Rabu, Juli 08, 2009

Teologi Dan Filsafat

Ketegangan Teologi dan Filsafat
(Pergumulan Rasionalisme dalam Islam)
Dikutp dari buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004
Penulis, A Khudori Soleh
Hal. 20-36


Para pemikir muslim sepakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalam kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti ditempatkan dibawah wahyu, sebaliknya sebagian lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu diperlukan hanya sebagai justifikasi penemuan akal. Tulisan ini pertama membahas akar-akar rasionalisme dalam Islam kemudian ketegangan yang terjadi antara teologi Islam (ilm al-kalâm) dengan filsafat, dua aliran pemikiran dalam Islam yang sama-sama menggunakan kekuatan rasio.

A. Akar Rasionalisme Islam.
Ketika dikatakan bahwa pemikiran rasional Islam tidak bersumber dari filsafat Yunani, tetapi benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam sendiri seperti disampaikan Oliver Leaman, Louis Gardet, dan al-Jabiri, muncul pertanyaan bagaimana dari pokok-pokok ajaran Islam, Al-Qur’an yang global dan tidak mengajarkan tata berfikir secara rinci bisa melahirkan sistem berfikir yang baik dan rasional?
Menurut Lauis Gardet dan Anawati, kemunculan sistem berfikir rasional dalam Islam, pertama, didorong oleh munculnya mazhab-mazhab bahasa (nahw) lantaran adanya kebutuhan untuk bisa memahami ajaran al-Qur’an dengan baik dan benar. Harus difahami, meski al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi tidak semua lafat-lafatnya bisa dengan mudah difahami oleh orang-orang arab sendiri saat itu. Sejak khulafa’ al-Rasyidin sudah dirasakan adanya kebutuhan akan tafsir dan cara pembacaan yang ‘benar’. Dengan semakin banyaknya orang non-arab yang masuk Islam, kebutuhan tersebut semakin besar dan mendesak, dan ketika pengetahuan keagamaan mulai di dengungkan, orang-orangpun semakin merasa perlu akan adanya pembakuan aturan kebahasaan yang memungkinkan orang untuk membaca al-Qur’an secara benar, disamping untuk mengetahui kemukjizatan al-Qur’an dari segi bahasanya.
Sehubungan dengan hal itu, muncul tiga mazhab nahwu. Pertama, mazhab Basrah. Mazhab ini mempunyai kecenderungan untuk menegakkan koordinasi rasional terhadap bahasa. Mereka juga membuat aturan-aturan umum dan menganggap tidak benar segala penyimpangan yang dilakukan terhadap aturan yang diciptakannya. Menurut sebagian orang, seperti sumber-sumber dari Syiah, mazhab ini dibangun oleh Abu Aswad al-Duwali, atas nasehat Imam Ali ibn Abu Thalib ra (w. 661 M). Akan tetapi, sumber-sumber lain yang lebih menyakinkan menyatakan bahwa mazhab ini dibangun oleh Isa ibn `Umar al-Tsaqafi (w. 766 M). Tokoh utamanya saat itu adalah Khalil, kemudian muridnya; Sibawaih (w. 793 M). Menyusul kemudian al-Asma`i (w. 830 M) dan Abu `Ubaidah (825 M) yang sangat terkenal pada masa Harun al-Rasyid (785-809 M), lalu al-Mubarrad (w. 898 M), al-Sukari (w. 888 M) dan Ibn Duraid (w. 934 M). Kedua, mazhab Kufah yang merupakan tandingan dari mazhab Basrah yang didirikan oleh al-Rasai, beberapa tahun kemudian. Berbeda dengan mazhab Basrah yang bersandar pada sosiologi bahasa (sima`i), mazhab Kufah lebih menekankan prinsip universal linguistik sehingga lebih bebas dalam menerima aturan yang berbeda-beda. Bahkan, bila perlu, bisa bersandar pada pemakaian-pemakaian yang tidak lazim untuk membuat aturan baru. Tokohnya yang penting adalah al-Mufadlal al-Dlabbi (w. 876 M), al-Kisai (w. 805 M), al-Farra (w. 822 M), Ibn al-Sikkait (w. 858 M) dan Tsa’lab (w. 904 M). Ketiga, mazhab Baghdad. Ini berusaha merukunkan persaingan keras diantara kedua mazhab diatas dengan cara menggabungkan dua kecenderungan yang ketat dan longgar diantaranya. Tokoh utamanya adalah Ibn Qutaibah (w. 889 M).
Perdebatan antara mazhab-mazhab nahwu ini mempunyai pengaruh cukup besar dalam pembacaan al-Qur’an yang pada gilirannya, nahwu yang dielaborasi dengan cermat membuka --bagi para pelaku perdebatan teologi saat itu-- suatu bingkai, kategori-kategori suatu kosa kata yang memberikan catatan khas pada teologi atau pemikiran rasional.
Kedua, muncul mazhab-mazhab fiqh. Pada zaman shahabat, apalagi ketika Rasul masih hidup, persoalan-persoalan hukum (fiqh) relatif mudah dipecahkan. Disamping wilayah negeri Islam belum luas dan masyarakatnya masih relatif seragam, persoalan-persoalan yang muncul saat itu juga masih relatif sederhana. Masih bisa langsung dirujukkan pada al-Qur’an, Sunnah ataupun kebiasaan yang ada pada zaman sahabat. Akan tetapi, ketika para sahabat sudah tidak ada, ketika wilayah Islam telah demikian luas dan masyarakat yang beraneka ragam budaya dan adatnya masuk Islam, persoalan yang muncul tidak lagi sesederhana masa-masa sebelumnya. Persoalan yang ada tidak bisa lagi di pecahkan secara langsung dengan al-Qur’an maupun Sunnah. Muncullah pemikiran baru dalam bidang hukum yang akhirnya melahirkan mazhab-mazhab fiqh, apalagi, waktunya memang sangat kondusif dan mendukung. Saat itu, Bani Abbas hendak menerapkan hukum-hukum Islam secara ketat, dalam tata kehidupan sehari-hari. Maka, lahirlah kodifikasi hukum-hukum Islam. Antara lain, yang masih ada dan diikuti masyarakat sampai sekarang; mazhab Malik (716-796 M) yang mempertahankan tradisi namun tetap menerima penafsiran pribadi dalam apa yang disebut istishlâh. Mazhab Abu Hanifah (699-767 M) pendukung ra’y dan qiyas, yang kalau perlu dibenarkan dengan istihsân. Mazhab Syafi`i (767- 820 M) yang memperluas tradisi Madinah yang dipakai Malik menjadi ijma`, seraya menolak ra’y; baik yang berupa istishlâh maupun istihsân. Mazhab Ibn Hanbal (780-855 M) yang hanya menerima sumber Sunnah yang telah disaring dengan ketat.
Yang perlu dicatat dalam pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh ini --dalam kaitannya dengan pemikiran rasional-- adalah tempat yang diduduki logika dalam perdebatan-perdebatan fiqhiyah, setidaknya pada lingkungan mereka pendukung ra’y. Walau logika terpusat pada qiyas dan masih sangat sederhana, akan tetapi maknanya cukup besar dalam perkembangan pemikiran rasional. Sering terjadi, sebelum menjadi seorang teolog atau filosof, yang bersangkutan adalah fâqih (ahli hukum). Ia sudah mempunyai pengalaman yang cukup banyak tentang metode perdebatan, sehingga ketika menghadapi persoalan teologis atau filsafat, kebiasaan untuk mendekatinya dengan metode perdebatan berlangsung begitu saja.
Ketiga, penterjemahan buku-buku Yunani kuno. Usaha perterjemahan buku-buku ini, terutama filsafat Aristoteles (384-322 SM), sebenarnya telah dilakukan sejak zaman Bani Umayyah, tetapi usaha ini baru benar-benar dilakukan secara serius dan besar-besaran pada masa Bani Abbas awal, yakni masa al-Ma`mun (813-833 M). Dengan usaha-usaha tersebut, logika, fisika dan metafisika Aristoteles membanjiri pemikiran kaum muslimin. Apalagi kenyataannya, saat itu, kaum muslimin lagi mabuk intelektual. Akal yang baru saja menemukan kemampuannya, memasuki persoalan-persoalan keagamaan dengan keberanian yang luar biasa, bahkan kadang tanpa perhitungan, setidaknya menurut kaum konservatif yang mengikatkan diri secara ketat pada al-Qur’an dan Sunnah. Yang berhasil mengarahkan kemabukan intelektual ini adalah kebutuhan akan satu tindakan yang tepat dalam menghadapi doktrin-doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok, yang datang dari Iran, India atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikiah, materialisme dan sejenisnya, atau bahkan dari pusat Islam sendiri, sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah menjadi pemikiran bebas, sampai menolak otoritas wahyu atau lainnya yang dikategorikan dalam istilah ‘zindiq’.
Untuk menjawab serangan-serangan dan berkembanganya doktrin-doktrin yang dianggap ‘menyimpang’ tersebut, para ulama Islam masuk dalam perjuangan yang kemudian memunculkan sebuah sistem berfikir rasional yang pada gilirannya menjelma menjadi teologi yang saat itu berupa teologi Muktazilah, yang diprakarsai oleh, antara lain, Wasil ibn Atha` (699-748 M), Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Abu al-Huzail al-Allaf (752-849 M) dan al-Nazzam (801-835 M). Semua ini lahir jauh sebelum filsafat Yunani dikenal dalam masyarakat Islam lewat penterjemahan, sehingga tanpa sadar pemikiran teologi Islam bahkan telah menyiapkan landasan bagi pertumbuhan filsafat Yunani. Kenyataannya, filsafat Islam banyak mengambil manfaat dari perenungan masalah, metode dan kesimpulan yang diberikan teologi (Muktazilah), kemudian memberikan bantuan analisa secara lebih tajam.

