Senin, September 28, 2009

Al-Waduudul-Hayyu


Cinta dan Curahan Air Kehidupan


minumlah Anggur, Anggur Cinta, karena ia adalah Hidup Yang Kekal
Ya, ia adalah hakikat, hakikat sebenarnya Hidup yang lewat ini
Sekarang - lah waktu untuk me-mawar-an te-tulip-an dan para sahabat kental
Nikmati satu jam bermekaran yang lewat, seolah inilah Hidup yang kekal

dengan cara yang sama bibir ini diliputi oleh anggur itu,
Anggur itu menyegarkan dan meliputi jiwa, itu adalah milikku
Dari anggur itu tubuhku diberi makan dan dibuat membaharu
Dengan anggur rahasia itu, yang diambil dari Sirr dan Tuhanku

Kau Yang selalu memegang cangkir, apa yang hangat di sana?
Jika Kau semestinya berfikir tentang kami; kenapa meninggalkan teman-teman yang berputus-asa?
Kecuali untuk airmata dari mataku, kutakpernah meneguk anggur
Tapi anggur ada dalam cangkirMu, maka minumlah kawan, walau harus digapai dengan nyawa

(disadur dari karya agung “Hafizh”)


jiwa membahana menatap lara
sakit , Dokter, tuangkanlah setetes anastesi atau anggur - anggur Skotlandia
agar kutak meratapi cinta nan lara
sakit, Tuhan, regukkanlah setetes airmata-anggurmmu nan bak vodka siberia

sedang tatkala belum mengisi tenggorokan ku vodka Siberia
Ia - pun mulai menuang-nuang lagi anggur baharu, Sari Mawar , Sari Mawar, kata-Nya
maka setuangan saja sang vodka membuat hatiku kepayang
dan Sari Mawar, kuteguk setuang, hatiku semakin kepayang

Nama-Nama bermekaran bak mawar yang senantiasa berada di musim semi
Wajah-Wajah bergincuan bak para selir yang senantiasa berhias di bulan madu
hati ini bak jambangan, menyimpan semerbak tetaman mawar kehidupan
kerinduan birahi ini bak kumbang-kumbang, nan senantiasa ingin menyedot Sari-Sari Madu

MANUSIA

Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).
Dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa hakekat manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan satunya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.
Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke dalam bunga, tidal larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya. Sudah lama "kemisteriusan" ruh menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam (teolog, filosof dan ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba mengupas dan mengulitinya guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.
Pembahasan
Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.
• Kata روح untuk ruh
• Kata ريح (rih) yang berarti angin
• Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.
Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat. Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat
روحانيون * روحاني
Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup
الروح انه ما به حياة النفس
atau seperti yang dikatakan al-Farra' [5]
الروح هو الذي يعيش به الإنسان
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti:
1. Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr 4.
(الروح الأمين , روح القدس , (والروح الملئكة
2. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
وأيدهم بروح منه
3. Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.
وكذلك أوحينا إليك روحا من امرنا
Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu dipandang mu'anath dan lainnya mudhakkar.
Makalah berikut ini berusaha menjelaskan beberapa pendapat 'ulama Islam yang berusaha menjelaskan pengertian, kedudukan dan hubungan ruh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan rentang urutan hidup mereka:
Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)
Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu
1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.
3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.
Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia.
Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)
Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.
Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".
Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.
Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:
1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.
Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah.
Mereka berargumen dengan firman Allah:
Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ...
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.
Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:
1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks.
Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.
Filosof Lain
• Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
• Al-Jubba'i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan. Sebab kehidupan adalah a'rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a'rad.
• Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a'rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
• Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari.
Penutup
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.
Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran, macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia terkesan berbeda. Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena kesemuaan pembahasan diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.
Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh.


Fenomena Filsafat Dan Mantiq Ibn Taimiyyah

Kajian Sepuluh Harian
Al-Fikr Study Club Kairo
Selasa, 21 Maret 2006





Oleh: Ilham Mustofal Ahyar

فمنه نتعلم وبه نتكلم وفيه ننظر ونفكر وبه نستدل ونحكم

Iftitah

Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material, tersirat secara jelas dalam firman Allah SWT.:

وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى اللأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما لا تعلمون ( البقرة: 30)

Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui", kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat, sampai kemudian Allah SWT.memerintahkan Adam ِِِuntuk membuktikannya:

قال يا أدم أنبئهم بأسمائهم....

Bahwa potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya.
Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.

Sekilas Filsafat Islam

Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .

Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.

Ke-filosof-an Ibn Taimiyyah

Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu:

A. Kondisi Politik

Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…".




B. Kondisi Masyarakat

Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus, yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang mengungsi sampai ke Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.

C. Kondisi Pemikiran

Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat", masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama.

Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh, dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar dari sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya.

Ketegasan Dibalik Ketakutan

Dalam karyanya "Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya dengan mengkritik kaum filosof sebagai "Ahli Bid'ah", disini ia secara langsung menukil pernyataan Ar-Razi yang disebutnya sebagai "pegangan ahli bidah" (pegangan kauf filosof, pen.) yang berbunyi:

"Ketika dalil 'aql dan naql saling bertentangan, atau ketika teks naql dengan realita akal saling bertentangan maka kemungkinan pemecahannya ada beberapa macam:
a. Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan ini jelas-jelas tidak mungkin;
b. Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun juga tidak mungkin;
c. Atau dengan mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak mungkin, karena akal adalah sumber teks, apabila kita mendahulukan naql maka hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber naql, dan penghinaan terhadap sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap sesuatu itu sendiri, maka pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal dan naql;
d. Maka wajib mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin ditakwilkan dan kalau tidak mungkin maka ditiadakan."

Ibn Taimiyyah memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai pedoman umum yang dipakai oleh kaum filosof dalam menentukan apa saja yang bisa dijadikan dalil dari Kitab Allah SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja yang tidak bisa dijadikan dalil dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum filosof menentang pengambilan dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat Allah SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan, kaum filosof berpendapat bahwa akal tidak dapat menerimanya. Pedoman seperti ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan masing-masing kaum filosof meletakkan dasar-dasar independen dalam menyikapi setiap hal yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga selanjutnya mereka meyakini bahwa inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya adalah apa yang mereka perkirakan bahwa akal mereka bisa mengetahui dan mencernanya dan meletakkan segala yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tunduk mengikuti garis-garis metode akal yang mereka ciptakan, untuk kemudian yang cocok mereka ambil dan yang mereka rasa tidak cocok mereka buang.

Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.

Ibn Taimiyyah tentang metode Kaum Filosof dalam menguraikan nash
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan sendi-sendinya, maka dalam analisanya ia membagi metode-metode kaum filosof yang dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam dua kelompok:

 Metode penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua golongan:

1. Kaum Pengkhayal

Kelompok ini menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul mengabarkan tentang Allah SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka serta hal-hal ghaib lainnya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan yang sebenarnya, sebaliknya mereka mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas khayalan-khayalan yang mereka buat tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan inderawi atau siksa badani yang akan mereka dapatkan di akhirat, walaupun mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk memberikan kepada umatnya pemahaman, mereka melakukan hal ini, jadi menurut kelompok ini , walaupun hal ini merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi dilakukan untuk kebaikan umat, karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan kecuali dengan cara ini.

Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.



2. Kaum Perubah dan Pentakwil

Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya, dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya dari Sang Mutakallim. Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah.

 Metode Pembodohan

Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat.

Antara Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali

Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya, yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq.




Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang kejadian jisim dan alam

Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan. Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:

1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.

2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.

Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون
“Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada.
Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat

Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:

“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”

Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:

1. Ilmu yang didapat dari akal.
Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan.
2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan.

Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah

Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang mantiq dengan mempelajari mantiq Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana ia mempelajari filsafat, iapun mempelajari mantiq untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa mantiq merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mantiq sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.

Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang mantiq dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam. Al-Ghazali lah yang menurutnya sebagai orang pertama yang menyatakan keharusan mengambil mantiq untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman. Ia kemudian mengkutip ungkapan Ibn Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu mantiq:
“Mantiq adalah pengantar filsafat, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”

Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam khazanah keilmuan Islam:
“ Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang mantiq sebagai penentu dan burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan Allah SWT. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat dari keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.”

Ibn Taimiyyah juga menyerang mantiq dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu mantiq, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.

