Sabtu, April 25, 2009

Ibn Rusyd

Dia adalah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Ibn Rusyd ( 520 - 595 H. = 1126 - 1198 M.). Salah seorang filosof Islam terbesar, ahli ilmu kalam dan pembesar ulama mazhab Maliki yang mendalami ilmu fikih perbandingan antara mazhab-mazhab fikih Islam. Dia juga seorang tokoh ilmu kedokteran – baik dalam penulisan maupun dalam praktek kedokteran – dalam sejarah peradaban Islam. Terakhir, beliau adalah qadi yang mencapai derajat qadi al-qudat di Cordova – yang menyamai kedudukan menteri kehakiman di zaman sekarang.
Ibn Rusyd dilahirkan di kota Cordova, Andalusia (Spanyol – sekarang), keluarga yang mempunyai kedudukan tinggi dalam ilmu, fikih, peradilan, politik dan administrasi. Dia belajar ilmu kedokteran dan filsafat pada tokoh masa itu, di antaranya adalah Abu Ja’far Harun, Abu Marwan bin Jarbul al-Balansi, Ibn Bajah dan Ibn Tufail.
Dia menjabat sebagai qadi di Asbilia pada tahun 564 H. = 1169 M., kemudian menjabat sebagai qadi al-qudat Cordova pada tahun 566 H. = 1171 M. Ibn Rusyd menyaksikan akhir masa daulah Murabbitin (448 - 541 H. = 1056 - 1146 M.) dan awal masa daulah Muwahhidin (541 - 668 H. = 1146 - 1269 M.) yang memerintah Maroko dan Andalusia.
Pada saat berusia tiga puluh enam tahun, Ibn Rusyd mulai menulis dan mengarang. Orang-orang yang menulis sejarah hidupnya berkata: “sungguh Ibn Rusyd tidak meninggalkan membaca dan menulis - pada sisa umurnya – kecuali pada dua malam; malam pengantinnya dan malam saat bapaknya meninggal dunia.”
Dalam sejarah filsafat, Ibn Rusyd dikenal secara internasional, dengan proyeknya, membaca, memahami, dan mensyarah hasil karya filosof Yunani Aristoteles (384 = 322 S.M.). Dia memulai proyek filsafatnya ini, karena permintaan kerajaan dan Sultan Abu Yusuf Ya’qub bin Yusuf (555 - 595 H. = 1160 - 1199 M.) dan karena dorongan dari filosof Ibn Tufail (494 - 581 H. = 1100 - 1185 M.). Pada saat itu, terjemahan buku-buku Aristoteles sedikit dan tidak jelas tulisannya, sulit untuk dipahami. Ibn Rusyd bangkit memperbaiki bahasa terjemahannya dan mensyarahnya ke dalam 3 jenis syarah, yaitu: syarah yang ringkas, sedang dan besar. Dia secara luas dikenal sebagai pensyarah terbesar bagi Aristoteles. Syarah Ibn Rusyd telah membuka jalan bagi Eropa untuk mengetahui warisan Aristoteles dan filsafat Yunani. Ibn Rusyd memulai syarah Aristoteles pada tahun 564 H. = 1169 M., yaitu setelah dia menjabat sebagai qadi, dan setelah dia matang sebagai ahli ilmu kalam dan ilmu fikih, maka syarah Aristoteles tersebut berisi banyak kritik dan tambahan-tambahan darinya.
Sedang kreasi dan prestasi Ibn Rusyd dalam ilmu kalam terepresentasi dalam warisan pemikirannya, yaitu: tahafut al-Tahafut – kitab yang menjawab serangan Abu Hamid Al-Ghazali (450 - 505 H. = 1058 - 1111 M.) atas para filosof terdahulu -, Manahij al-Adillah fi ‘aqaid al-Millah – kitab yang didalamnya menghakimi manhaj para ahli kalam, terutama Asy’ariyah. Dia melihatnya secara logika Al-Qur’an yang menggabungkan antara hikmah dan syariat -, Fasl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittisal dan kitab Dhamimah fi al-‘ilm al-Ilahi. Walaupun kecil ukurannya, kitab tersebut merupakan dua teks peninggalan Islam yang sangat berharga.