B. Ketegangan Teologi-Filsafat
Meski dalam hal-hal tertentu terjadi hubungan timbal balik yang cukup baik antara teologi dan filsafat, bukan berarti keduanya bisa terus berjalan harmonis. Yang sering muncul justru perbedaan-perbedaan, ketegangan dan pertentangan, bahkan itu terjadi sejak awal. Setidaknya ini bisa dilihat pada perdebatan antara antara Abu Sa`id al-Syirafi (893-979 M) seorang teolog Muktazilah dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), guru filsafat al-Farabi yang beraliran Nestorian, sebagaimana yang dikemukakan Oliver Leaman, adalah bukti nyata akan hal itu, meski isi perdebatan tersebut sebenarnya baru menyangkut persoalan bahasa dan logika.
Ketegangan teologi dan filsafat semakin kentara dan menonjol ketika pada masa al-Farabi yang ahli filsafat paripatetik menempatkan teologi (juga yurisprodensi) pada rangking bawah setelah ilmu-ilmu filsafat, dalam hierarki ilmu yang disusunnya. Al-Farabi menyusun hierarki ilmunya terdiri atas ilmu-ilmu filsafat; metafisika, matematika, ilmu-ilmu fisika /kealaman dan ilmu politik. Teologi dan fiqh ditempatkan dalam urutan paling bawah dan sebagai su-bagian ilmu politik. Alasannya, secara metodologis, pengambilan kesimpulan teologi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar dan teruji secara rasional, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan. Atau, menurut al-Farabi, teologi tidak bisa memberi pengetahuan yang menyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan, sehingga ia hanya cocok untuk konsumsi masyarakat awam, masyarakat non-filosofis dan bukan selainnya.
Penempatan posisi dan serangan yang dilakukan al-Farabi sebagai ahli filsafat terhadap teologi ini memberikan dampak serius bagi perkembangan kedua kelompok pemikiran diatas, minimal telah menaikan pamor filsafat dalam percaturan pemikiran Islam yang sebelumnya masih dicurigai dan diabaikan. Kenyataannya, klasifikasi dan hierarki ilmu al-Farabi ini banyak dianut dan berpengaruh besar pada tokoh filsafat berikutnya, seperti Ibn Sina (980-1037 M), Ibn Tufail (w. 1186 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldun (1332-1406). Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu menjadi dua bagian; ilmu-ilmu rasional (al-`ulûm al-aqliyah) dan ilmu-ilmu religius (al-`ulûm al-naqliyah). Yang termasuk ilmu rasional adalah logika, matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian ilmu religius adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, teologi, tasawuf dan tabir mimpi. Disini, teologi hanya lebih baik daripada tabir mimpi dan tasawuf dimana yang disebut dua terakhir ini lebih merupakan bentuk keahlian dan implementasi daripada sebuah ilmu.
Puncak ketegangan teologi dan filsafat terjadi pada masa al-Ghazali (1058-1111 M), yakni ketika ia sebagai wakil kaum teolog (mutakallimîn) menyerang pemikiran filsafat, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifat yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl. Meski isi serangan tersebut lebih diarahkan pada persoalan metafisika daripada logika, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam penjabaran ajaran-ajaran agama, bahkan bidikan al-Ghazali sebenarnya lebih tepat diarahkan pada pemikiran filsafat Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM), bukan metafisika Islam sendiri, sehingga tuduhannya terhadap pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina tidak tepat, tetapi serangan tersebut telah memberikan dampak dan gaung yang demikian besar dalam soal hubungan teologi dan filsafat. Masyarakat muslim menjadi antipati terhadap pemikiran filsafat.