Tidak cukup dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan serangannya pada ide dasar keilmuan ini yang bersumber pada pembagian ilmu menjadi tashawwur(visualisasi) dan tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk mendapatkan tashawwur adalah dengan had (definisi) dan jalan untuk mendapatkan tashdiq adalah dengan qiyas(analogi), juga tentang kalam yang terbagi menjadi empat tingkatan: dua tingkatan salbiah (negatif) dan dua tingkatan mujabah (positif), semua pembagian ini dianggap Ibn Taimiyyah sebagai suatu betuk kebohongan dan kebodohan baik dalam penafian maupun penetapannya, maka selanjutnya ia mengingkari segala kebenaran yang diperoleh dengan sylogisme mantiq dan analogi mantiq.


Kesimpulan Dan Penutup

Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah:

"Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita bahas saat ini.
Akhirnya beribu ungkapan terimakasih saya persembahkan untuk Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa mando'akan anaknya ini, dan tak lupa ungkapan rasa salut kepada segenap rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk menambah wawasannya, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan. Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena semuanya adalah milik-Mu, dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat dalam segalanya.




























DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Al-Hidayah, Surabaya, 2002
2. Bik, Muhammad Al-Hudhori, Ad-Daulah Al-Abbasiah, Muassasah Al-Mukhtar Al-Ula, Kairo, 2003
3. Fauzan Mashri Al-Muhammady, Dr. Al-Janib Al-Falsafi min Al-Hadharah Al-Islamiah, Daar Al-Hakim, Jakarta, 2004
4. Fuad Farid Ibrahim,Dr. & Abdul Hamid Mutawali,Dr. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (terj), IRCiSoD, Yogyakarta, 2003
5. Zahra. Muhammad Abu. Ibn Taimiyyah Hayatuhu wa Ashruhu - Ara’uhu wa Fiqhuhu Daar Al-Fikr Al-Arabi. Kairo. 2000
6. TaqiyuddinAhmad bin 'Abdul Halim bin 'Abd As-Salam bin Taimiyyah, Dar u Ta'arudh Al-'Aql wa An-Naql, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, 1997
7. Khazm. Ibn. Al-Fishal fi Al-Milal wa An-Nikhal, Daar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut, 1999
8. Abu Al-Mawahib 'Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali Al-Anshori, At-Thabaqat Al-Kubra, Daar Ar-Rasyad Al-Haditsah, Maroko, 1999
9. As-Sya’hrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo, tanpa tahun penerbitan.
10. Majmu’ Al-Fatawa Ibn Taimiyyah tanpa nama penerbit dan tahun


WASIAT YUSUF AL QARDHAWI

ku sampaikan ini..dengan nama Allah yg maha pemurah
lagi maha penyayang semata-mata mencari redaMu ya
Allah.

WASIAT Asy Syahid Syeikh Dr Abdullah Yusuf Azzam

Dari rumah komander berani Jalalludin Haqqani, petang
Isnin, 12 Syaaban 1406H, 20 April 1986.


Segala puji bagi Allah. Kita pohon keampunan dari
Allah dan kita mohon perlindungan dari amalan-amalan
buruk kita. Sekiranya Allah swt mahu memberi pertunjuk
pada seseorang tiada siapa yang boleh menyesatkannya
dan jika Allah mahu menyesatkan seseorang tiada
sesiapa yang boleh memberi petunjuk padanya. Aku
menyaksikan bahawa tiada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Allah, dan Muhammad hamba dan Rasul Nya.

Ya Allah! Tiada apa yang mudah melainkan Kau
menjadikannya mudah dan Kau boleh menjadikan sesuatu
yang susah sekiranya Kau mahu.

Cinta kepada Jihad (berperang pada Jalan Allah) terus
menguasai kehidupanku, diriku, perasaanku, hatiku dan
juga deria-deria ku.

Ayat-ayat dari surat At-Taubah yang merupakan
penghukuman terakhir persoalan Jihad sehingga hari
Kiamat memenuhkan hatiku dengan kepedihan dan
kesedihan apabila melihat ketidak-mampuanku dan
keengganan semua umat Islam untuk perperang pada Jalan
Allah. Ayat Pedang yang memansuhkan lebih 140
ayat-ayat tentang Jihad yang diturunkan sebelumnya
adalah jawapan yang tepat dan tetap pada sesiapa
sahaja yang mahu bermain-main dengan ayat-ayat
berperang Jihad pada Jalan Allah atau cuba mengubah
maksudnya yang jelas atau cuba melencong dari
definisinya yang tepat dan jelas.

Surah Pedang:
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; ketahuilah
bahawasanya Allah beserta orang-orang bertakwa. (At
Taubah 9:36)

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka
dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka
bertaubat dan mendirikan solat dan menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(At Taubah 9:5)

Mempunyai cita-cita besar tetapi tidak diikuti dengan
berusaha sedaya-upaya untuk mencapainya adalah
tanda-tanda orang-orang yang tidak mahu mencapai
ketinggian. Manjaga dan menziarahi Masjidil Haram
adalah tidak terbanding dengan Jihad sebagaimana
diriwayatkan di dalam Sahih Muslim sebagai sebab
diturunkan (ayat-ayat 19-22 surah At-Taubah)

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada
orang-orang yang mengerjakan haji dan menguruskan
Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berjihad
di Jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan
Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang
zalim. (At Taubah 9:19)

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
di Jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka
adalah lebih tinggi darjatnya di sisi Allah; dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (At
Taubah 9:20)

Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan
rahmat daripadanya, keredhaan dan Syurga, mereka
memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. (At
Taubah 9:21]

Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya
di sisi Allah lah pahala yang besar. (At Taubah 9:22]

Sebabnya adalah kerana sesetengah dari para Sahabat
Rasulullah saw berlainan pendapat di antara mereka
tentang amalan apakah selepas iman, yang paling baik
pada pandangan Allah. Sesetengah mengatakan menjaga
Masjidil Haram, sesetengah mengatakan memberi minuman
pada jemaah Haji, manakala sesetengah yang lain
mengatakan Jihad. Ayat-ayat ini adalah jawapan yang
tetap dan jelas bahawa Jihad adalah lebih baik
daripada menjaga dan menziarahi Masjidil Haram.
Lebih-lebih lagi apabila kita tahu sebab diturunkan
ayat ini adalah berlainan pendapat di antara para
Sahabat tentang perkara ini. Sebab turunnya ayat ini
tidak boleh dinafikan atau diubah kerana maksudnya
tepat dan benar-benar merujuk pada perkara tersebut
dengan jelas.

Abdullah Ibn Mubarak Rahimullah (seorang ulama' hadith
yang berjihad) telah menghantar sepucuk surat kepada
Al Fuzail ibn Ayazz (yang digelar Abidal Haramain)
yang ditulis di dalamnya: Wahai kamu yang mengerjakan
sembahyang di Masjidil Haram, sekiranya kamu
menyaksikan kami di medan perang kamu akan tahu bahawa
jika dibandingkan dengan Jihad kami, ibadah kamu
adalah seperti permainan kanak-kanak. Untuk setiap
airmata yang kamu titiskan di pipimu, kami menitiskan
darah di dada-dada kami. Kamu bermain-main dengan
ibadah kamu, ketika ahli ibadah beribadah (abid yang
tidak mahu berjihad), para Mujahideen mengorbankan
darah dan diri (nyawa) mereka.

Dari ini seseorang harus faham bahawa Ibn Al Mubarak
(salah seorang ulama' salaf terdahulu) percaya bahawa
mengerjakan sembahyang dan menjaga tempat-tempat suci
(tanah haram) sedangkan kesucian tempat-tempat ini
dicemari, darah-darah sedang mengalir, maruah dan
harga diri wanita-wanita Islam dicemar dan Islam
sedang dicantas; beliau percaya bahawa mengerjakan
sembahyang dalam keadaan tersebut adalah bermain-main
dengan dien Allah yang Maha Kuasa.

Ya, membiarkan umat Islam disembelih sedangkan apa
yang kita lakukan hanyalah sekadar memberi kata-kata
sekadar melepas batuk di tangga dan membersihkan
kedua-dua tangan kita dari persoalan mereka tanpa
mengambil walau selangkah ke arah melepaskan umat
Islam dari kesengsaraan; memanglah ini merupakan
bermain-main dan menghina agama ini. Bagaimana mungkin
seorang Islam sekadar duduk berdiam diri sedangkan
wanita-wanita Islam ditangkap oleh musuh-musuh yang
mengganas?

Saya benar-benar percaya seperti yang saya tulis
didalam buku tersebut (Mempertahankan bumi umat Islam
adalah kewajipan yang paling penting ke atas setiap
umat Islam selepas Iman) dan seperti yang dikatakan
oleh Sheikh Ibn Taimiyyah, "Selepas iman, tiada apa
yang lebih penting (wajib) dari menentang musuh-musuh
yang mengganas, memusnahkan Islam dan kehidupan umat
Islam."