Dalam warisan ilmu kalam dan filsafat ini, Ibn Rusyd mewujudkan mazhabnya dalam mempertemukan antara hikmah (filsafat) dengan syariat (agama dan wahyu).
Sedang dalam ilmu fikih, dia mempunyai kitab istimewa, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, yang tidak hanya menjadikannya sebuah kitab mazhab Maliki, tetapi dia menjadikannya sebagai filsafat fikih dan menguraikan sebab-sebab perbedaan para ahli fikih – semua ahli fikih dari semua mazhab -, sehingga kitab ini datang sebagai studi perbandingan fikih Islam yang mencerminkan batas tertinggi bagi peneliti yang sedang (tidak terlalu mendalam) dan batas permulaan bagi para mujtahid, di samping sebagai kitab yang penting dalam fikih Maliki.
Dalam ilmu kedokteran, Ibn Rusyd mempunyai lebih dari dua puluh buku. Bukunya yang terkenal adalah al-Kulliyat. Para penulis sejarah mengungkapkan tentang kedalaman Ibn Rusyd dalam bidang kedokteran, “fatwanya dalam ilmu kedokteran dikagumi sebagaimana kekaguman mereka terhadap fatwanya dalam fikih. Itu semua karena kedalaman filsafat dan ilmu kalamnya.
Ibn Rusyd dikenal dengan syarah Aristoteles, syarah yang tersebar luas di Eropa pada saat kebangkitannya, maka ada aliran pemikiran pada saat itu yang berlindung dibalik nama besarnya, dengan pendapat yang tidak pernah diucapkan oleh Ibn Rusyd dan dihasilkannya dalam karya-karyanya, baik dalam bidang filsafat maupun ilmu kalam. Aliran pemikiran ini dikenal dengan aliran Rusydi Latin (Aviroes Latin). Tetapi mereka yang mempelajari Ibn Rusyd dan melihat pada hakikat pemikiran Islam, walaupun mempelajarinya dari para orientalis besar, tentu mengetahui penyimpangan penisbahan aliran tersebut kepada filosof Islam Ibn Rusyd. Arnest Rinan (1823 - 1892 M.), salah seorang filosof Barat yang menonjol dalam mempelajari Ibn Rusyd, berkata:
“Takdir telah menentukan bahwa Ibn Rusyd telah menjadi perantara bagi munculnya kebohongan orang-orang yang sangat dengki dan menjadi perantara atas kekerasan berbagai bentuk pertentangan aqliyah dan pemikiran, sebagaimana namanya dijadikan bendera yang mengibarkan pendapat-pendapat tersebut, yang secara meyakinkan dia tidak pernah berpikir tentangnya sama sekali.”
Senada dengan makna ucapan Rinan di atas, Orientalis Spanyol Asin Plasius (1871 - 1944), mengatakan :
“Sungguh wajib bagi kita untuk memberi isyarat kepada pemikiran-pemikiran palsu, yang mana semua sejarawan menjadi korbannya. Yaitu sesungguhnya ketika mereka (para sejarawan) mendapati sekelompok para guru yang pada masa pertengahan dan masa kebangkitan diberikan pada mereka nama Rusydiyin, maka para sejarawan tersebut tidak ragu-ragu untuk menisbatkan semua teori dan pemikiran kepada Ibn Rusyd, yang mana dia (Ibn Rusyd) berbeda dengan kelompok tersebut.”
Dengan demikian, filsafat Ibn Rusyd harus lebih banyak kita sentuh dari kreasinya daripada syarah-syarahnya terhadap pemikiran Aristoteles. Berhati-hati dalam membebankan tanggungjawab pendapat dan pemikiran yang diucapkan oleh Aviroes Latin, karena terdapat perbedaan yang sangat besar antara aliran Aviroes Latin yang palsu dengan aliran Aviroes Islam yang dihasilkn oleh ahli fikih yang mutakallim dan filosof Muslim ini. Wallahualam.