C. Metode Teologi dan Filsafat.
Teologi dan filsafat sesungguhnya sama-sama menggunakan metode silogisme dalam aturan berfikirnya; suatu metode pengambilan kesimpulan atau pengetahuan yang didasarkan atas premis-premis, premis mayor dan premis minor. Bedanya, dalam filsafat, pengetahuan yang bisa dijadikan premis mayor harus benar-benar merupakan premis primer, premis yang benar, pasti dan menyakinkan setelah diuji secara rasional; sedang dalam teologi, premis mayor bisa diambilkan dari sesuatu yang sudah diterima secara umum (opini) dalam masyarakat atau yang diturunkan dan diyakini dari ajaran agama.
Menurut al-Farabi, keyakinan yang tuntas mempunyai tiga tipe kepercayaan: (1) kepercayaan bahwa sesuatu itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan (2) tidak mungkin sebaliknya. Dalam pemikiran filsafat, sebuah proposisi bisa menjadi premis primer jika memenuhi tiga kategori diatas sekaligus, sedang dalam pemikiran teologi hanya mensyaratkan dua point yang pertama. Dengan kata lain, dalam aturan pikir filsafat, sebuah proposisi agar bisa didudukkan sebagai premis primer, selain bahwa ia telah diterima sebagai sebuah kebenaran juga bahwa ia ia telah teruji kebenarannya secara logis, sedang dalam pola pikir teologi tidak demikian, karena point ketiga mempersyaratkan suatu pengujian kritis terhadap dua persyaratan sebelumnya tidak dikenal dalam teologi. Dalam teologi, pertimbangan pertama dalam penerimaan pengetahuan atau opini bukan atas dasar kebenaran atau keabsahan rasional tetapi lebih karena adanya konsensus umum berkenaan dengannya, karena ia umumnya diambil dari sesuatu yang diakui atas dasar iman atau kesaksian orang lain. Adanya faktor kemasyhuran atau popularitas --dan bukan kebenaran rasional-- ini bisa kita saksikan sampai saat ini dimana dalam persoalan keagamaan --terutama fiqh-- opini-opini yang bertentangan, minimal berbeda, satu sama lain bisa diterima sekaligus secara umum.
Perbedaan persyaratan dalam klaim tentang sesuatu yang pantas dianggap sebagai benar untuk dapat didudukkan sebagai premis primer ini, selanjutnya, memberikan dampak yang luas sesuai dengan tipe pemikiran masing-masing. Pemikiran filsafat menjadi sangat terbuka terhadap segala pemikiran dan pengetahuan. Tuntutan rasionalitas dan logis mengarahkannya untuk mempertanyakan segala sesuatu, tidak terkecuali terhadap ajaran-ajaran agama yang oleh golongan lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat, bahkan filsafat mempertanyakan dirinya sendiri. Sedemikian, hingga kesimpulan-kesimpulan yang diberikan filsafat yang diperoleh dari cara berfikir demonstratif, tidak jarang bertentangan dengan dasar-dasar teologi Islam yang pokok, untuk tidak mengatakan bertentangan dengan ajaran al-Qur’an sendiri. Tiga pemikiran filsafat yang dituduh kufur oleh al-Ghazali; keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan tentang hal-hal yang partikular (juz’iyat) adalah salah satu bukti akan hal itu.
Sementara itu, disisi lain, pemikiran teologi yang tidak menpersyaratkan adanya uji rasionalitas dan logisitas pada premis-premis primernya menjadi sangat tertutup. Ia tidak mempersoalkan pendapat-pendapat yang telah menjadi opini umum dan menerimanya tanpa koreksi. Kondisi ini masih ditambah dengan tuntutan adanya ‘personal commitment’ (kesetiaan pribadi) yang sangat kuat terhadap ajaran agama. Sebagaimana dikatakan Amin Abdullah, dalam pemikiran teologi atau teologis dituntut adanya personal commitment seperti ini. Bagi pemikiran teologi, agama adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern) yang tidak dapat dengan mudah diganti. Pemeluk agama tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih sehingga bersedia berkorban jiwa raga jika diperlukan. Juga, agama menuntut keikutsertaan dan kesetiaan secara total dari segenap pengikutnya. Artinya, agama berkaitan erat dengan emosi, untuk tidak mengatakan berhubungan erat dengan rasio. Kesetiaan terhadap agama adalah bentuk keputusan dan pilihan yang sangat kental. Seorang agamawan yang baik selalu menunjukkan dedikasi yang tinggi dan sanggup berkorban demi mempertahankan prinsip dan mencapai tujuan yang dianggap sebagai perintah agama.
Karena itu, sikap dan pertimbangan rasional serta pemikiran yang sedikit mengambil jarak dari agama yang dipeluknya akan dianggap sebagai pengerdilan terhadap pengalaman keberagamaan yang seharusnya dimiliki. Karena itu pula, mengikuti Amin Abdullah, tidak salah jika dikatakan bahwa ‘bahasa’ yang digunakan oleh pemeluk agama dalam menjelaskan ajaran-ajaran agamanya adalah bahasa ‘pelaku’ atau ‘pemain’ (aktor), bukan bahasa seorang pengamat atau lebih-lebih bahasa seorang peneliti yang datang dari luar (spectator). Sementara itu, dalam model pemikiran filsafat, karena tuntutan rasionalitas dan bersifat terbuka serta tidak adanya kesetiaan secara total kecuali kepada kebenaran rasio, ia bisa ‘mengambil jarak’ dengan --ajaran-- agama, atau bahkan ‘keluar’ dari dirinya sendiri.