Saya benar-benar percaya (Allah Maha Mengetahui)
bahawa tidak ada bezanya di antara seseorang yang
meninggalkan Jihad dengan seseorang yang meninggalkan
Solat, Puasa atau Zakat.

Saya percaya bahawa keseluruhan Ummah ini sedang
menanggung tanggung-jawab yang besar di depan Allah
SWT dan kemudian terhadap generasi masa depan.

Saya percaya bahawa tiada seorang pun umat Islam
(selain dari yang dikecualikan menurut Syara') yang
dikecualikan dari Jihad (berperang pada Jalan Allah),
walau apapun alasan yang diberikan; samada dakwah,
menulis kitab-kitab ataupun tarbiyyah.

Saya percaya bahawa setiap umat Islam di atas muka
bumi ini bertanggung-jawab atas meninggalkan Jihad dan
berdosa meninggalkan senjata api. Setiap umat Islam
yang meninggal dunia tanpa sepucuk senjata di tangan
adalah berdosa meninggalkan Jihad. Hari ini Jihad
adalah wajib ke atas setiap orang Islam di muka bumi
melainkan mereka yang dikecualikan dan dari
definisinya, sesuatu yang wajib adalah sesuatu yang
membawa kepada samada pahala atau dosa.

Saya percaya (Wallahu a'lam) bahawa mereka yang
mempunyai sebab yang sah untuk tidak berjihad adalah:
yang buta, yang sakit teruk, yang tempang/kudung, yang
ditindas dan para lelaki, wanita dan anak-anak yang
tidak boleh mencari jalan ke medan perang. Setiap umat
Islam menanggung dosa meninggalkan Jihad di Palestin,
Afghanistan, atau di mana-mana bahagian lain di dunia
di mana bumi umat Islam diancam oleh Kuffar.

Saya percaya bahawa tiada kebenaran diperlukan untuk
berperang pada Jalan Allah; tiada kebenaran diperlukan
dari ibubapa, suami, guru atau pemimpin. Dan inilah
pandangan semua para Ulama sepanjang sejarah. Apabila
Jihad itu wajib, seorang anak mesti berperang walaupun
tanpa kebenaran dari ibubapanya, seorang isteri tanpa
kebenaran suaminya (tetapi mesti mempunyai muhrim).
Dan sesiapa yang cuba menafikan hukum yang jelas ini
telah melanggar batasnya dan mengikut hawa nafsu dan
keinginannya, tanpa petunjuk dari Allah. Ini adalah
persoalan yang tetap dan jelas yang tidak meninggalkan
apa-apa ruang untuk salah tafsir. Kebenaran Khalifah
tidak diperlukan dalam 3 kes: 1. Sekiranya Khalifah
itu sendiri tidak mengajak kepada Jihad sedangkan
Jihad diperlukan. 2. Sekiranya mendapatkan kebenaran
bermakna kehilangan peluang untuk Jihad. 3. Sekiranya
kita tahu bahawa kebenaran tidak akan diberi.

Saya percaya (Allah Maha Mengetahui) bahawa Ummah ini
bertanggungjawab ke atas maruah setiap wanita Islam
yang dicemar di Afghanistan, dan bertanggungjawab ke
atas setiap titisan darah umat Islam yang ditumpahkan
dengan zalim. Maka, mereka bersubahat dalam
jenayah-jenayah ini. Ini adalah kerana mereka boleh
membekalkan saudara mereka dengan senjata untuk
mempertahankan diri saudara mereka, dan kerana mereka
tidak membekalkan saudara mereka dengan bantuan
perubatan yang diperlukan, atau wang untuk membeli
makanan, atau peralatan yang boleh saudara mereka
gunakan untuk menggali kubu-kubu untuk perlindungan.
Semua ini mampu mereka lakukan, tetapi mereka tidak!

Telah ditulis di dalam Hashiat Al Dasoqi Jild.2, Muka
surat 111-112: Sekiranya seseorang itu mempunyai
makanan yang banyak dan membiarkan seorang yang lain
mati kerana kelaparan, memikirkan yang dia tidak akan
mati kerana kelaparan. Dia mesti membayar diyatnya
(wang darah) dari wang keluarganya; tetapi jika dia
tahu bahawa orang akan mati kerana kelaparan, di sini
dia mesti membayar diyat itu dari wangnya sendiri atau
mesti dibunuh sebagai Qisas.

Maka kita lihat hukuman yang menanti orang-orang kaya
yang membazirkan kekayaan mereka memenuhi kehendak
nafsu mereka dan mendapat barang kebendaan yang tidak
perlu.

Wahai, kamu, umat Islam! Jihad itulah hidupmu,
maruahmu dan kewujudanmu bergantung padanya (dengan
kuasa Allah). Wahai, kamu, Pendakwah! Kamu tiada nilai
di bawah mentari melainkan kamu mengangkat senjata dan
menghancurkan pemimpin zalim. kuasa kuffar dan
mereka-mereka yang bersalah. Mereka yang percaya
bahawa Islam boleh berkembang ke arah kejayaan tanpa
Jihad, Peperangan dan Darah adalah sekadar bermimpi
dan tidaklah mereka itu memahami sifat sebenar dien
ini. Kehormatan seseorang Da'i, pengaruh Islam dan
maruah serta harga diri umat Islam tidak akan dapat
diperolehi tanpa Jihad.

Telah diriwayatkan di dalam sebuah Hadith: Dan Allah
akan membuang rasa takut kepada kamu daripada
hati-hati musuh kamu dan memasukkan WAHN ke dalam hati
kamu dan baginda telah ditanya, wahai Rasulullah,
apakah WAHN? Baginda SAW menjawab, cintakan kehidupan
dunia ini dan bencikan kematian; dan telah
diriwayatkan juga, cintakan kehidupan dunia ini dan
bencikan Jihad.

Maka berperanglah kamu di Jalan Allah, tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri.
Kobarkanlah semangat para Mukmin (untuk berperang).
Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang
kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras
siksaan Nya. (An Nisa 4:84)Tanpa Jihad, Syirik
(menyekutukan Allah) akan berkembang dan bertambah,
firman Allah swt: Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) dien itu hanya
untuk Allah belaka (Al Baqarah 2:193)Fitnah di sini
adalah Syirik iaitu menyekutukan Allah.

Malah Jihad adalah satu-satunya jaminan untuk
kesejahteraan manusia di muka bumi kerana firman Allah
swt: Seandainya Allah tidak menolak (keganasan)
sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain pasti
rosaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai kurnia (yang
dicurahkan) atas semesta Alam. (Al Baqarah 2:251)Jihad
adalah satu-satunya jaminan pemeliharaan rumah-rumah
ibadah, dan amalan ibadah kepada Allah kerana firman
Allah swt: Dan sekiranya Allah tidak menolak
(keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (dien) Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa. (Al Hajj 22:40)

Wahai kamu, para Pendakwah Islam! Carilah kematian dan
kamu akan diberi ganjaran kehidupan, Jangan
sekali-kali tertipu dengan syaitan, atau dengan impian
palsu; jangan sesekali menipu dirimu dengan buku-buku
yang kamu baca atau amalan-amalan tambahan yang kamu
lakukan. Jangan sekali-kali menyibukkan dirimu dengan
tugas-tugas mudah meninggalkan penyelesaian pada yang
susah, firman Allah swt: sedangkan kamu menginginkan
bahawa yang tidak mempunyai kekuatan senjata.... (Al
Anfal 8:7]Jangan sekali-sekali taatkan sesiapa dalam
meninggalkan Jihad. Tidak ada kebenaran dari sesiapa
diperlukan apabila Jihad itu wajib. Malah Jihad
merupakan asas utama dan intipati dakwah kamu dan
merupakan untuk menjaga dien kamu.

Wahai, Ulama Islam! Maralah ke hadapan dan pimpinlah
generasi ini yang sedang kembali kepada Tuhannya.
Janganlah menoleh pergi, janganlah bergantung kepada
kehidupan yang sementara ini. Berhati-hatilah dengan
tawaran-tawaran para pemerintah zalim kerana ini
menyebabkan kegelapan dan kematian pada hati dan
menjadi penghalang di antara kamu dan generasi ini.

Wahai kamu, umat Islam! Kamu telah tidur begitu lama,
cukup lama untuk para pemerintah zalim menguasai kamu.
Kamu rela hidup sebagai hamba dan menundukkan diri
pada mereka. Kini, masanya telah tiba untuk bangkit
dan menghancurkan rantai-rantai perhambaan.