Arab Pra Islam

i. Kondisi Geo-Politik

Arab. Letaknya yang dekat persimpangan ketiga benua, semenanjung Arab menjadi dunia yang paling mudah dikenal di alam ini. Dibatasi oleh Laut Merah ke sebelah barat, Teluk Persia ke sebelah Timur, Lautan India ke sebelah selatan, Suriah dan Mesopotamia ke utara, dahulu merupakan tanah yang gersang tumbuh-tumbuhan di Pegunungan Sarawat yang melintasi garis pantai sebelah barat. Meski tidak banyak perairan, beberapa sumbernya terdapat di bawah tanah yang membuat ketenangan dan sejak dulu berfungsi sebagai urat nadi permukiman manusia dan kafilah-kafilah.

Semenanjung Arabia dihuni sejak hari-hari pertama dalam catatan sejarah. Sebenarnya penduduk teluk Persia telah membangun negara perkotaan, city-state, sebelum abad ketiga S.M.1 Para ilmuwan menganggap wilayah tersebut sebagai tempat kelahiran suku bangsa Semit, meski sebenarnya tak ada kata mufakat di antara mereka. Istilah Semit mencakup: Babilonia (pendapat Von Kremer, Guide, dan Hommel);2 semenanjung Arabia (Sprenger, Sayce, De Goeje, Brockelmann, dan lain-lain);3 Afrika (Noldeke dan lain-lain);4 Amuru (A.T. Clay);5 Armenia (John Peaters);6 bagian sebelah selatan semenanjung of Arabia (John Philby);7 dan Eropa (Ungnand).8

Phillip Hitti, dalam karyanya yang berjudul, Sejarah Bangsa Arab, menyebut,

"Kendati istilah semit muncul belakangan di kalangan masyarakat Eropa, hal tersebut biasanya dialamatkan pada orang-orang Yahudi karena yang terkonsentrasi di Amerika. Sebenarnya lebih tepat ditujukan pada penduduk bangsa Arab yang, lebih dari kelompok manusia lain, telah mendapat ciri bangsa Semit secara fisik, kehidupan, adat istiadat, cara berpikir dan bahasa. Orang-orang Arab masih tetap sama sepanjang pen¬catatan sejarah."9


Hampir semua hipotesis asal-usul kesukuan lahir dari kajian di bidang bahasa mengambil sumber informasi dari Kitab Perjanjian Lama,10 yang kebanyakan tidak bersifat ilmiah serta didukung oleh bukti sejarah yang akurat. Misalnya, Kitab Perjanjian Lama memasukkan bangsa lain yang pada hakikat¬nya bukan bangsa Semit seperti Alamite dan Ludim, di waktu yang sama tidak mengikutsertakan beberapa bangsa Semit lain seperti Funisia dan Kanaan.11 Melihat pendapat yang beragam, saya lebih cenderung menerima bahwa kaum Semit muncul dari kalangan bangsa Arab. Menjawab pertanyaan siapa sebenarnya bangsa Semit dan siapa yang bukan, Bangsa Arab dan Israel memiliki keturunan asal usul serumpun melalui Nabi Ibrahim.12

ii. Nabi Ibrahim dan Kota Mekah

Dalam waktu yang ditetapkan dalam sejarah, Allah memberi karunia kepada Nabi Ibrahim seorang putra, Isma'il, pada usia lanjut. Ibunya, Siti Hajar, seorang hamba yang dihadiahkan Pharos kepada Sarah. Kelahiran Isma'il membuat Sarah cemburu luar biasa di mana ia meminta agar Ibrahim memutus hubungan persaudaraan wanita tersebut dengan putranya.13 Melihat adanya perselisihan dalam keluarga, ia membawa Siti Hajar dan Isma'il ke tanah Mekah yang tandus, lembah yang amat panas dan tak berpenduduk, serta kekurangan makanan dan minuman. Saat mulai tinggal, Siti Hajar melempar pandangan pada tanah kosong yang ada di sekelilingnya dengan perasaan tak menentu disertai pertanyaan kepada Ibrahim apakah ia telah meninggalkan mereka. la tak menjawab. Lalu ia bertanya adakah ini perintah Allah? Ibrahim lalu mengiyakan. Mendengar jawaban itu ia berkata, "Jika demikian halnya, Tuhan tak akan membuat kita sia-sia." Pada akhirnya, air Zamzam menyembur dari dalam tanah gersang membasahi kaki si kecil, Isma'il. Mata air itulah yang membuat tempat itu sebagai permukiman yang dihuni pertama kali oleh kabilah Jurhum.14

