)

Orang yg tlh melakukan sesuatu amal shaleh, tdk boleh mempamerkan amalnya itu, kecuali jika utk menyampaikan nikmat Rabb-Nya:

“Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dgn bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)

Selain itu ia bertujuan utk memancing orang lain agar mengikutinya. Sabda Baginda yg bermaksud:

“Barangsiapa membuat sunnah yg baik, maka dia mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yg mengerjakannya.” (HR Imam Muslim)

Dibolehkan juga jika bertujuan utk membela diri krn ada tuduhan yg dilemparkan kpdnya, padahal dia tdk bersangkut-paut dgn tuduhan tersebut, atau mungkin ada sebab-sebab lain. Semua itu diperbolehkan bg orang yg batinnya sudah kuat krn Allah semata dan bukan krn tujuan yg bukan-bukan serta tdk tergolong pd ujub, tdk bertujuan mencari sanjungan dr orang lain dan mendapatkan kedudukan di kalangan masyarakat. Namun memang jrg orang yg bebas dr tujuan ini.

Orang Islam harus waspada, jgn sampai ujub terhadap diri sendiri, krn kebaikan dan keshalihan yg dilakukannya, atau keyakinan bahawa hanya dialah yg beruntung sdg yg lain merugi, atau dia dan jamaahnyalah yg layak disebut al-firqah an-najiyyah (golongan yg selamat) sdgkan semua kaum Muslimin rosak, atau hanya merekalah yg layak disebut thaifah manshurah (kelompok yg mendapat pertolongan) sdgkan yg lain dibiarkan.

Pandangan terhadap diri sendiri spt ini adalah ujub yg merosak, dan pandangan terhadap orang-orang Islam spt itu adalah pelecehan yg menghinakan.

Dlm sebuah hadith shahih disebutkan: “Jika seseorang berkata ‘Manusia tlh rosak’, maka dialah yg lbh rosak drp mereka.” (HR Imam Muslim)

Hadith ini diriwayatkan dgn bacaan ‘ahlakuhum’, dgn pengertian bahawa justeru dialah yg lbh byk dan lbh cepat menimbulkan kerosakan, krn dia terpedaya oleh diri sendiri, congkak terhadap amalannya dan melecehkan orh lain. Dgn bacaan dan makna spt ini, bererti dialah yg menyebabkan kerosakan mereka, krn dia berasa lbh unggul dr mereka dan juga membuatkan mereka berputus asa terhadap rahmat Allah.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan ini ditujukan kpd orang-orang yg berkata spt itu, krn ujub terhadap diri sendiri, mengecilkan org lain dan berasa dirinya lbh unggul dr mereka. Ini adalah perbuatan yg diharamkan. Tetapi jika perkataan spt itu disampaikan krn memang ada kekurangan dlm pengamalan agama mereka atau krn rasa prihatin terhadap situasi mereka dan juga situasi agama mereka, maka hal itu tidak apa-apa. Inilah yg ditafsir dan dihuraikan oleh para ulama, spt yg dikatakan olek Malik bin Anas, al-Khattabi, al-Humaidi dan lain-lainnya.

Dlm hadith lain disebutkan, yg bermaksud:

“Cukuplah seseorang disebut buruk jika dia mencela saudara Muslimnya.” (HR Imam Muslim)

Sebab di antara orang Islam atas orang Islam lainnya adalah dilarang menzalimi, menghinakan dan melecehkannya. Tdk mungkin seseorang mencela saudaranya sendiri, sdgkan mereka ibarat dua cabang yg melekat di satu pohon yg sama.