Wahai kamu, wanita-wanita Islam! Berhati-hatilah
dengan berlebih-lebihan kerana inilah musuh Jihad dan
menyebabkan kematian pada jiwa-jiwa manusia.
Berhati-hatilah dengan barangan tidak perlu dan
cukuplah dengan barang-barang perlu sahaja. Didik
anak-anakmu untuk menjadi berani dan tabah. Jadikan
rumah-rumahmu tempat untuk singa-singa bukan
reban-reban ayam di mana anak-anakmu diberi makan
untuk disembelih oleh musuh-musuh Islam. Bajai hati
anak-anakmu dengan cinta kepada Jihad dan cinta kepada
medan perang. Berkongsilah masalah Ummah ini. Hidup
sehari setiap minggu seperti para pelarian dan para
Mujahideen. Mereka hidup memakan roti kering dan teh
sahaja.

Wahai kamu, anak-anak Islam! Biasakan dirimu dengan
kebisingan bom-bom, peluru mortar dan pekikan jet-jet
pejuang dan kereta-kereta kebal. Jauhilah kemewahan.

Wahai Isteriku! Aku ada terlalu banyak perkara untuk
dikatakan padamu. Moga Allah beri ganjaran padamu bagi
pihakku dan bagi pihak umat Islam. Kau sungguh
bersabar bersamaku dan kau berdiri bersamaku melalui
segala kesusahan dan pancaroba, dengan kesabaran dan
ketabahan. Darimu aku mendapat sokongan yang aku
perlukan untuk meneruskan Jihad ini. Aku berikan kau
tanggungjawab ke atas rumah pada 1969, ketika kita
mempunyai 3 orang anak-anak kecil hidup di sebuah
bilik, tanpa dapur, tanpa peralatan. Apabila keluarga
semakin besar, anak-anak membesar dan tetamu-tetamu
kita bertambah, kau bersabar dengan ini....dan banyak
lagi kerana Allah, juga ketaatan padaku sebagai suami.
Aku berdoa moga Allah meemberi ganjaran padamu bagi
pihakku. Jika tidak dengan kesabaranmu, aku tidak akan
mampu menanggung beban ini seorang diri. Kau adalah
isteri yang redha dan tidak mementingkan kebendaan dan
kau tidak pernah merungut kerana kekurangan kebendaan
ini. Kau juga tidak pernah boros ketika kita mempunyai
sedikit kesenangan. Kehidupan Jihad adalah kehidupan
yang paling menyeronokkan, bersabar dalam kesusahan
adalah lebih baik daripada hidup mewah. Bersabar dan
redha dengan apa yang ada, Allah akan mencintaimu.
Jangan kau inginkan apa yang dipunyai oleh orang lain,
orang akan mencintaimu. Al Quran penghibur kehidupan,
tahajjud, puasa sunat, memohon keampunan; semua ini
menjadikan hati jernih dan ibadah terasa manis. Cukup
dengan keperluan asas, benda-benda halal, menjauhkan
diri dari kelihatan 'hebat' dan berlebih-lebihan
membawa keamanan dan ketenangan pada hati. Aku berdoa
pada Allah semoga kita disatukan kembali di Syurga
seperti Dia menyatukan kita di dunia.

Wahai anak-anakku! Kau tidak banyak bergembira
denganku dan aku juga tidak mempunyai peluang yang
cukup untuk memberikan tunjuk-ajar dan nasihat. Aku
terlalu sibuk untuk menemanimu. Ketika aku melihat
bala dan bencana menimpa Ummah ini, aku tidak sanggup
tinggal bersamamu seperti ayam hidup dengan
anak-anaknya. Aku tidak dapat hidup dengan aman
sedangkan kesan bencana itu membakar hati-hati umat
Islam. Aku tidak dapat tinggal bersamamu sedangkan
masalah Ummah ini mengoyak hati-hati dan pemikiran
mereka yang berhati dan berfikiran. Kelakianku tidak
membenarkan aku tinggal bersamamu dalam kesenangan
kehidupan. Aku bencikan berlebih-lebihan dan kemewahan
sepanjang hidupku samada dalam soal pemakanan, pakaian
dan tempat tinggal. Aku telah cuba mengangkatmu
setinggi yang aku mampu dari gaya kehidupan yang
rendah itu dan menjadikanmu sabar dengan kehidupanmu
yang ringkas. Berimanlah dengan apa yang diimani oleh
generasi pertama umat Islam (generasi salafus soleh),
amalkan kebijaksanaan, bacalah Al Quran dan hafallah
ia. Berhati-hati dengan apa yang kau katakan.
Bersembahyanglah pada malam hari, amalkan berpuasa
sunat, carilah teman pergaulan yang baik dan sertailah
pergerakan Islam tetapi, ketahuilah bahawa pemimpinnya
tiada kuasa ke atas kamu dalam menghalang kamu
daripada Jihad, atau menggoda kamu meninggalkan Jihad
demi menyebarkan Dakwah, lantas menjauhkan kamu dari
medan perang di mana jiwa-jiwa terbina. Jangan
sekali-kali minta kebenaran sesiapa untuk berjihad.

Wahai anak-anakku! Aku perintahkan kamu patuh dan
hormat pada ibumu dan kakak-kakakmu (Umm Al Hassan dan
Umm Yahya). Aku galakkan kamu mencari ilmu dien yang
sahih. Aku minta kamu patuh dan hormat pada abangmu
Muhammad dan cintai dia. Berbuat baiklah pada Datuk
dan Nenekmu dan hormati mereka. Berbuat baiklah pada
ibu-ibu saudaramu (Umm Faez dan Umm Muhammad) kerana
mereka telah banyak menolongku. Rapatkanlah dirimu
dengan kaum keluargamu dan kepada sesiapa saja yang
kau kenali.

Wahai kamu, Pergerakan-pergerakan Jihad! Jagalah
Sayaff, Hikmatayer, Rabbani dan Khalis. Kami harap
mereka akan meneruskan Jihad Pada Jalan Allah ini dan
memeliharanya dari melencong dari matlamat asalnya.
Jangan lupakan Komander-komander di dalam Afghanistan
terutamanya Jalalludin, Ahmed Shah Masoud, Eng.
Bashir, Saifullah, Mualavy Arsllan, Farid dan Muhammad
Alam, Shir Alam (Paghman) dan Said Muhammad Hanif
(Logar). (ada diantara nama yang disebutkan tadi kini
telahpun menyimpang daripada perjuangan asal dan telah
bersekongkol dengan rejim kafir laknatullah untuk
menentang Tholiban-webmaster)

Alhamdulillah, Aku menyaksikan bahawa tiada Tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah dan aku pohon
keampunan-Nya.

Asy Syahid Syeikh Dr Abdullah Yusuf Azzam
12 Syaaban 1406 / 20 April 1986
Sumber Azzam.com


Konsep- konsep Umum Amal Jamaie

( Taat, Sirri dan Alaniah, Istisyarah dan Isti’zan)

Keperluan Amal Jamaie
Islam Deen Syamil Kamil Mutakamil
• Manusia – tenaga yang terpecah-pecah & terbatas
• Fitrah Kauniyyah – keseorangan akan lemah
• Hajah Basyariyyah – manusia perlu kepada Islam
• Darurah Harakiyyah – partner bekerja dalam team
• Faridhah Syar’iyyah – Dalil Al Quran & Hadis

Kelebihan Amal Jamaie
• Membahagikan kerja – e.g kilang industri
• Meringankan beban kerja dakwah – terlalu berat
• Menggunakan tenaga – tiada yang ta’attol/guna semua bakat
• Menggandakan pahala – e.g solat jamaah
• Saling memperlengkapkan kelemahan manusia
• Menjaga keaslian – tidak mudah menyeleweng
• Memperteruskan pertolongan Allah – Hadis

Definasi & Syarat Amal Jamaie
• Di putuskan oleh perkumpulan
• Kerja yang tersusun (munazzam)
• Kerja yang mengikut manhaj (manhaji)
• Mempunyai tugas yang tertentu (matlamat)

________________________

Konsep taat
Taat adalah mematuhi perintah. Terdapat 39 kali disebut di dalam Al Quran dan Hadis supaya setiap muslim dapat memahami kepentingan dan sempadan ketaatan.
Taat pertama kepada Allah, kedua kepada Rasulullah saw dan ketiga kepada Uli Amri selama mana mereka berpegang kepada manhaj Allah.Sempadan ketaatan kepada Uli Amri selagi mana mereka tidak menyuruh melakukan maksiat kepada Allah. Memberi ketaatan kepada ibubapa atau mas’ul termasuk dalam syar’iyyah.

Keperluan taat dalam kehidupan manusia
• tidak taat berlaku faudha, huru-hara dalam kehidupan masyarakat.
• Dalam organisasi ketaatan amat perlu – munazzam dalam urusan dan medisplinkan perjalanannya.
• Lebih lebih lagi di dalam Organisasi Islam kerana masyru’ dan menjadi ibadat serta diberi ganjaran pahala kepada orang yang taat.- kesatuan saf, terlaksana perancangan dan program, mencapai matlamat.

Perlakasanaan Taat
• Individu
- tahap kesedaran & penguasaannya
- kedudukannya dalam organisasi
- keperibadiannya e.g menjaga rahsia
- tabiatnya e.g menerima perintah dan persediaan melaksana
• Suasana/Zuruf
- biasa [memerlukan kefahaman & Kerelaan]
- gawat [tasyaddud ]
• Tabiat Isu
- Isu yang memerlukan individu tertentu [tasyaddud dalam arahan]
- Isu biasa [tidak masalah diketahui oleh orang lain- tawassu’ dalam arahan samada dalam memberi kefahaman atau mendapat kerelaan]

Ketaataan secara wa’iyyah, suka atau tidak suka adalah masyru’ dalam organisasi Islam. Ketaatan yang diberi akan mendapat ganjaran pahala dan mendapat keredhaan Allah.

________________________

Syura/Istisyarah
Makna Syura
• Mesyuarat
• Minta pandangan atau pendapat
• Bebas memberi pandangan tanpa mujamalah

Dalil As Syura
• As Syura:38 maksudnya “Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan solat, seang urusan mereka diputuskan dengan mesyurat antara mereka, dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.”
• Ali Imran:159 maksudnya “ Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, kerana itu maafkan mereka dan bermesyuarat dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad. Maka bertakwakal kepadaNya.”
• Sabda Rasululah saw bermaksud “Berilah pandangan kepada ku wahai muslimin, apakah kamu berpandangan aku cenderung kepada keluarga dan keturunanku, mereka hendak menyekat kita dari ahli keluargaku” Bukhari
• Seerah Nabi saw – Perang Badar, Uhud, Tawanan perang dsb

Perlaksanaan As Syura
• Kehidupan individu muslim – Rabbani/isytikhara’ dan meminta pandangan individu yang dipercayai, berpengalaman dan ikhlas dalam memberi pandangan [Tidak rugi sesiapa yang berisytikharah dan tidak menyesal sesiapa yang meminta pandangan]
• Kehidupan keluarga – tidak boleh diktatur dalam mengahwini anak perempuan sekalipun anak dara
• Masyarakat dan Negara – Al Quran dan As Sunnah menjelaskannya, ia di antara tanggungjawab Jamaah dan Negara Islam

Garis Sempadan Syura
Garis sempada syura seperti apa yang didatangkan daripada Al Quran dan As Sunnah. Tidak ada ijtihad dan tidak ada syura dalam perkara yang ada nas, melainkan ijtihad dalam memahami nas dan tafsirnya. Para sahabat ra segera meminta keterangan dari Rasulullah bila ada masalah. Mereka bertanya adakah ianya wahyu daripada Allah? Sekiranya wahyu mereka segera taat dan melaksanakan dengan bersungguh dan tegas. Sekiranya pendapat, mereka bermesyuarat dan mendengar pandangan sahabat- sahabat, ada sahabat yang sependapat dan ada yang tidak sependapat di antara mereka. Rasullah saw menerima semua itu dari pada para sahabatnya.
Begitu juga tidak ada ijtihad dan syura dalam perkara ibadat – Sabda Rasulullah saw maksudnya “ Sesiapa yang melakukan sesuatu amalan, bukan dari ajaran kami, maka ia adalah ditolak” Bukhari/Muslim

Diantara perkara yang dibolehkan syura
• Tanzim / Organisasi
• Ekonomi
• Tarbiyyah
• Nasyrud Dakwah dsb.

Kepentingan Syura
• Berkat
• Paling hampir dengan kebenaran

Di antara Syura & Isytisyarah
• Isytisyarah – ialah meminta pandangan dari orang yang dipercayai, orang yang meminta pandangan, berhak membuat keputusan dalam perkara yang diminta pandangan kecuali dengan mas’ul.
• Syura – ialah wasilah Jamaiyyah yang digunakan oleh Jamaah atau umat untuk membuat keputusan dalam isu umum atau maslahah ammah.
• Isytisyarah tidak wajib dan pandangannya tidak mulzim adapun Syura ia adalah wajib dan mulzim.

________________________

Antara Sirri dan Alani
• Surah Al Hijr:94 maksudnya “Maka sampaikanlah olehmu secara ternag-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”
• Surah Nuh:9 maksudnya “kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan diam-diam”

KepentinganAs Sirriyah
• Keselamatan dan Kesejahteraan Organisasi

Bentuk-Bentuk As Sirriyah
• Merahsiakan Keislaman – tiga tahun pertama dakwah di Mekah.
• Kerahsiaan Amal Dakwah (strategi & Hadaf) – dakwah fardiyah, makalah tanpa nama pengarang, melalui platform dsb.
• Merahsiakan organisasi – dirahsiakan dari pengetahuan musuh dan dirahsiakan sebahagiannya dari da’ie sendiri.
• Merahsiakan keperibadian da’ie sebagai anggota organisasi – perlaksanaan adalah berdasarkan suasana [kekuatan organisasi- jauh/hampir kepada hadaf]

Beberapa Kaedah dalam melaksanakan As Sirriyah
• Sabda Rasulullah saw maksudnya “ Di antara kecantikan Islam adalah apabila seseorang meninggalkan apa yang tidak ada kena mengena dengannya”
• Saidina Ali ra berkata “Tidak semua yang diketahui perlu diperkatakan. Tidak semua yang perlu diperkatakan, ada orang yang layak untuk mendengarnya. Tidak semua yang perlu diperkatakan dan ada orang yang layak mendengarnya, sudah tiba masa untuk memperkatakannya”
• Hadaf adalah kemenangan atau syahadah bukannya kesejahteraan diri, tetapi syahadah yang kita inginkan adalah syahadah memberikan pulangan kepada dakwah.
• Matlumat adalah amanah dan bukan miliknya. Maklumat yang kita sampaikan akan bergerak dan terus bergerak. Kita yang menentukan di mana ia berhenti.

________________________

Isti’zan
Surah An Nur; Ayat 62
Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman dengan Allah dan RasulNya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasullah dalam seseuatu urusan yang memerlukan pertemuan mereka tidak meninggalkan Rasulullah sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu kerana seseuatu keperluan, berilah izin kepada sesiapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Sebab turun ayat ini ; peristiwa yang berlaku dalam menggali parit dalam peperangan Khandaq.
Biar apa pun sebab turunnya ayat-ayat ini, namun ia tetap mengandungi peradaban dan tatatertib diri di antara kelompok dengan pimpinan. Urusan masyarakat akan pincang melainkan apabila peradaban-peradaban dan tatatertib ini terbit dari seluruh perasaan, sentimen dan hati nurani anggota-anggota masayarakat kemudian bertunjang kukuh di dalam kehidupan mereka sebagai satu adat yang dipatuhi dan undang-undang yang berkuatkuasa. Jika tidak ada peradaban-peradaban dan tatatertib ini maka masyarakat akan menjadi huru-hara dan kacau bilau.
Maksud urusan yang memerlukan perhimpunan orang ramai ialah urusan-urusan penting yang memerlukan penyertaan ramai orang Islam atau kegiatan yang bersangkutan maslahah umum atau maslahah dakwah. Sebagai contoh seperti mesyuarat, perang, tarbiah dsb.
Sikap orang mukmin, mereka tidak boleh meninggalkan perhimpunan, melainkan setelah mendapat kebenaran dari pemimpin atau mas’ul supaya urusan itu tidak menjadi kacau bilau, tanpa kehormatan dan peraturan.
Orang mukmin mematuhi peradaban ini dan tidak akan meminta izin atau mencari berbagai alasan untuk mengundurkan diri melainkan kerana terpaksa, kerana keimanan dan adab sopan mereka yang tinggi itulah yang menghalangi mereka dari mengundurkan diri dari urusan dakwah yang sedang sibuk difikirkan.
Ayat yang terakhir dari surah ini memberi amaran yang menginsafkan hati orang-orang yang beriman dan orang-orang yang sesat bahawa Allah sentiasa melihat dan mengawasi mereka dan amalan mereka serta mengetahui segala rahsia yang disembunyikan di dalam hati mereka. Firman Allah yang bermaksud:
“Ketahuilah !!! sesungguhnya Allah itu memiliki segala isi langit dan bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan kamu sekarang ini dan keadaan pada hari seluruh manusia dikembalikan kepadaNya, dan di sana Dia akan memberitahu kepada mereka segala amalan yang telah dilakukan mereka dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Ayat ini menghubungkan hati dan mata manusia kepada Allah dan mengingat mereka supaya takut dan bertaqwa kepada Allah, kerana taqwa itulah jaminan yang terakhir. Ia merupakan pengawal segala suruhan dan larangan dan pengawas akhlak dan peradaban yang diwajibkan oleh Allah.

________________________

Penutup:
Cukuplah sekadar ini perbincangan mengenai Konsep-Konsep Umum Amal Jamaie [Taat, As Sirriyah dan Alani, Isytisyarah dan Isyti’zan] sebagai langkah kita memahami dan melaksanakannya dalam usaha menjalankan dakwah dan menyelesaikan sebahagian masalah yang timbul dikalangan pendakwah. Kepada Allah kita memohon agar diberi taufiq dan hidayah dalam menjalankan tugas kita sebagai hamba Allah. Hanya keredhaan dan kecintaan Allah menjadi matlamat kita. Kita sentiasa berdoa supaya Allah menetapkan kita di atas jalan dakwah yang dilakukan secara berorganisasi dan beramal secara kolektif. Allah Akbar! Allah Akbar! Allah Akbar!Walillah hil Hamd.

Rujukaan
1. Amal Kolektif
2. Zilal Quran
3. As Syura
4. Seerah Rahiqul Makhtum
5. Kajian Politik dalam Jamaah Ikhwanul Muslimin
6. Hadis 40 Imam Nawawi

Syair Syeikh Yusuf al Qardhawi



Bangunlah para petunjuk jalan yang arif bijaksana untuk mengembalikan keadilan
Bangunlah para penakluk yang mulia dan gagah untuk mencapai kemuliaan perkasa

Bangunlah untuk memusnahkan segala belenggu kerana masanya telah tiba
Kerana manusia ditimpa kecelakaan cinta dunia tanpa agama

Marilah kita kembalikan umat, sebagai suatu rahmat bagi seluruh alam
Janganlah kamu berkata; bagaimana?kerana kita ini umat Islam

Wahai saudara Islam di seluruh tempat,
Naiklah ke atas bukit dan laungkanlah azan
Angkatlah al Quran sebagai perlembagaan zaman
Penuhilah setiap penjuru dengan berkata “Kami umat Islam!Kami Umat Islam! Kami umat Islam!
Di mana ada kebenaran dan keadilan, di situlah kami
Kami rela mati daripada terhina
Alangkah manisnya kematian di jalan Allah!!!

USRAH DAN MARHALAH DAKWAH (4)

PERINGKAT AMAL KITA
Peringkat amal yang diperlukan dari seorang akh/ ukht yang benar keimanannya itu adalah:
1. Memperbaiki dirinya sendiri sehingga menjadi seorang yang kuat fizikal, berakhlak mulia, berpengetahuan tinggi, berupaya untuk berdikari, selamat akidah, ibadat yang sahih, berjihad dengan dirinya sendiri, menjaga masanya, teratur dalam segala urusannya dan bermanfaat kepada selain darinya. Itulah kewajipan setiap orang akh.

2. Membentuk rumah tangga muslim dengan membawa ahli rumahnya menghormati fikrahnya, memelihara adab-adab Islam dalam setiap urusan kehidupan, tepat dalam memilih isteri, mengikat isterinya pada hak-hak dan kewajipannya, elok tarbiyah anak-anak dan pembantu dan membesarkan mereka menurut dasar-dasar Islam. Itulah juga kewajipan setiap orang akh.

3. Memberi petunjuk kepada masyarakat dengan menyebarkan dakwah kebaikan, memerangi perkara keji dan mungkar, menggalakkan sifat yang mulia, menyeru kepada kebaikan, bersegera ke arah kebaikan, membawa pandangan umum kepada fikrah Islam dan mencelup kehidupan umum dengan celupan dakwah Islam. Itu adalah kewajipan jemaah sebagai pertubuhan yang beramal.

4. Membebaskan negara dari penjajahan kuasa asing bukan Islam sama ada penjajahan itu berbentuk politik, ekonomi ataupun rohani.

5. Memperbaiki kerajaan sehingga menjadi kerajaan Islam yang sebenarnya. Dengan itu ia dapat menunaikan tugasnya sebagai pembantu kepada umat, buruh dan pekerja untuk kepentingannya. Kerajaan Islam adalah kerajaan di mana anggotanya adalah muslimin yang menunaikan fardhu-fardhu Islam dan tidak melakukan maksiat dan ia menjalankan semua hukum dan ajaran Islam. Tidak menjadi masalah jika kerajaan ini meminta bantuan dengan orang yang bukan Islam ketika darurat tetapi bukan dalam jawatan pemerintahan umum. Tidak menjadi masalah mengenai bentuk ataupun jenis pertolongan yang diminta selagi mana ia adalah bertepatan dengan kaedah umum dalam dasar pemerintahan Islam.
Di antara sifat kerajaan Islam adalah: Merasakan tanggung jawab yang diletakkan kepadanya, kasihan belas kepada rakyat, berlaku adil di kalangan manusia, cermat dalam perbelanjaan wang umum dan berekonomi padanya.
Antara kewajipannya adalah menjaga keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan ajaran Islam, melengkapkan kekuatan, menjaga kesihatan, menjaga kepentingan umum, menyuburkan harta benda dan menjaga wang negara, menguatkan akhlak yang mulia dan menyebarkan dakwah Islamiyyah.
Antara haknya pula ketika ia telah menjalankan kewajipannya itu adalah: Diberikan ketundukan dan kepatuhan, dibantu dengan diri dan harta. Jika kerajaan ini tidak menjalankan kewajipannya dengan sempurna maka ia mesti diberikan nasihat dan petunjuk, kemudiannya dipecat dan dijauhkan jika ia tidak mengikut nasihat kerana tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara maksiat kepada yang menciptanya.

6. Mengembalikan kehebatan antarabangsa kepada umat Islam dengan membebaskan negara-negara Islam yang dijajah, menghidupkan keagungannya, memperdekatkan peradabannya, menghimpunkan kesatuannya sehingga membawa kepada kembalinya Khilafah Islamiyyah yang telah hilang, dan mengembalikan kesatuan yang dharap-harapkan.

7. Membentuk kuasa besar dunia dengan menyebarkan dakwah Islam kepada setiap pelusuknya sehingga tidak ada lagi di sana fitnah dan agama itu hanyalah untuk Allah. Allah Taala enggan kecuali untuk disempurnakan NurNya (Maksud firman Allah).

Keempat-empat peringkat yang terakhir ini adalah wajib kepada jemaah yang bersatu dan juga kepada setiap akh dengan sifatnya sebagai anggota dalam jemaah ini. Alangkah beratnya tanggung jawab dan alangkah besarnya misi ini. Manusia lain akan memandangnya sebagai khayalan sementara akh muslim memandangnya sebagai hakikat yang ingin dicapai dan dia tidak akan berputus asa. Bagi kita, Allah adalah harapan utama kepada kita seperti mana yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surah Yusuf:
“Dan Allah Maha Kuasa melakukan segala perkara yang telah ditetapkanNya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."


PERINGKAT-PERINGKAT DAKWAH
1. Peringkat Taarif iaitu pengenalan.
Ini merupakan peringkat menyebarkan fikrah secara umum di kalangan manusia. Sistem dakwah dalam peringkat ini adalah seperti sistem sebuah organisasi. Peranannya adalah bekerja ke arah kepentingan umum. Wasilahnya adalah cara nasihat menasihati, memberikan petunjuk dan di ketika yang lain menubuhkan beberapa pertubuhan yang berfaedah dan lain-lain wasilah yang praktikal. Setiap cabang dari Ikhwan akan berfungsi di peringkat ini untuk menghidupkan dakwah dan diaturkan oleh undang-undang asas yang diterangkan oleh perutusan-perutusan Ikhwan dan majalah-majalahnya. Dakwah pada peringkat ini adalah dakwah umum.

Setiap orang yang berkeinginan untuk memberikan sahamnya akan berhubung dengan jemaah dalam setiap operasinya dan dia akan berjanji untuk memelihara dasar-dasar jemaah. Taat yang mutlak tidak lagi diwajibkan pada peringkat ini seperti wajibnya menghormati peraturan dan dasar-dasar umum jemaah.