Beberapa tahun kemudian Nabi Ibrahim, saat mengunjungi putranya, memberi tahu tentang sebuah pandangan pemikiran:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama¬sama Ibrahim, Ibrahim berkata, 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka Pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab, 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang dipertanyakan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang¬orang yang sabar.' Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran kedua¬nya). Dan saya panggilah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,' sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar¬benar sesuatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar."15

Nabi Ibrahim dan Isma'il menerima perintah ketuhanan guna membangun tempat suci pertama di muka bumi sebagai tempat menyembah Allah,

"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia."16


Bakkah sebuah ungkapan kata lain dari kota Mekah, dari atas batu itulah ayah dan putranya memusatkan perhatian pada pembangunan Ka'bah yang suci dengan sikap ketakwaan seorang yang telah menghadapi cobaan yang sangat berat dan mampu menghadapinya karena `inayah Allah. Setelah menyelesaikan bangunan itu, Nabi Ibrahim lalu berdoa,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. "17


Tidak lama kemudian doa yang disemburkan mulai membuahkan hasil dan Mekah tidak lagi terpencil; kehidupan semakin berkembang dengan adanya tempat suci Allah, air zamzam, dan penduduknya mulai menuai kesuburan. Kemudian menjadi pusat lintas perdagangan ke Suriah, Yaman, Ta'if, dan Najd,18 dan penyebab utama di mana dari masa ke masa, para kaisar dari Aellius Gallus hingga Nero ingin menyebarkan pengaruh di persinggahan penting kota Mekah dengan mencurahkan segala upaya guna mencapai tujuan tersebut.19

Tampaknya terdapat pula gerakan kependudukan lain di semenanjung Arab. Perlu dicatat, di sana terdapat para pengungsi bangsa Yahudi, beberapa abad kemudian, memperkenalkan agamanya pada masa pengasingan orang ¬ orang Babilonia. Mereka kemudian menetap di Yathrib (Madinah sekarang), Khaebar, Taima', dan Fadak pada tahun 587 sebelum masehi dan tahun 70 Masehi.20 Suku bangsa Nomad terus mengalami perubahan. Suku bangsa Tha 'liba dari keturunan Qahtan juga tinggal di Madinah. Di antara anak cucu keturunan mereka adalah kabilah Aws dan Khazraj, yang kemudian ke duanya lebih dikenal sebagai kaum al-Ansar'21 (pendukung utama Nabi Muhammad). banu Harithah, yang kemudian dikenal sebagai banu Khuza'a, tinggal di Hejaz menggantikan penduduk sebelumnya, banu Jurhum,22 yang kemudian menjadi pemelihara Baitullah atau Ka'bah di Mekah. Merekalah yang harus memikul tanggung jawab karena melahirkan sistem keberhalaan.23 Bani Lakham, kabilah lain dari Qahtan, menetap di Hira (Kufa, sekarang Irak) di mana mereka mendirikan sebuah negara kecil sebagai penahan antara Jazirah Arabia dan Persia (200-602 masehi).24 Bani Ghassan menetap di Suriah sebelah bawah dan mendirikan kerajaan Ghassan, sebuah negeri penahan antara Byzantin dan Arab, yang berakhir hingga tahun 614 masehi.25 Bani Tay menduduki daerah pegunungan Tayy sedang ban! Kinda menetap di pusat Arab.26 Gambaran secara umum dari semua kabilah tersebut merupakan jalur keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Isma'il.27