D. Penutup.
Melihat uraian diatas bisa disampaikan, pertama, bahwa pemikiran rasionalisme Islam benar-benar berakar pada ajaran dan kebutuhannya sendiri. (1) Adanya perkembangan logika bahasa (nahw) untuk memahami bahasa al-Qur`an, (2) adanya perkembangan pemikiran hokum (fiqh) untuk menjawab persoalan hukum dalam masyarakat, (3) adanya perkembangan pemikiran teologi untuk menjawab persoalan-persoalan akidah. Tiga faktor ini memberikan pilar bagi bagunan rasionalisme Islam. Filsafat dan logika Yunani datang ‘menyempurnakan’ tata pemikiran yang telah ada.
Kedua, bahwa ketegangan yang terjadi antara teologi dan filsafat adalah disebabkan oleh beberapa faktor.
1. Adanya perbedaan dalam memahami makna dari sebuah istilah yang di gunakan. Sebagaimana dikatakan al-Hamadani, setiap kelompok atau aliran pemikiran, seperti teologi, filsafat, tasawuf, fiqh dan seterusnya mempunyai istilah-istilah teknis tersendiri, dimana istilah-istilah yang digunakan tersebut bisa jadi sama tetapi mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan yang dimaksud oleh si pembicara. Karena itu, seseorang dari golongan tertentu tidak bisa langsung mengklaim atau memberikan makna tentang sebuah istilah sebelum meminta penjelasan secara baik kepada si empunya istilah. Menjatuhkan keputusan terhadap pembicara sebelum meminta penjelasan tentang apa yang dimaksudkan berarti sama dengan menembak dalam kegelapan, hanya membuat keonaran. Ketegangan antara teologi dan filsafat --juga ketegangan diantara kelompok yang lain, seperti tasawuf dengan fiqh, mazhab fiqh yang satu dengan yang lain dan seterusnya-- rupanya disulut oleh persoalan ini; tidak adanya sikap tabayun terlebih dahulu sebelum diambil keputusan. Serangan al-Ghazali terhadap filosof karena istilah ‘qadim’ pada alam adalah bukti nyata akan hal itu.
2. Adanya kecenderungan atau tuntutan yang berbeda. Harus difahami, saling serang diantara para tokoh filsafat dan teologi terjadi pada masa dan kondisi zaman yang berbeda. Sebagai contoh, al-Farabi menyerang pemikiran teologi dan mengunggulkan filsafat karena saat itu ada trend besar di Damaskus dan Aleppo, tempat al-Farabi tinggal, adalah pemikiran filsafat. Sebaliknya, pada masa al-Ghazali, teologi (Asy`ari) sedang berada puncak kebesarannya sedang filsafat banyak disalah-gunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Apa yang dilancarkan al-Ghazali terhadap filsafat, salah satu tujuannya adalah untuk menghindarkan agama dari dampak buruk ulah oknum tersebut, bukan semata untuk menghancurkan filsafat.
3. Adanya campur tangan penguasa. Meski statemen ini masih patut dikaji lebih jauh, tetapi harus pula difahami bahwa tokoh-tokoh kedua golongan ini, seperti al-Farabi dan al-Ghazali, sama-sama hidup dalam lingkungan istana, setidaknya mendapat dukungan kekuasaan. al-Farabi hidup dalam lingkungan istana yang gandrung pemikiran filsafat sedang al-Ghazali dekat dengan faham teologi Sunni. Bahkan, al-Ghazali mengakui bahwa kajian dan tulisan yang dilakukan terhadap ajaran Batiniyah, misalnya, adalah demi memenuhi permintaan khalifah Baghdad. Begitu pula yang dilakukan al-Farabi ketika menulis Fî Mâ Yasih wa Mâ Lâ Yasih min Ahkâm al-Nujûm untuk memenuhi permintaan Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdullah, seorang gubernur yang gandrung pada ilmu astronomi. Tidak adakah pengaruh kekuasaan dalam gagasan-gagasan yang ditulis tersebut?
4. Adanya perbedaan metodologi. Seperti dipaparkan, teologi dan filsafat menggunakan metode pemikiran yang berbeda, yang pada gilirannya mendorong munculnya sikap yang khas pada masing-masing kelompok; filsafat cenderung terbuka dan rasional sedang teologi menjadi tertutup dan doktriner, ditambah dengan tuntutan kesetiaan total dan truth claim dari agama (teologi) yang dianut, yang semua itu membuat teologi semakin tertutup dan militan.
Persoalan truth claim memang tidak dapat dan tidak perlu dihindarkan. Agama atau teologi atau bahkan sebuah gagasan tanpa truth claim ibarat pohon tidak berbuah sehingga menjadi kurang menarik. Tanpa truth claim, sebuah agama, teologi atau sebuah aliran pemikiran akan menjadi sebuah bentuk kehidupan (form of life) atau bentuk mazhab yang distinctive yang tidak memiliki kekuatan simbolik bagi para pengikutnya. Akan tetapi, truth claim yang difahami secara mentah dan emosional juga banyak menimbulkan masalah. Adanya ketegangan, perselisihan, pertikaan dan bahkan peperangan antara komunitas agama, aliran pemikiran dan bahkan antar partai politik adalah lebih dikarenakan adanya truth claim yang difahami secara sempit, mentah dan emosional [.]

Suhuf Asmara

Hati nan dipenuhi oleh si mata safir
Adalah seperti piala nan pecah oleh panas air
Safir yang memerah kerna detak kerinduan fakir
Air nan mendidih sebab bara asmara fakir

Hati nan dipenuhi oleh mata kejora
Yalah seperti piala nan mengungu bak anggur
Kejora berkejapan bak bintang nan tersembunyi dalam samudera
Anggur nan diperam dalam kelam Layla malam tujuh abad ia tepekur

Oh, Indahnya Kekasih adalah KetunggalanNya nan tiada terperi
Oh, Gelora Kasih adalah KesucianNya nan senantiasa perawan
Oh, Gemilang Kekasih adalah kepang rambutNya dan bukan selain itu
Oh, Cantiknya Kekasih adalah KemahabidadarianNya , sungguh Kekasih adalah Satu-Satunya Layla di satu-satunya kelam Malam dan Ia pula satu-satunya rembulan dan terpaan-terpaan pendaran Cahaya di Pipi

Si ahli malam berkata, Kau demikian Terang walaupun Kau pulalah kelam
Kau demikian Tenang dan Anggun walaupun Kau pulalah rindu
“Wahai Musa, ketika Ku Sakit kenapa kau tak menjengukKu,” kataMu
Sungguh Kau adalah Sang Maha Perawan nan Senantiasa Sempurna dalam Perih Sepi KetunggalanMu, Kemuliaan KeanggunanMu duhai Ratu

Si ahli samudera berkata, Kau – lah Sang Maha Mutiara nan tersembunyi di segala samudera
Namun Kau pula-lah buih-buih nan menari-nari di mulut lumba-lumba juga ikan-ikan dan ujung-ujung ombak
Betapa sulit para nelayan dan perompak apalagi bajak laut memahami perkataan ini;
“ Segala Samudera ini hanyalah ada untuk dan demi jiwa Si Mutiara Tunggal nan maha cemerlang, tak semua “samudera” memiliki mutiara, kata Rumi”

Si ahli sampan berkata, karena Kau sampan ku bisa maju di lelautan
Karena Kau sampan ku tidak tenggelam di lelautan
Karena Kau dayungku dan layarku bisa menggerakkan lautan
Kau-lah nan tersembunyi di dalam sampan, dayung, e-ombakan, le-layar-an, pula buih-buih gelombang juga angin dan badai



Si ahli anggur berkata, bilamana anggur di peram berabad maka ia pun menjadi demikian keras
Sungguh Kau adalah segala abad dan segala masa, peramlah angur-anggur dalam Ia
Kan kau dapatkan sebaik-baik anggur nan mahamemabokkan
Dengan aroma baunya saja, berubahlah seorang “raja mulia’ bahkan “ulama” menjadi faqir gelandangan nan tiada harganya nan senantiasa bersenandung dan berseloroh Asmara, Asmara, oh Asmara

Si ahli hukum berkata, mabok adalah terlarang
Faqir menjawab, ku tak minum khamr, sekali-kali
Namun kemanapun ku pergi, Aroma anggur itu nan telah diperam di dalam Nampan Kekasih
Meliputiku, dalam hawaMu aku terbang aku terbang di suatu malam, kata sebuah sya’ir

Di manakah anjungan sampan, bila ;
Tiada daratan, hanyalah bahari dan samudera, juga;
Di manakah tempat berdiri pemabok, apabila;
Sempoyongan ia dalam hawaNya nan memabokkan; tiap zarrah nan dilewatinya.

IndahMu tentu tak lepas dari GemulaiMu
LembutMu tentu tak lain dari Elus Mu
Manis CintaMu tentu tek lepas dari Perih RinduMu
Mata CintaMu tentu tak lepas dari Saung LaraMu

Karena, manisnya cinta adalah pada rindunya
Dan agung samudera adalah kerasnya ombaknya
Juga dalamnya dan berbagai rahasianya
Karena, harumnya cinta adalah duri-duri misiknya

Sungguh, sekaya-kaya manusia dalah pemilik pundi-pundi nan kosong
Karena setiap hawa kekosongan adalah harapan
Dan tiap harapan adalah KekasihNya, Sang Maha Pemberi, Sang Pemurah
Sungguh, sekaya-kaya manusia yalah jiwa-jiwa nan tepekur dalam AromaNya Nan Memabukkan

Maka siapa kah yang hakikinya kaya
Raja nan bertahtakan intan ataukah si miskin kelana?
Demikian lah jawaban sang ahli asmara;
“cinta pada mu adalah segalanya.”




Bidadari-bidadari Cahaya nan bersayapkan keindahan bulu matanya nan lentik
Bercengkerama di lembah-lembah khalwat , keindahannya senantiasa bertebaran
Suguhkan semangka di padang-padang kesendirian, kesegarannya senantiasa bersegaran
Senandung lagu cinta cahaya nan berteteskan kerinduan, membuat mata hati semakin lentik

Sang ahli seruling berkata; gading tak dapat kalahkan bambu
Karena utuh gading yang tak retak, utuh pula serulingnya tanpa gemeretak
Sedang bambu berseratan tak pula utuh, maka tiupannya meluluh-lantak
Hati layla dan jiwa majnun, dan ribuan pasangan kekasih nan penuh rindu

Demikianlah watak-watak asmara; bilamana kau adalah pejalan cinta
Pula pundi-pundi anggur hakiki; bilamana kau adalah pemabok gila
Pula pecahan-pecahan piala cinta; bilamana kau adalah tamparan cinta
Pula putik-putik bunga abadi; bilamana kau adalah wewangian – Nya

Sungguh dalam beberapa lembar ini; tiada apa pun tak pula ajaran, melainkan;
Kepastian bahwa yang pecah telah berpecahan, bak hati nan penuh darah, dan;
Asmara pastilah hati nan berpecahan, bergelimang rindu bak darah, pula;
Suhuf-suhuf kemabokan abadi; dari hawa-hawa sang maha anggur, demikianlah usai dengan menyebut nama-namanya nan penuh asmara.

Iluminasi

Tempat Pertama Iluminasi,
tentang Pengetahuan Tuhan, Sifat-SifatNya,
Nama-NamaNya, dan Tanda-TandaNya

Prinsip 1

Mengenai pembagian Wujud dan penegakan Wujud Primer

Bahwa yang ada adalah Realitas Wujud atau sesuatu selain itu. Yang kami maksudkan dengan Realitas Wujud adalah Yang tidak tercampur dengan apa pun tapi Wujud, apakah itu suatu keumuman atau suatu kekhususan, suatu batas atau suatu batasan, suatu kuiditas, suatu ketaksempurnaan, atau suatu kekurangan – dan inilah yang disebut “Wujud Perlu (Wajib)”. Oleh karena itu kita katakan bahwa jika Realitas Wujud tidak ada, maka tidak ada apa pun sama sekali yang ada. Namun konsekuensi ini terbukti-(dengan sendirinya) salah; maka premisnya pun juga salah.

Sebagaimana untuk menunjukkan keniscayaan Wujud Primer ini, ini adalah karena segala sesuatu selain Realitas Wujud adalah kuiditas tertentu suatu wujud partikular, tercampur dengan kekurangan dan ketaksempurnaan. Sekarang tiap kuiditas selain Wujud ada melalui Wujud, tidak dengan diri mereka sendiri. Bagaimana (mereka bisa ada tanpa Wujud (Keberadaan) ) ? Karena jika sebuah kuiditas diambil oleh dirinya sendiri, terpisah dari wujud, kuiditas itu sendiri tidak bisa “ada” dengan dirinya sendiri, untuk tidak mengatakan apa pun tentang kemaujudannya. Karena untuk menegaskan sesuatu ( dalam hal ini, “wujud”) sesuatu yang lain ( dalam hal ini, suatu kuiditas partikular) telah menganggap penegakan dan keberadaan (wujud) suatu hal yang lain tersebut. Dan wujud itu – jika itu adalah sesuatu selain Realitas Wujud – tersusun atas Wujud per se ( atau “ Wujud qua Wujud” ) dan suatu partikularitas lain. Namun setiap partikularitas selain Wujud adalah nonmaujud atau kurang. Mka setiap yang tersusun ( dari kuiditas partikular dan Wujud ) adalah posterior terhadap kesederhanaan Wujud dan dalam keadaan membutuhkan Wujud.

Maka kekurangan ( atau “nonbeing”) tidak masuk ke dalam eksistensi dan kemunculan aktual suatu benda, walaupun ia mungkin masuk ke dalam definisinya dan konsepnya. Karena untuk menegaskan konsep apa pun dari sesuatu dan untuk mempredikasikan konsep itu dari hal itu – apakah (konsep itu ) kuiditas atau sifat lain, dan apakah itu ditegaskan atau ditolak oleh sesuatu – selalu mensyaratkan wujud dari hal itu. Diskusi kita selalu kembali ke pada Wujud: apakah terdapat regresi tak hingga ( predikasi – predikasi dan subyek – subyek ) atau seseorang tiba di akhir pada sebuah Wujud Mutlak, tidak tercampur dengan sesuatu yang lain.

Maka telah menjadi jelas bahwa Sumber eksistensi segala sesuatu yang ada adalah Realitas Murni Wujud, tidak tercampur dengan hal apa pun selain Wujud. Realitas ini tidak dibatasi olah definisi, batasan, ketaksempurnaan , potensialitas kontingen atau pun kuidi tas apa pun; tidak juga Realitas ini tercampur oleh keumuman apapun, baik genus, spesies , ataupun pembeda, tidak juga Realitas ini tercampur dengan aksiden apa pun, apakah khusus atau pun umum. Karena Wujud lebih dahulu dari pada seluruh deskripsi - deskripsi ini yang berlaku bagi kuiditas – kuiditas, dan Yang tidak mempunyai kuiditas selain dari Wujud tidak dibatasi oleh keumuman atau pun kekhususan. Realitas ini tidak mempunyai beda khusus dan tidak mempunyai partikularitas yang terpisah dari Hakikat (atau Diri ) Nya Sendiri.; Realitas ini tidak mempunyai bentuk, tidak juga mempunyai perantara atau akhir. Sebaliknya, Realitas ini adalah BentukNya Sendiri, dan Realitas ini yang memberi bentuk pada segala sesuatu, karena Realitas ini adalah kelengkapan dari hakikat segala sesuatu. Dan Realitas ini adalah kelengkapan segala sesuatu karena Hakikat Nya diaktualisasikan dalam segala hal.

Tidak ada yang dapat menguraikan Nya atau mengungkapkan Nya selain Ia Sendiri, dan tidak ada pembuktian tentang Nya selain Hakikat (atau Diri) Nya Sendiri. Oleh karena itu Dia bersaksi melalui Diri Nya Sendiri kepada Diri Nya Sendiri dan kepada Unisitas Diri Nya ketika Ia berfirman: Syahidalloohu annahuu laa ilaaha illa huwa… ( Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia… ) (QS 3;18). Karena Ketunggalan Nya bukanlah merupakan ketunggalan partikular yang ditemukan pada suatu individu dari suatu hal yang alamiah; tidak juga merupakan ketunggalan generik atau spesifik yang ditemukan pada setiap gagasan umum atau setiap kuiditas. Ketunggalan Nya tidak juga merupakan ketunggalan konjungtif yang ditemui ketika sejumlah benda diatur atau disatukan menjadi sebuah hal yang tungal; tidak juga merupakan ketunggalan hubungan yang ditemukan dalam kuantitas – kuantitas dan hal – hal yang terukur. Tidak juga , sebagaimana yang akan Anda pelajari, merupakan ketunggalan – ketunggalan relatif yang lain, seperti ketungalan dengan kemiripan, keserbasamaan, analogi , korespondensi, reduplikasi – walaupun filsuf ( tertentu) telah membolehkan ketunggalan dengan kongruensi, atau jenis – jenis lain ketunggalan yang bukan merupakan Ketunggalan Sebenarnya. Tidak, Ketunggalan Nya bukanlah (ketunggalan – ketunggalan relatif ini), tidak diketahui dalam intinya yang paling hakiki, sebagaimana Zat Nya – Maha Mulia Ia – kecuali bahwa Ketunggalan Nya adalah Sumber seluruh ketunggalan – ketunggalan (lain ini), sebagaimana wujud Nya adalah Sumber seluruh wujud – wujud (partikular). Maka : wa lam yakun lahuu kufuwan ahad ( dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia ) (QS 112;4)

Dengan cara yang sama, Pengetahuan Uniter Nya adalah Realitas Pengetahuan itu yang tidak tercampur dengan kebodohan apa pun, sehingga Ia adalah Pengetahuan tentang segala hal dalam semua segi. Dan hal yang sama dapat dikatakan tentang seluruh Sifat – Sifat Kesempurnaan Nya ( yakni, Kehidupan, Kekuatan, Kehendak, dll – yang juga Tunggal dengan Zat dan Wujud Nya).

Prinsip 2

Mengenai kesederhanaan Wujud

Semua yang Sederhana dalam Hakikat esensial Nya adalah, disebabkan oleh Ketunggalan (mutlak) Nya, segala sesuatu. Ini tidak dihilangkan dari satu pun dari sesuatu – sesuatu itu kecuali untuk apa yang ada di atas tatanan ketidaksempurnaan – ketidaksempurnaan, kekurangan – kekurangan dan kemungkinan – kemungkinan.

(Sebagai contoh, ambil sebarang wujud partikular “A,” misal) Anda berkata “A bukan B”: sekarang jika itu terhadap yang A adalah (A sendiri) benar – benar sama dengan itu terhadap yang A adalah bukan-B, sehingga A dalam dirinya sendiri adalah dari kekesangathakikatannya merupakan kriteria untuk negasi ini (jika demikian), maka kesangathakikatan A akan merupakan sesuatu yang kurang, sedemikian sehingga setiap orang yang menginteleksi A juga akan menginteleksi “bukan-B.” Namun konsekuensi ini (jelas) salah, dan antesendennya juga salah. Maka ditegakkan bahwa ( dalam tiap wujud partikular “A”) substrat “ke-A-an” adalah sesuatu yang secara hakiki tersusun ( dari Wujud dan kuiditas partikular). Dan bahkan sesuai dengan jiwa ( yakni, pada level mental, wujud konseptual, ide “ke-A-an” adalah sebuah senyawa yang tersusun) dari ide sesuatu yang mempunyai wujud, yang dengannya A ada, dan ide kekurangan sesuatu, yang dengannya A bukan B dan bukan satu dari sesuatu – sesuatu lain yang dinegasikan darinya.

Jadi diketahui bahwa segala sesuatu yang atasnya sesuatu yang mempunyai wujud dapat dinegasikan tidak Sederhana secara mutlak dalam realitas hakikinya. Dan kebalikannya juga benar seperti itu: semua Yang Sederhana dalam Realitas hakiki Nya tidak dapat mempunyai sesuatu yang mempunyai wujud dinegasikan dari Nya. Karena jika tidak seperti itu, Ia tidak akan Sederhana dalam Realitas hakiki Nya, namun bahkan tersusun atas dua aspek : sebuah aspek yang dengannya ini adalah seperti itu ( seperti halnya “A”) dan sebuah aspek yang dengannya ia dengan cara yanglain ( yakni, bukan-B, bukan-C, dan lain – lain). Maka sekarang telah ditegakkan bahwa (Wujud) Sederhana adalah seluruh hal yang maujud sehubungan dengan wujud dan kesempurnaan mereka, namun tidak sehubungan dengan kekurangan – kekurangan dan ketaksempurnaan – ketaksempurnaan mereka.

Dan dengan ini didirikan bahwa Pengetahuan Nya atas segala hal maujud adalah Pengetahuan Sederhana, dan bahwa kehadiran mereka di dalam Nya adalah Sederhana dalam Realitas hakikinya. Karena segala hal di dalam Nya tercakup dalam Pengetahuan Nya dalam suatu cara yang lebih tinggi dan lebih sempurna, karena “ pengetahuan “ adalah (hanya) suatu pernyataan untuk Wujud, dengan syarat bahwa Ia tidak tercampur dengan materi.

Maka ketahuilah ini, kekasihku, dan reguklah keuntungan dengannya!

Prinsip 3

Mengenai keunikan Wujud Wajib


Wujud Wajib adalah “Satu dan tanpa sekutu” karena Ia Lengkap dalam Realitas, Sempurna dalam Hakikat, Tak Terhingga dalam Kekuatan dan Intensitas, dan karena – sebagaimana yang telah Anda pelajari – Dia adalah Realitas Murni Wujud, tidak terbatas dan tanpa batasan. Karena bila Wujud Nya mempunyai suatu batas atau partikularitas dalam suatu hal, Ia akanterbatas dan terpartikularisasi oleh sesuatu selain Wujud; mesti terdapat sesuatu dengan kekuatan melebihi Nya yang membatasi, mengkhususkan dan melingkungi Nya. Namun itu mustahil, Maka tidak terdapat kebaikan dan tidak pula kesempurnaan wujud yang tidak mempunyai Sumber nya dalam Dia dan tubuh di luar Dia.

Berikut adalah bukti penegasan Ketungalan Nya. Wujud Wajib tidak bisa lebih dari satu, karena jika seperti itu, ini akan memerlukan mempostulakan suatu wujud yang di satu sisi mesti namun di sisi lain dilingkungi dalam wujudnya, sebagai anggota kedua daru suatu pasangan. Tapi kemudian Dia ( yakni, Wujud Wajib “ pertama “ ) tidak bisa meliputi setiap wujud, karena kemudian terdapat suatu wujud lain yang tidak kembali pada Nya dan tidak turun atau beremanasi dari Nya. Ikemudian, ini mengakibatkan Ia memiliki suatu aspek kekurangan dari kemustahilan atau kemungkinan, sehingga Ia akan menjadi satu dari suatu pasangan dan tersusun ( dari wujud dan suatu kuiditas yang terbatas secara partikular) seperti halnya hal – hal mungkin yang lain, dan oleh karena itu tidak dapat dicakup dalam Realitas Wujud tersebut yang tidak tercampuri oleh keterbatasan apa pun atau dengan kekurangan ( yang diimplikasikan oleh ) perbedaan ini.

Maka telah ditetapkan bahwa dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia (QS 112;4) dalam Wujud dan bahwa setiap kesempurnaan wujud adalah suatu penyiraman Kesempurnaan Nya, setiap kebaikan adalah cahaya samar – samar dari Cahaya Kecantikan Nya yang bersinar – sinar. Karena Dia adalah Sumber Wujud, dan semua yang lain adalah lebih rendah terhadap Ia, tergantung pada Nya untuk substansiasi dari hakikatnya.

Prinsip 4

Mengenai perbedaan fundamental antara konsep dan realitas Wujud


Sungguh yang paling redup dan cara – cara yang paling tidak cukupuntukmembuktikan (kebenaran ) penegasan Ketunggalan ilahi adalah yang diikuti oleh pemikir – pemikir tertentu yang lebih mutakhir, yang (secara salah ) mengasosiasikan metode mereka dengan pengalaman langsung beberapa wali – wali ilahi – Semoga Tuhan melindungi mereka dari ( angan – angan ) seperti itu! Pendekatan ini berdasarkan ( fakta) bahwa konserp turunan “ yang maujud” (al-maujud) adalah sesuatu yang umum dan meliputi-segala, sedangkan wujud (al-wujuud) adalah partikular, real dan tidak diketahui dalam intinya yang terdalam. Karena itu adalah boleh, ungkap mereka, bahwa wujud yang merupakan sumber turunan dari (konsep) “yang maujud” adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya – bahwa, Realitas Wujud Wajib – dan bahwa wujud segala sesuatu yang lain ekivalen dengan hubungan (ketergantungan) hal – hal ini dengan Wujud Wajib. (Konsep) “yang maujud” maka, menjadi lebih umum dari pada Realitas itu dan lebih umum dari pada semua hal lain yang terhubung ( dengan hubungan ketergantungan ) kepada Nya. Karena itu arti ( “yang maujud”) harus satu dari dua hal ini: Wujud Yang Ada Dengan Sendirinya, atau yang terhubung (dengan hubungan ketergantungan) kepada Nya. Dan kriteria hal ini ( bahwa, yang menjadi asal konsep “ yang maujud ‘) mestilah yang mana di antara mereka yang merupakan Sumber efek – efek.
(Sejauh ini tidak terdapat masalah dengan penalaran mereka.) “Tapi untuk mereka yang tidur sebentar, meskipun suatu hal yang mudah adalah suatu beban yang besar.” Karena benar bahwa Wujud – jika dengannya seseorangn mengartikan Wujud Yang Ada Dengan Sendirinya- dapat disebut “Yang maujud.” Namun orang – orang ini berlebihan dalam memandang kesangatintian persoalan ini, yaitu apakah Hakikat Nya – Yang Maha Mulia – identik atau tidak dengan arti Wujud Mutlak ituYang memiliki berbagai cara – cara atau (manifestasi-manifestasi individual) ditegakkan dalam sesuatu – sesuatu. Cara ( merealisasikan Ketunggalan batin Wujud dalam seluruh manifestasi – manifestasinya ) ini dihalangi dari mereka karena mereka telah menegaskan bahwa tidak ada arti Wujud Mutlak yang terdiri dari semua yang ada kecuali untuk suatu pengertian abstrak, turunan yang digabungkan dari intelegebel – intelegebel mental (murni) dan tidak berhubungan dengan apa pun (yang nyata) . Saya mengharapkan bahwa Saya tahu bagaimana seseorang yang ahli dalam tata bahasa dan (cara) pemaiaian kata – kata dapat mengamati tuatu pernyataan (seperti “yang maujud”) merupakan turunan, dan tetapi tidak mengerti konsep sumber (suatu) turunan seperti ini! Bagaimana mungkin suku turunan menjadi yang paling diketahui dari semua konsep (karena “yang maujud,” dalam pandangan mereka, adalah segera dan terbukti sendiri oleh setiap orang), ketika sumbernya tetap menjadi yang paling tersembunyi dari hal-hal yang tidak diketahui – sungguh mustahil bahkan untuk memahaminya? Dan bagaimana mungkin arti turunan adalah satu, ketika sumbernya tidak pasti di antara dua hal, yang satu di antaranya adalah Zat yang tidak dapat diketahui dalam inti Nya yang terdalam, dan yang kedua terdiri dari hubungan terhadap Yang Tidak Diketahui itu – karena tentu hubungan dengan yang tidak diketahui juga tidak diketahui?

Tidak, yang benar dari hal ini adalah konsep umum ini yang merupakan sumber turunan ( konsep ) “Yang Maujud Mutlak” adalah (secara sederhana judul lain untuk) Sesuatu Yang direalisasikan dalam segala sesuatu, sejumlah bilangan mereka, dipredikasikan atas mereka sesuai dengan derajat – derajat intensitas dan kelemahannya maupun prioritas dan posterioritasnya yang berbeda-beda. Dan yang paling sempurna dan yang paling intens dari wujud – wujud adalah Wujud Nyata Yang Sebenarnya yang merupakan Realitas Murni Wujud, tidak tercampur dengan apa pun selain Wujud.

Terhadap Diri Nya Sendiri Dia adalah yang paling nampak dan yang paling termanifestasi dari wujud – wujud. Tapi karena kesangatkelebihan kemanifestasianNya ( yang dengannya ) Ia menaklukan dan menguasai indera – indera dan jiwa – jiwa (biasa), Ia menjadi terhijab dari pemahaman dan pandangan (manusia). Jadi aspek yang melaluinya Ia tersembunyi (terhadap persepsi biasanya ) adalah secara tepat itu yang dengannya Dia nyata (dalam kesadaran “pengetahu” yang tercerahkan) .

Pertanyaan penegasan Ketunggalan ilahi tergantung pada ini. Pertanyaan ini hanya dapat dipecahkan dalam cara ini, sama sekali tidak dengan yang lain.

Prinsip 5

Mengenai hubungan antara Sifat-Sifat Tuhan dengan Zat Nya

Sifat – Sifat Nya – Semoga Ia diMuliakan – adalah benar – benar sama dengan Zat Nya. Ini tidak ( difahami ) sebagaimana (teolog) Asy’ariyah meletakkannya, yang menegaskan kejamakan Sifat dalam wujud aktualnya (tidak sekedar konseptual), dan karena itu mengimplikasikan kejamakan delapan (Sifat) koeternal (yang terpisah dari Zat Tuhan). Tidak juga itu seperti ungkapan kaum (teolog) Mu`tazilah, yang secara total menolak realitas konseptual yang berbeda Sifat –Sifat, tapi kemudian menegaskan efek – efek mereka dan menggantikan (dalam pandangan mereka) Zat (yang sama sekali transenden) sebagai pengganti mereka ( dalam menghasilkan efek – efek ini ). (Posisi mereka) adalah tepat seperti beberapa dari (pemikir – pemikir mutakhir) tersebut (yang disebutkan dalam Prinsip 4, yang menolak realitas ekstrakonsepsual Wujud – mengklaim bahwa kuiditas adalah realitas – realitas primer – namun kemudian tetap berusaha untuk berbicara Tuhan sebagai) Sumber Wujud. Maha Tinggi Ia di atas kedua penihilan (Sifat –Sifat oleh Mu`tazilah) dan antrophomorfisma (implisit dalam konsepsi Asy`ariyah).

Tidak (ketunggalan Sifat – Sifat Tuhan dan Zat Tuhan hanya dapt dipahami dengan benar) dalam cara yang diketahui oleh ar-roosikhuuna fi al-‘ilmiy ( orang – orang yang mendalam ilmunya ) (QS 3;7) dari dari ummatan wasathon (QS 2;143), yakni mereka yang tidak dikalahkan oleh baik kelebihan ataupun kekurangan.

Prinsip 6

Mengenai ketunggalan dan kesempurnaan Ilmu Tuhan

Pengetahuan Nya atas segala sesuatu adlah Sebuah Realitas. Tapi pada saat Pengetahuan Nya tersebut Tunggal, ia juga merupakan pengetahuan tentang tiap hal : Ia tidak meninggalkan apa pun yang kecil atau besar, namun Ia menghitungnya. Karena jika terdapat sesuatu yang tidak diketahui terhadap Pengetahuan ini, maka Itu bukanlah Realitas Pengetahuan, namun pengetahuan di suatu sisi dan kejahilan di sisi lain. Tapi realitas dari suatu hal per se (yakni, sebagaimana hal itu sendiri sebenarnya) tidak dapat digabungkan dengan sesuatu yang lain, atau seluruh hal itu belum bergerak dari potensi ke aktualitas. Karena kita telah menunjukkan bahwa Pengetahuan Nya dapat direduksi sebagai Wujud Nya (jika ia secara konseptual berbeda dengan Wujud Nya). Maka, sebagaimana Wujud Nya – Yang Maha Mulia – tidak bercampur dengan kekurangan apa pun sama sekali, seperti itu pula Pengetahuan Nya atas Zat Nya ( atau Diri Nya), yang merupakan Kehadiran Zat Nya ( pada Diri Nya Sendiri), tidak bercampur dengan ketidakhadiran apa pun sama sekali. Ini karena Zat Nya adalah Yang Membuat segala sesuatu menjadi hal – hal tersebut dan Yang memberi realitas kepada seluruh realitas. Oleh karena itu Zat Nya benar – benar adalah hal – hal itu dari pada mereka dalam diri mereka sendiri. Karena dengan dirinya sendiri sesuatu mungkin, namun bersama dengan Yang Membuatnya sesuatu dan Yang memberinya realitassesuatu tersebut mesti mengada – dan wujud aktual sesuatu tersebut lebih intens dari pada kemungkinannya.

Sekarang bagi orang yang kesulitan ( untuk memahami ) bahwa Pengetahuan Nya – Yang Maha Mulia – dapat Tunggal namun sekaligus merupakan pengetahuan tentang segala hal, ini karena orang tersebut membayangkan bahwa Ketunggalan ini numerik dan bahwa Pengetahuan Nya adalah satu dalam jumlah. Tapi telah kita tunjukkan bahwa ini tidak seperti itu. Namun, Pengetahuan Nya Tunggal dalam arti yang benar, demikian pula seluruh Sifat – Sifat Nya Yang Lain. Tidak ada apa pun selain Realitas Yang Benar-Benar Real yang Tunggal dalam arti yang benar. Sebaliknya, hal – hal yang mungkin semuanya memiliki jenis ketunggalan yang lain, sebagaimana ketunggalan individual, spesies, genus, hubungan, dan lain – lain.

Ini adalah satu dari yang tersulit dari semua pertanyaan tentang Tuhan. Namun Aoa yang dari sisi Tuhan ( dalam Pengetahuan Nya) adalah Realitas – Realitas aktual, primordial ( hal – hal yang mungkin), Yang dari Nya hal – hal ini turun pada tingkatan bayangan – bayangan dan citra – citra. Dan apa yang dari sisi Tuhan dari hal – hal ini benar-benar lebih merupakan hal – hal ini dari pada mereka sendiri dengan diri mereka sendiri.