2. Peringkat Takwin (pembentukan).
Ini dilakukan dengan memilih unsur-unsur yang layak untuk menanggung bebanan jihad dan juga menyatukan antara mereka. Sistem dakwah pada peringkat ini adalah secara sufi di sudut rohani, sistem ketenteraan di sudut praktikalnya. Slogan pada dua perkara ini (amal dan taat) adalah dengan tidak berbelah bahagi, tidak menarik balik, tidak ragu dan tidak merasa tertekan. Katibah-katibah Ikhwan pada peringkat ini akan dibentuk dan akan diaturkan oleh perutusan dasar yang lalu dan juga perutusan ini.

Dakwah pada peringkat ini adalah berbentuk dakwah khas yang hanya akan bergabung dengannya orang yang mempunyai kesediaan sebenar untuk menanggung bebanan jihad yang panjang yang banyak cabaran. Petanda awal kepada kesediaan ini adalah taat yang mutlak dan sempurna.

3. Peringkat Tanfiz (Pelaksanaan).
Dakwah pada peringkat ini adalah peringkat jihad yang tidak ada tolak ansur di dalamnya, amalan yang berterusan dan usaha untuk sampai kepada matlamatnya, cabaran dan bala yang hanya akan dapat disabari oleh orang yang benar. Tidak ada yang mengimbangi peringkat ini kecuali dengan taat yang sempurna juga. Atas perkara inilah generasi Ikhwan yang pertama telah berbai'ah pada hari 5 Rabiul Awal 1359 hijrah.

USRAH DAN MARHALAH DAKWAH (3)

ENAM PEGANGAN
LANDASAN Nabi-nabi yang telah lalu itu ialah orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, serta mereka takut melanggar perintah-Nya dan mereka pula tidak takut kepada sesiapa pun melainkan kepada Allah. Dan cukuplah Allah menjadi penghitung (akan segala apa yang dilakukan oleh makhluk-makhluk untuk membalasnya.)
Lihat (Al-Ahzab, 27:39) Lihat juga (As-Saba, 34:46-50)
  1. Agama hanya dapat dirasakan oleh sesiapa yang menegakkannya dalam dirinya.
  2. Bahagia dan saadah hanya akan dirasakan oleh orang yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan.
  3. Kemenangan dan kejayaan hakiki hanya akan diberikan kepada para pejuang yang rela berkorban, kuat menahan penderitaan dan kepapaan.
  4. Kesabaran dan ketahanan berjuang hanya akan diberikan kepada mukmin yang mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.
  5. Tegaklah dengan keyakinan dan perjuangan kerana makna dan guna hidup terletak pada keyakinan perjuangan.
  6. Belajar memanfaatkan diri guna kepentingan cita dan agama.

USRAH DAN MARHALAH DAKWAH (2)

PERINGATAN
Dua perkara yang perlu dititikberatkan ialah kehadiran dan pengisian tabung usrah. Setiap anggota usrah hendaklah menghadiri pertemuan-pertemuan yang telah dijadualkan walau bagaimana uzur sekalipun. Setiap anggota usrah juga hendaklah menunaikan kewajipannya untuk tabung usrah di cawangan usrahnya. Apabila kita dapat menunaikan kewajipan yang bersifat perseorangan, kemasyarakatan, dan kewangan seperti di atas, maka rukun usrah akan terlaksana dengan jayanya. Sebaliknya, jika dicuaikan, maka segala rukun dan peraturan itu akan beransur-ansur mundur dan akhirnya terus mati. Dengan matinya peraturan usrah yang baik ini, gerakan dakwah akan serugi-ruginya sedangkan gerakan dakwah sangat dikehendaki dan menjadi tempat harapan bagi umat Islam seluruhnya.

KANDUNGAN USRAH
Apakah yang perlu dilakukan dalam pertemuan mingguan usrah yang menepati maksud, rukun dan peringatan di atas? Jawapannya mudah: Kita mempunyai banyak kewajipan sedangkan masa kita terlalu sedikit. Oleh itu pertemuan mingguan kita hendaklah dipenuhkan dengan perkara-perkara yang berikut:

1. Membentangkan Kesulitan
Setiap anggota membentangkan kesulitan masing-masing. Beri perhatian terhadap kesulitan yang diluahkan oleh dan rakan kita dan berusahalah mengatasinya. Lakukan hal ini dalam suasana ukhuwah sejati dan dengan niat kerana Allah. Dengan demikian dapatlah diperkuatkan lagi asas saling percaya-mempercayai dan tali hubungan ukhuwah dapat diperkukuhkan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, maksudnya, "Orang mukmin itu cermin bagi saudaranya." Sabda Rasulullah s.a.w. lagi (maksudnya): Perbandingan orang-orang mukmin dalam erti kata kasih sayang mereka, dan dalam erti kata timbang rasa simpati mereka adalah laksana badan yang satu, iaitu apabila mana-mana anggota mengadukan hal turut menangguhkan seluruh badan dengan berjaga malam dan merasai demam.

2. Bermuzakarah
Anggota usrah hendaklah bermuzakarah iaitu bertukar-tukar fikiran dalam urusan Islam. Teliti risalah yang diedarkan oleh pucuk pimpinan kepada seluruh cawangan usrah. Elakkan pertengkaran atau bertikam lidah kerana semuanya itu adalah dikira "haram" menurut undang-undang usrah. Muzakarah hendaklah merupakan penerangan dan penjelasan dengan tidak melanggar batas-batas sopan santun yang sempurna dan dengan cara harga-menghargai fikiran yang datang daripada semua pihak dalam muzakarah itu. Apabila hendak ditutup satu-satu perbincangan, atau hendak dibuat keputusan mengenai apa-apa cadangan, atau hendak diberi penjelasan lanjut mengenai cadangan yang hendak ditimbangkan itu, maka perkara itu hendaklah diserahkan kepada naqib supaya beliau sempat terlebih dahulu mengemukakannya kepada pucuk pimpinan.
Jangan dibuat keputusan dengan cara terburu-buru. Tuhan mencela umat-umat manusia yang bersikap terburu-buru dengan firman-Nya yang bermaksud:
Dan apabila datang kepada mereka sesuatu perkara tentang keamanan atau ketakutan maka mereka pun terus mencanangkannya.
Setelah Allah S.W.T. mencela mereka yang berperangai begitu maka Tuhan tunjukkan pula apa-apa yang semestinya dilakukan apabila tersua dengan suasana seperti itu dengan firman-Nya yang bermaksud:
Kalaulah mereka kembalikannya kepada Rasul dan kepada pihak berkuasa antara mereka sendiri nescaya orang-orang yang menimbangkannya itu mengetahui hakikatnya.

3. Kajian Buku
Adakan studi (penelitian) terhadap sesebuah kitab yang bermutu. Jelmakan studi itu dalam kehidupan harian walaupun hanya sekadar mengamalkan bermuka manis. Panduan daripada buku boleh disampaikan dalam taklimat sesuatu projek seperti menziarahi orang sakit; menolong orang-orang yang berhajat (walaupun hanya sekadar kata-kata yang baik), mencari dan bertanyakan hal tentang anggota yang tidak kelihatan bersama-sama kumpulan, menanggung bebanan anggota yang terputus rezeki. Semuanya itu dapat menambahkan lagi tali ukhuwah dan dapat melipatgandakan perasaan kasih sayang dalam hati masing-masing.

4. Aktiviti Sokongan
Untuk mengukuhkan ikatan persaudaraan sesama sendiri, kita hendaklah mengadakan rehlah, lawatan, aktiviti lasak seperti mendayung sampan, mendaki gunung dan berbasikal. Kita hendaklah juga mengadakan aktiviti khusus seperti berpuasa (seminggu sekali atau dua minggu sekali), solat Subuh berjemaah di masjid dan qiamullail.

USRAH DAN MARHALAH DAKWAH (1)


Imam al-Syaheed Hassan Al-Banna

MAKSUD USRAH
Islam memandang sangat mustahak pembentukan ikatan perpaduan untuk penganutnya. Ikatan itu dinamakan usrah. Melalui usrah kita dapat memimpin penganut Islam ke arah contoh-contoh pujian yang tinggi di samping memperkukuh ikatan yang sedia ada. Selain itu, mutu ukhuwah antara sesama ahli boleh ditingkatkan, iaitu dengan merealisasikan teori dalam perbuatan dan amalan. Oleh itu, kita hendaklah memandang berat dan bersedia untuk menjadi batu bata yang sihat lagi berguna kepada bangunan keluarga bentukan yang mulia ini, iaitu keluarga Islam.