Bab ini tidak dimaksudkan hendak memberi gambaran tentang kota Mekah sebelum Islam, sekadar pendahuluan akan adanya hubungan nenek moyang anggota keluarga Nabi Muhammad. Untuk mempersingkat, saya akan mengungkap dan melacak kelahiran Qusayy, para kakek Nabi Muhammad.

iii. Qusayy Sebagai Penguasa Kota Mekah

Ratusan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, Qusayy. dikenal sebagai orang yang amat cerdas, perkasa serta memiliki kemampuan administrasi yang tinggi dan mencuat dalam jajaran pentas politik kota Mekah. Mengambil faedah dari kepentingan Byzantin di Mekah waktu itu, la minta pertolongan mereka dalam menguasai kota Mekah dengan mengesampingkan pengaruh Byzantin dengan tidak menghiraukan kepentingan wilayah mereka.28

Qusayy menikahi Hubba binti Hulail, putri kepala Suku Khuza'i di Mekah; kematiannya memberi peluang menaiki tahta kekuasaan dan menye¬rahkan pemeliharaan kota Mekah pada anak cucu keturunannya.30 Kabilah Quraish terpencar ke seluruh wilayah yang pada akhirnya semua memasuki kota Mekah dan menyatu di bawah komando kepemimpinannya.31

iv. Mekah: Sebuah Masyarakat Kabilah

Meski disebut sebagai kota negara, city-state, Mekah tetap merupakan masyarakat kesukuan hingga akhir penaklukannya pada masa Nabi Muhammad. Sistem kependudukan masyarakat dibangun menurut kabilah dimana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Seorang Arab tidak akan dapat memahami pemikiran negara kebangsaan melainkan dalam konteks sistem kesukuan (kabilah),

"Adalah hubungan negara kebangsaan yang mengikat keluarga ke dalam kesukuan,sebuah negara yang didasarkan pada hubungan darah daging seperti halnya negara kebangsaan yang dibangun di atas garis keturunan. Adalah hubungan kekeluargaan yang mengikat semua individu ke dalam negara dan kesatuan. Hal ini dianggap sebagai agama kebangsaan dan hukum perundangan-undangan yang telah mereka sepakati."32

Setiap anggota merupakan asset seluruh kabilah di mana munculnya se¬orang penyair kenamaan misalnya, ahli perang pemberani, orang terkenal dalam kebaikan dalam satu kabilah, akan membuat kehormatan dan nama baik seluruh garis keturunannya. Di antara tugas utama tiap pendukung kesukuan adalah mempertahankan bukan saja terhadap anggotanya melainkan setiap mereka yang secara sementara seperti tamu-tamu yang hadir di bawah bendera kabilah. Memberi proteksi pada mereka merupakan suatu kehormatan yang dicapai. Oleh karena itu, kota Mekah sebagai kota kenegaraan selalu siap menyambut setiap pendatang menghadiri perayaan, melakukan ibadah haji,33 atau pun sekadar lewat dengan rombongan berunta. Memberi pelayanan permintaan ini memerlukan keamanan dan fasilitas yang memadai, dan, oleh karena itu institusi kemudian dibangun di kota Mekah (di mana beberapa di antaranya oleh Qusayy sendiri):34 seperti Nadwa (lembaga perkotaan), Mashura (dewan nasihat), Qiyada (kepemimpinan), Sadana (adminstrasi kota suci), Hijaba (pemeliharaan Ka'bah), Siqaya (pengadaan air minum buat para jemaah haji), Imaratul-bait (pemeliharaan kesucian Ka'bah), Ifa`da (mereka yang berhak memberi izin pada orang pertama yang melangkah dalam acara perayaan), Ijaza, Nasi (institutsi penyesuaian kelender), Qubba (membuat tenda mengumpulkan sumbangan bagi mengatasi keadaan darurat, A'inna (pemegang kendali kuda), Rafada (pajak untuk membantu para jemaah haji yang miskin), Amwal muhajjara (sedekah untuk kesucian), Aysar, Ashnaq (pembuat perkiraan pertanggungan jawab keuangan) Hukuma (pemerintahan), Sifarah (kedutaan), `Uqab (penentuan standar), Liwa (panji) dan Hulwan-un¬nafr (mobilisasi kesejahteraan).

Tugas berat ini menjadi tanggung jawab anak cucu keturunan Qusayy. Keturunan 'Abdul-Dar misalnya mengambil alih tugas pemeliharaan Ka'bah, balai kelembagaan, dan hak-hak mengangkat panji pada semua staf pada saat peperangan.35 'Abd-Manaf mengatur hubungan luar negeri dengan penguasa Romawi, dan pangeran Ghassan. Hashim (putra lelaki 'Abd-Manaf) mengadakan perjanjian dan dikatakan telah menerima perintah dari kaisar memberi kekuasaan pada orang Quraish untuk melakukan perjalanan melalui Suriah dalam keadaan aman."36 Hashim dan kelompoknya tetap mempertahankan tugasnya sebagai kepala pengaturan makanan dan minuman untuk para jamaah haji. Kekayaannya telah memberi peluang melayani para jamaah haji dengan kebesaran seorang pangeran.37

Sewaktu melakukan misi perdagangan ke Madinah, Hashim terpikat oleh seorang wanita bangsawan suku Khazarite, Salma binti 'Amr. lamenikah dan kembali bersamanya ke Mekah, namun saat dalam keadaan hamil ia memilih kembali ke Madinah dan melahirkan seorang putra, bernama Shaiba di sana. Hashim meninggal di Gaza pada saat melakukan misi perdagangan,38 dan memberi kepercayaan pada saudaranya, Muttalib, guna memelihara putranya39 yang saat itu, masih bersama sang ibu. Saat melakukan perjalanan ke Madinah, Muttalib berselisih paham dengan janda Hashim tentang penjagaan pemuda Shaiba, yang pada akhirnya ia berada pada pihak yang menang. Dengan kembali bersama paman dan keponakannya ke Mekah, orang salah pengertian dan mengira anak lelaki itu sebagai hamba Muttalib. Oleh sebab itu, nama julukan Shaiba menjadi 'Abdul-Muttalib.40

Setelah meninggal pamannya, 'Abdul-Muttalib, mewarisi tugas Siqaya (pengadaan air minum buat para jamaah haji) dan Rafada (pengumpul bantuan keuangan untuk para jamaah haji miskin).41 Setelah menemukan kembali sumur zamzam yang mata airnya terbenam dan sudah terlupakan di bawah himpunan pasir beberapa tahun lamanya, ia memperoleh kehormatan dan ketinggian menjadi gubernur kota Mekah. Beberapa tahun sebelumnya ia pernah nazar bahwa jika ia diberi sepuluh orang putra, ia akan mengorbankan satu di antara mereka demi sebuah patung berhala. Sekarang, setelah diberi

v. Masa Qusayy Hingga Muhammad SAW

keberkahan dengan sejumlah putra seperti dikehendaki, 'Abdul-Mutallib berupaya memenuhi janjinya dengan meminta pendapat Azlam42 agar memilih siapa di antara mereka yang hendak dikorbankan. Nama anak termuda (yang paling digemari), 'Abdullah, ternyata itu yang muncul. Pengorbanan kemanusiaan dianggap suatu yang tidak disenangi di kalangan orang Quraish, maka ia mengontak juru sihir yang, menurut ramalan, 'Abdullah akan ditukar dengan seekor unta. Azlam kembali dihubungi, dan nilai nyawa anak muda itu ditaksir dengan harga seratus unta.