RUKUN USRAH
Rukun ikatan usrah ini tiga perkara iaitu berkenalan, bersefahaman, dan berimbangan. Kita hendaklah mengambil berat perkara ini dan bersungguh-sungguh menjayakannya supaya ikatan itu tidaklah semata-mata menjadi beban yang tidak bererti.

1. Berkenalan
Rukun usrah yang pertama ialah taaruf (berkenalan) antara satu sama lain. Ahli usrah hendaklah berkenal-kenalan serta berkasih sayang dengan semangat cinta kepada agama. Kita hendaklah memahami pengertian dan hakikat ukhuwah sejati. Elakkan perkara-perkara yang boleh mengeruhkan ukhuwah itu. Hal ini boleh dilakukan dengan sentiasa menjunjung titah firman Allah dan hadis-hadis Rasulullah s.a.w. Jadikan firman Allah dan hadis Rasulullah s.a.w. sebagai perkara yang wajib diutamakan.
Antara firman Allah dan hadis ialah:
Orang-orang mukmin itu bersaudara-mara. (Al-Hujarat, 26:10)
Berpeganglah dengan tali Allah semuanya dan janganlah kamu berpecah-belah. (Ali Imran,3:103)
Orang mukmin bagi orang mukmin itu laksana bangunan yang sebahagiannya memperkuatkan sebahagian yang lain.
Orang muslim ialah saudara bagi muslim yang lain; ia tidak menzaliminya dan tidak juga membiarkannya.
Perbandingan orang-orang mukmin dalam erti kata kasih sayang mereka, dalam perasaan belas kasihan mereka, dan dalam simpati mereka adalah laksana badan yang satu.

2. Bersefahaman
Rukun usrah yang kedua ialah tafahum (bersefahaman). Kita hendaklah berpegang pada kebenaran dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya. Periksalah diri sendiri dengan sehalus-halusnya sama ada diri kita benar-benar mentaati perintah Allah atau terlibat dalam arena kederhakaan. Setelah memeriksa diri sendiri, kita hendaklah nasihat-menasihati antara satu sama lain apabila kelihatan ada sesuatu yang cacat.
Rakan yang dinasihati itu hendaklah bersikap terbuka dan sanggup menerima nasihat dari sahabatnya. Pemberi nasihat pula janganlah berubah hati terhadap sahabat yang tersilap itu--walau sejarak sehelai rambut sekali pun. Nasihat hendaklah diberi dengan cara yang baik tanpa memandang rendah sahabat yang dinasihati itu. Pemberi nasihat janganlah menganggap dirinya lebih mulia. Sembunyikan kesilapan sahabat itu daripada pengetahuan naqib selama lebih kurang sebulan. Ceritakanlah kepada naqib apabila anda tidak berdaya membaikinya. Namun demikian, jangan sekali-kali tawar hati terhadap sahabat yang silap itu. Sebaliknya, teruskanlah kasih sayang anda terhadapnya sehingga Allah melakukan apa-apa perubahan yang dikehendaki-Nya.
Sahabat yang diberikan nasihat pula janganlah keras kepala. Janganlah juga berubah hati walau sejarak rambut sekalipun terhadap si pemberi nasihat. Fahamilah bahawa martabat kasih sayang kerana Allah itu adalah setinggi-tinggi martabat bagi pengertian kasih sayang di kalangan umat manusia. Nasihat pula adalah satu dasar yang amat penting dalam agama Islam. Rasulullah s.a.w. bersabda (maksudnya), "Agama itu adalah nasihat." Oleh itu, perhatikanlah dalam-dalam pengajaran yang mulia dalam hadis ini--mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada kamu.

3. Berseimbangan
Rukun usrah yang ketiga ialah takaful yang bermaksud memelihara nasib sesama sendiri agar tiada sahabat yang terbiar atau terlantar. Amalkan rukun ini dengan bersungguh-sungguh, iaitu dengan cara menolong memikul bebanan sesama sendiri. Takaful merupakan tunjang iman dan inti sari ukhuwah sejati. Takaful boleh dijelmakan dengan cara bertanya khabar sesama sendiri, ziarah menziarahi, berganti-ganti membuat kebajikan dengan jalan segera menolong antara satu sama lain sedaya upaya.

Sabda Rasulullah s.a.w. (maksudnya):
"Kalau seseorang daripada kamu itu berjalan kerana hendak menolong saudaranya adalah lebih baginya daripada ia beri iktikaf sebulan di masjidku ini.”
Sabda baginda lagi (maksudnya):
"Sesiapa memberikan kesukaan kepada keluarga sesebuah rumah orang muslim nescaya tidak lain yang dibalas Allah melainkan dengan syurga."

Sabtu, September 26, 2009

Nasehat Umamah Binti Harits kepada ananknya

Nasihat dan wasiat Umamah binti Al Harits yang ditujukan kepada putrinya pada hari pernikahannya :

Wahai putriku,
Andai saja nasihat itu tidak berguna bagi orang yang memiliki keutamaan dalam akhlak maupun keturunan yang terhormat, pastilah engkau tidak membutuhkan nasihat
Namun nasihat ini untuk mengingatkan orang yang mungkin lalai, ataupun sebagai bahan pertimbangan bagi seseorang yang berakal.

Wahai putriku,
Andai saja istri tidak membutuhkan suami karena merasa cukup dengan keberadaan orang tuanya dan kecintaan keduanya yang sangat terhadap putrinya, maka engkaulah orang yang paling tidak membutuhkan pernikahan.
Namun sudah kodrat, bahwa wanita dicipta untuk menjadi pasangan pria. Dan sebaliknya, pria tercipta untuk menjadi pasangan wanita.

Wahai putriku,
Kini, engkau telah meninggalkan lingkunganmu yang dulu dan rumah tempat engkau dibesarkan ke dalam alam yang serba baru bagimu bersama pasangan yang sebelumnya engkau tidak mengenalnya.
Maka sejak hari ini, engkau telah menjadi milik seseorang. Jadilah engkau sebaik - baik pelayannya, niscaya ia akan menjadi hamba bagimu.

Wahai putriku,
Jaga sepuluh perkara yang akan kuberikan kepadamu, niscaya akan menjadi kekayaan berharga dan kenangan bagimu.

Pertama dan kedua,
Temanilah suamimu dengan sifat qana'ah (apa adanya) dan dengar serta patuhilah perintahnya.
Sesungguhnya dengan sifat qana'ah, hatimu akan tenang. Dan mendengar serta patuh kepadanya, engakau akan mendapatkan ridha dari Rabb-mu.

Ketiga dan keempat,
Jagalah hidung dan matanya. Jangan sampai matanya melihat pada dirimu sesuatu yang tidak menyenangkannya. Atau pun hidungnya mencium darimu, kecuali bau yang harum.
Maka celak adalah sebaik - baik hiasan mata dan air cukup untuk menghilangkan bau.

Kelima dan keenam,
Ingatlah waktu makannya dan tenanglah ketika tidurnya.
Sebab biasanya gejolak lapar akan dapat membakar amarah. Sedangkan kurang tidur akan menimbulkan emosi.

Ketujuh dan kedelapan
Hormati dan pelihara keluarga, anak - anak dan hartanya.
Jika engkau dapat menjaga hartanya, pastilah engkau akan mendapatkan kehormatannya. Jika engkau menjaga hak keluarga dan anak - anaknya maka akan membuatnya bersikap baik kepadamu.
Kesembilan dan kesepuluh,
Jangan sampai engkau membeberkan rahasianya dan menentang perintahnya. Jika engkau membocorkan rahasianya, jangan harap engkau selamat dari pembalasannya.
Jika engkau menentang perintahnya maka engkau akan membuat dadanya bergejolak.
Kemudian janganlah engkau bergembira ketika ia sedih ataupun bersedih ketika ia sedang bergembira.
Sebab, yang pertama adalah wujud kurangnya perhatianmu. Dan yang kedua akan mengeruhkan hubunganmu dengannya. Upayakan semaksimal mungkin untuk menghormatinya niscaya dia akan memberikan penghormatan untukmu.
Seperti itu pula, jadilah engkau sahabat yang paling setia padanya, pastilah dia akan berbuat serupa terhadapmu.

Ketahuilah wahai putriku, bahwa engkau mustahil mendapatkan cintanya sampai dirimu rela untuk mengalah dan mengutamakan apa yang diinginkannya daripada harus mengikuti apa yang engkau inginkan.

Semoga Allah selalu memberikan kebaikannya kepadamu dan menjagamu.