Karena luapan kegembiraan melihat peristiwa tersebut 'Abdul-Muttalib membawa putranya, 'Abdullah, ke Madinah untuk mengunjungi beberapa kerabatnya. Di sanalah `Abdullah mengawini Amina, sepupu perempuan Wuhaib yang merupakan tuan rumah dan memiliki asal usul keturunan kabilah (saudara laki-laki Qusayy mendirikan kabilah bani Zuhra dari suku Wuhaib). 'Abdullah menikmati kedamaian dalam keluarga beberapa lama sebelum memulai misi perdagangan ke Syria. Malangnya sepanjang perjalanan jatuh sakit. la kembali ke Madinah dan meninggal dunia di saat Amina mulai kehamilan Muhammad.

vi. Kondisi Keagamaan di Jazirah Arabia

Menjelang masa kenabian Muhammad, Jazirah Arab tidak merasa akrab melihat semua bentuk reformasi keagamaan. Sejak berabad-abad penyem¬bahan patung berhala tetap tak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman kaum Yahudi maupun upaya-upaya Kristenisasi yang muncul dari Syria dan Mesir. William Muir, dalam bukunya, The Life of Mahomet, beralasan bahwa kehadiran kaum Yahudi atau keberadaan mereka membantu menetralisasi tersebarnya ajaran Injil melalui dua tahap. Pertama, dengan memperkuat diri sendiri di sebelah utara perbatasan Arab, dan untuk itu, mereka membuat penghalang, barrier, antara ekspansi Kristen ke utara dan penghuni kaum berhala di sebelah selatan. Kedua, para penyembah berhala bangsa Arab telah melakukan kompromi dengan agama Yahudi dalam memasukkan cerita legendaris guna menghabisi permintaan aneh-aneh agama Kristen.43 Saya tak dapat menerima teori pendapat ini sama sekali. Menurut pengakuan bangsa Arab, sebenarnya, sisa-sisa keagamaan monoteistik Nabi Ibrahim dan Isma'il yang telah diubah oleh khurafat dan kebodohan. Cerita yang biasanya dimiliki oleh kaum Yahudi dan orang Arab umumnya merupakan hasil keturunan nenek moyang bersama.

Ajaran Kristen abad ke-7 itu sendiri tenggelam dalam perubahan dan mitos palsu dan terperangkap dalam stagnasi secara total. Dulunya Bangsa Arab yang mengikuti agama Kristen bukan disebabkan oleh sikap persuasif melainkan akibat kekejaman kekuasaan politik.44 Tak ada kekuatan yang dapat melumpuhkan para penyembah berhala bangsa Arab di mana kemusyrikan mencengkeram begitu kuatnya. Lima abad lamanya upaya Kristenisasi mem¬buahkan hasil nihil. Perpindahan terhadap agama Kristen hanya terbatas pada bani Harith dari Najran, bani Hanifa dari Yamama, dan beberapa bani Tayy di Tayma'.45 Dalam masa lima abad, sejarah tidak mencatat adanya satu insiden apa pun yang menyangkut sikap penyiksaan para misionaris Kristen. Di sini sangat berbeda dari nasib yang dialami oleh pengikut Muhammad sejak awal pertama di Mekah di mana kristenisasi dipandang sebagai suatu hal yang menyusahkan dan mendapat sikap toleran, sebaliknya Islam dianggap sebagai suatu yang membahayakan terhadap institusi keberhalaan bangsa Arab.

Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara al-Qur'an dan tafsirnya; antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh orang-orang semisal Abu Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius. Pertama: kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia. Kedua: mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga: menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya. Keempat: menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kwalitas yang sama nisbinya. Kelima: membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu..." (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa? Keenam: berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh: membubarkan konsep amar ma'ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma'ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma'ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat (samar).
Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi. Walaupun dalam tradisi khazanah keislaman klasik, terdapat banyak ragam penafsiran ulama. Namun keragaman penafsiran itu tetap dalam koridor universalitas al-Quran dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah, hukum syariat dan sebagainya. Misalnya dalam bidang akidah, tidak ada ulama yang menafsirkan makna ayat “Qul huwallahu ahad”, dengan membenarkan teologi Trinitas. Bahkan mereka sepakat menafsirkan kata kafara dalam QS.5:73 (Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga), dengan makna murtad, dan tidak ada yang memaknai kufur nikmat.
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syariat pun, para mufassirin tidak berbeda pendapat tentang arah kiblat, jumlah rakaat shalat fardu, wajibnya puasa Ramadan, zakat, serta tempat berhaji. Di antara keragaman kitab tafsir, juga tidak dijumpai satu penafsiran pun yang mengatakan bahwa hukum kriminal (hudud) dan waris telah usang (out of date), dan terpengaruh budaya arab. Perbedaan antara madzhab hanya bersifat cabang (furu'iyyah), teknis fiqh dan bukan pada hal-hal yang bersifat fundamental.
Sedangkan asumsi historisitas al-Qur’an, baik dengan menyebutnya sekedar teks linguistik, produk budaya maupun teks manusia, tidaklah mempunyai dasar yang kuat. Sebab ‘kesadaran ilmiah’ (al-wa‘yu l-‘ilmi) yang diproyeksikan Abu Zayd sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian keagamaan, tidak lain adalah karbon kopi dari metode ‘kesadaran historis’ (historical consciousness) versi Wilhem Dilthey, dan tentunya bila diterapkan pada wacana keagamaan akan meragukan nilai-nilai agama, mengaburkan batasan yang jelas antara makna qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan), antara tsawabit (hal-hal yang bersifat tetap) dan mutaghayyirat (hal-hal yang berubah), antara yang ijma’ (disepakati) dan ikhtilaf (berbeda), antara yang mutawatir dan ahad dan sebagainya, serta mengedepankan realitas untuk berkuasa atas pemaknaan teks.
Pendekatan hermeneutika yang dipropogandakan kalangan modernis semisal Abu Zayd untuk menggeser peranan tafsir dan ta'wil dalam studi al-Qur'an, tidak hanya janggal dalam tradisi keilmuan Islam, malah terbilang bertentangan. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsir - ta'wil di sisi lain. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Hermeneutika yang telah lama digunakan dalam tradisi Yunani, Yahudi dan Kristen sebenarnya adalah jawaban atas keaslian sandaran keagamaan yang terus menjadi perdebatan. Keyakinan, tradisi dan ritual keagamaan bangsa Yunani dibangun di atas mitos, sajak (poetry) dan spekulasi para filsufnya, dan tidak pernah didasarkan atas wahyu atau kenabian. Sedangkan Yahudi dan Kristen (Perjanjian Lama dan Baru) telah lama terlibat aktif dalam pengembangan dan pengeditan terhadap teks sucinya. Sehingga tidak bisa lagi ditemukan keaslian otographi para pengarang Bibel secara meyakinkan. Akibatnya, kritik Bibel sebagai disiplin ilmu telah dikembangkan untuk mengkaji beberapa permasalahan teks, komposisi dan sejarah yang berkaitan dengan Perjanjian Baru dan Lama dalam rangka mendapatkan penafsiran yang lebih makna. Pada dasarnya, metode penafsiran Yahudi-Kristen meliputi dua prosedur yang saling berkaitan; a) melampaui makna harfiah (literal meaning) teks dan menggabungkan penafsiran Bibel dalam kerangka teologi yang lebih besar (larger theological framework). b) membentuk setelan aturan yang mengkondisikan dan mencakup barisan penafsiran dalam komunitas, kemudian berusaha melindungi identitas dan pertalian keagamaan mereka.
Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas al-Qur’an dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang?
Konsep al-Qur’an yang diuraikan Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian al-Qur’an yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan al-Qur’an dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian al-Qur’an adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap al-Qur’an yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa al-Qur’an dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history).
Memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut; Pertama: hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah. Kedua: penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Ketiga: memisahkan makna antara yang "normatif" dan yang "historis" di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler.
Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi ‘hakim’ dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka bagi Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya. Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna al-Qur’an menurut zaman tertentu dalam sejarah.
Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis (iman-kufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al-nuzul dan naskh wa mansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab ––meskipun kedua pendekatan ini juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan ideologis.
Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks¬ --dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya-- sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas (al-waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya).
Sedangkan tujuan teori tafsir abu zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan.