Minggu, Januari 17, 2010

Syari'at, Thariqat, Haqiqat


Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.

Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.

Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.

Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.

Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).

Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.

Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.

Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".

Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.

Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.

Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.

Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya."

Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya".

Syari'at

Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.

Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.

Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.

Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.

Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat

Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.

Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.

Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.

Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.

Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.

Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.

Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.

Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".

Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".

Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.

Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.

Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".

Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.

Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.

Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".

Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.

Haqiqat

Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.

Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.

Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.

Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".

Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.

Wajib Bersyari'at

Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.

Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.

Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.

Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.

Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.

Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.

Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.

Ma'rifatullah

Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.

Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.

Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.

Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".

Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.

Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.

Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".

Pendekatan Ibnu Khaldun dalam Bidang Sejarah dan Sosiologi

Abdurrahman Ibnu Khaldun (732 H - 808H) atau (1332 M - 1406 M), lahir di Tunisia. Ia mencapai usia 76 tahun menurut kalender Hijriyah, atau 74 tahun menurut kalender Miladiyah. Perbedaan dua tahun itu disebabkan oleh perbedaan penanggalan sistem qamariyah (peredaran bulan mengelilingi bumi) dengan sistem syamsiyah (peredaran bumi mengelilingi matahari). Dalam satu tahun syamsiyah terdapat perbedaan 10 atau 11 hari, sehingga dalam sekitar 33 tahun syamsiyah terjadi perbedaan satu tahun.

Ibnu Khaldun terjun dalam gelanggang politik, menulis sejarah dan menyumbangkan pemikiran orisinel tentang filsafat sejarah, bahkan ia terkenal pula sebagai sesepuh peletak dasar ilmu pengetahuan modern dalam bidang sosiologi. Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga yang berasal dari Andalusia yang berpindah dari Sevilla ke Tunisia dalam pertengahan abad ketujuh Hijriyah. Jika asal-usulnya ditelusuri terus ke belakang, maka ia berasal dari Yaman, keturunan Ibnu Hajar.

Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al I'bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai timbul dan runtuhnya negara dan bangsa-bangsa.

Adalah suatu hal yang sangat disayangkan ialah para pakar ummat Islam dalam bidang sejarah dan sosiologi kurang berminat dalam menyimak pendekatan Ibnu Khaldun dalam Bidang Sejarah dan Sosiologi, seperti dalam judul di atas itu. Dalam ulasannya Ibnu Khaldun berangkat dari postulat yang sangat asasi yaitu iman. Ibnu Khaldun memberikan nilai Tawhid dalam ilmu pengetahuan filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan.

Jadi sangat berbeda dengan filsafat ilmu pengetahuan yang berlandaskan filsafat positivisme yang dilahirkan oleh pandangan hidup modernisme seperti yang dianut oleh pakar baik oleh yang bukan Muslim maupun yang Muslim yang tidak menyadari akan "penjajahan" filsafat positivisme yang mempengaruhi disiplin berpikir dalam berilmu. Sehingga jika orang memakai pendekatan yang berlandaskan iman akan mendapat cap tidak ilmiyah. Demikianlah iman diperlakukan oleh para pakar kita yang Muslim. Kalau mau mengadakan pendekatan yang ilmiyah, iman disimpan dahulu di luar kawasan disiplin ilmu yang bersangkutan. Inilah dilemma bagi para pakar kita.

Kita ambil perbandingan seperti misalnya dalam bidang ilmu kedokteran mengenai definisi tentang mati. Orang mati katanya apabila otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Iman ataupun nilai Tawhid disimpan di luar kawasan definisi ini. Apabila ilmu pengetahuan itu dimerdekakan dari pandangan hidup modernisme yang melahirkan filsafat positivisme itu, kemudian diberi nilai Tawhid maka definisi mati itu akan berbunyi: Orang mati adalah orang yang telah dicabut atau dipisahkan ruh dari jasadnya oleh malakulmaut yang mendapat perintah dari Allah SWT, dan ini dapat dideteksi dengan tidak berfungsinya lagi otak yang bersangkutan.

Berikut ini akan diberikan contoh bagaimana pendekatan Ibnu Khaldun yang berpangkal pada Ayat Qawliyah:

Sunnata Llahi fiy Lladziyna Khalaw min qablu wa Lan Tajida liSunnati Llahi Tabdiylan (S. Al Ahza-b, 62). Inilah SunnatuLlah pada orang-orang dahulu kala dan tiada engkau peroleh SunnatuLlah itu berubah-ubah (33:62).

Berdasarkan postulat dalam ayat itu bahwa SunnatuLlah yang berlaku pada orang-orang baik mengenai keadaan fisik manusia maupun dalam sejarah bangsa-bangsa yang tidak berubah-ubah itu, Ibnu Khaldun meneliti untuk dapat mengungkapkannya. Ia membagi daerah penelitiannya dalam lima daerah, yaitu daerah yang jauh ke selatan yang sangat panas, yang jauh ke utara yang sangat dingin daerah selatan yang dekat yang kurang panasnya, daerah utara yang dekat yang kurang dinginnya dan daerah pertengahan yang sedang panas dan dinginnya. Ia mendapatkan kesimpulan adanya pengaruh iklim atas keadaan fisik manusia khususnya warna kulit dan rambut. Dari warna hitam legam pada daerah yang jauh ke selatan berangsur-angsur berubah menjadi warna lebih ringan pada daerah selanjutnya hingga menjadi warna putih dan pirang pada rambut pada daerah utara yang dekat dan akhirnya menjadi bule baik pada kulit maupun rambut pada daerah yang jauh ke utara. Ia membantah pendapat yang umum pada waktu itu bahwa warna hitam itu disebabkan mereka itu adalah keturunan Ham salah seorang anak Nabi Nuh AS yang dikutuk oleh bapaknya. Hal itu dijelaskan dalam Tawrat bahwa Nabi Nuh AS melaknat puteranya yang bernama Ham itu, akan tetapi di situ tidak ada hubungannya dengan masalah warna hitam itu. Berdasarkan hasil temuannya dalam penelitian itu Ibnu Khaldun membantah teori yang berbau rasial pada waktu itu yang menghubungkan antara kutukan dengan warna kulit.

Andaikata Ibnu Khaldun dapat melihat negara Israel sekarang ini, ia akan bergembira melihat hasil ungkapannya itu. Orang-orang Yahudi yang berasal dari daerah panas berbeda warna kulitnya dengan yang berasal dari daerah yang beriklim dingin. Orang Yahudi yang berasal dari Ethopia berkulit hitam, sebaliknya orang Yahudi yang berasal dari Rusia berkulit putih, padahal mereka itu berasal dari Israil atau Nabi Ya'qub AS.

Demikian pula dari hasil penelitiaannya ia dapat mengungkapkan SunnatuLlah yang tidak berubah-ubah itu pada penduduk desa dan kota antara lain seperti berikut: orang desa lebih berani dan lebih bersemangat daripada orang kota, penduduk desa lebih dekat pada kebajikan dan lebih mudah pula menerima kebajikan daripada penduduk kota.

Demikianlah sekelumit keterangan tentang metodologi penelitian Ibnu Khaldun. Ia meneliti sejarah dan masyarakat tidak berangkat dari keadaan polos, ia juga tidak berangkat dari hipotesa, melainkan ia berangkat dari postulat yang diambil dari Ayat Qawliyah, ia berangkat dari iman, ia memberikan nilai Tawhid dalam ilmu pengetahuan. Alangkah eloknya jika para pakar Muslim dapat mengikuti jejak Ibnu Khaldun, sehingga dari segi filsafat, ilmu pengetahuan itu dapat memerdekakan diri dari filsafat positivisme, anak dari pandangan hidup modernisme yang agnostik itu. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

Pendidikan Moral: sebagai cara untuk memajukan perpaduan sosial

Pidato di depan Kelompok Studi Sosial
Saudara-Saudaraku,
Saya merasa gembira mengetahui bahawa Kelompok Studi Sosial ini memberikan perhatiannya kepada “Pendidikan Moral” dan menganggapnya sebagai “cara untuk mewujudkan perpaduan sosial” dan peristiwa ini terjadi di masa “nilai-nilai moral” telah tertinggal di belakang dan pada tempat yang semestinya diisinya dalam kehidupan sosial, di bawah pengaruh berbagai macam teori dan mazhab pemikiran yang berusaha untuk melupakan pengaruh-pengaruh ilmiah yang telah ditinggalkan nilai-nilai itu; dan dari sini teori dan mazhab itu menyeru untuk melupakan nilai-nilai itu sendiri dan menghapuskan dari bidang nyata kehidupan.
Mengingat teori dan mazhab itu, yang berusaha untuk melupakan pengaruh-pengaruh positif dari nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat, dan mengingat pengaruhnya dalam udara pemikiran dan kemasyarakatan di masa sekarang, maka saya mengambil kesempatan ini, sebelum langsung masuk kepada pokok masalah yang saya telah dibebani untuk mempelajarinya: iaitu masalah pendidikan moral sebagai cara untuk mewujudkan perpaduan sosial. Saya ingin terlebih dahulu untuk membicarakan dalam beberapa baris saja masalah “nilai-nilai moral” itu sendiri dan pengaruhnya dalam masyarakat manusia. Kepercayaan kita akan nilai-nilai moral ini harus kuat, sebelum kita melakukan suatu percubaan di bidang “pendidikan moral”. Sebabnya adalah kerana tugas pendidikan moral adalah mencuba mewujudkan nilai-nilai moral tertentu yang masyarakat telah sesuai tentang kepentingan mewujudkannya, dan percaya akan keseriusan dan kepentingannya. Jadi kepercayaan seperti ini harus ada terlebih dahulu sebelum dilakukan percubaan itu.
Kita amat terpaksa untuk mempercayai bahawa perasaan moral atau perasaan susila adalah suatu kejadian asli (fitrah) dalam diri manusia, terlepas daripada bentuk nilai-nilai moral yang dominan dalam suatu masyarakat. Hanya dalam masa-masa yang aneh dan luar biasa sajalah dalam kehidupan ummat manusia, atau pada peribadi-peribadi yang abnormal sajalah, terjadi bahawa perilaku yang tidak baik dianggap baik, sedangkan perilaku yang terpuji dianggap tidak baik. Perselisihan biasanya terjadi mengenai apa yang dianggap perilaku yang baik dan apa yang dianggap perilaku tidak baik.
Sekarang kita juga merasa terpaksa untuk mempercayai bahawa unsur moral dalam kehidupan manusia, tidak dapat dipaksakan kepada orang-perseorangan baik oleh masyarakat mahupun oleh agama. Perasaan moral itu tertanam dalam kejadian manusia. Tugas agama adalah mengatur dan mengarahkannya, dan menentukan kriteria-kriteria yang tetap untuknya, sehingga tidak berubah-ubah sesuai dengan kehendak hawa nafsu, kepentingan kehendak alam. Moral harus selalu mempunyai ukuran yang tetap, tidak terpengaruh oleh hawa nafsu. Tugas masyarakat adalah menjaga sifat-sifat keutamaan yang telah disepakati bukan memaksakannya dalam bentuk yang menentang kehendak orang-perseorangan. Moral tidak dapat dipaksakan oleh masyarakat, kalau ia tidak mempunyai akar yang kuat dalam fitrah manusia. Sebabnya adalah kerana masyarakat itu adalah kumpulan orang-perseorangan, walau pun apa juga yang dikatakan orang tentang perkembangan-perkembangan yang masuk ke dalam mentaliti individu-individu dan perasaan mereka sewaktu mereka berkumpul dalam suatu kelompok. Sudah pasti bahawa hukum yang mengatur kehidupan kelompok sejalin dalam kejadiannya dengan hukum yang mengatur fitrah orang-perseorangan, sehingga dengan demikian mungkinlah berdiri suatu masyarakat yang terdiri dari orang-perseorangan itu, dan mungkin berdiri suatu kepentingan bersama di kalangan mereka, atas dasar sistem dan tradisi yang sama-sama mereka sepakati.
Akhirnya kita amat terpaksa menolak pendapat yang mengatakan bahawa kepentinganlah yang menjadi dasar moral, kecuali kalau yang dianggap dengan kata-kata kepentingan itu, adalah kepentingan tertinggi ummat manusia. Tetapi ini bukan yang dimaksud oleh para pendukung teori kepentingan dalam dunia moral. Kita juga terpaksa menolak gagasan kesenangan, kerana dalam kenyataan banyak sekali unsur moral itu yang bertentangan dengan kesenangan, dan dalam keadaan seperti itu moral adalah suatu keadaan terpaksa untuk memelihara adanya individu, di samping memelihara adanya kelompok, sampai ke tingkat di mana kalau ia dilanggar, individu itu sendiri mungkin hancur. Jadi ia dipaksakan untuk memelihara manusia dan dirinya, dan untuk memelihara dirinya itu sendiri.
Dalam keadaan ini, ia sama dengan kekang-kekang naluri pada binatang. Kekang-kekang seperti inilah yang menentukan masa-masa kesuburan. Maka binatang tidak mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan berkembang biak, selain dalam waktu-waktu tertentu saja. Tetapi kekang-kekang yang membatasi manusia lain lagi, iaitu hukum moral. Kalau ia dibiarkan tanpa batas, maka ia akan menghancur diri sendiri, di samping juga menghancurkan orang lainnya.
Bagaimanapun juga, kita sampai kepada kesimpulan untuk menganggap unsur moral adalah sesuatu yang asli dalam fitrah orang-perseorangan, sampai ke tingkat dimana ia itu termasuk ke dalam cara-cara yang fitrah untuk memelihara diri. Tugas agama hanyalah mengatur unsur fitrah ini, mengarahkannya dan menentukan ukuran yang tetap baginya. Tugas masyarakat adalah menjaga undang-undang moral yang telah disepakati. Kita juga telah sampai kepada kesimpulan bahawa “undang-undang moral” itu dianggap sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang paling jelek keadaannya adalah masyarakat di mana individu digerakkan oleh kepentingan yang dekat saja dan kelazatan peribadi saja, tanpa ada tujuan yang lebih tinggi yang menjaganya, dan tanpa ada harapan dan dambaan untuk mencapai suatu perspektif yang tetap. Suatu bentuk dari masyarakat yang brengsek sepert ini terdapat dalam kehidupan kita sekarang ini, dan telah menyebabkan terjadinya perpecahan-perpecahan yang jelas dalam banyak masyarakat…..
Jadi harus ada nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat. Dan perlu diadakan pendidikan moral untuk mewujudkan nilai-nilai ini. Ini secara umumnya. Dan sekarang baru kita bicarakan pokok masalah khusus, iaitu: “pendidikan moral sebagai jalan untuk mewujudkan perpaduan masyarakat”.
Perpaduan masyarakat adalah suatu usaha yang positif dalam bidang masyarakat. Ia tidak akan dapat terwujud kalau tidak didahului oleh perasaan yang timbul di alam hati nurani, dan didahului pula oleh tingkah-laku yang terjadi di dalam kehidupan kelompok.
Pendidikan morallah yang membangunkan perasaan yang mendorong itu, dan mewujudkan tingkah laku yang terjadi, di mana undang-undang dan peraturan-peraturan saja tidak cukup untuk menimbulkan pengaruh seperti ini. Kerana itu pendidikan moral dianggap cara yang paling positif dan realistik untuk mewujudkan perpaduan sosial, dan bukan hanya harapan-harapan yang bersifat khayalan di alam mimpi.
Banyak perasaan, banyak adat kebiasaan, harus dibangunkan terlebih dahulu, harus diatur dan ditumbuhkan dalam kehidupan individu, dalam hati nurani individu dan dalam tingkah-laku individu, agar atas dasar itu dapat didirikan perpaduan sosial, malah agar perpaduan sosial itu bangkit daripadanya. Pendidikan moral bertanggungjawab untuk merealisasikan semua ini di alam nyata.
Saya kira kita tidak keluar dari pokok masalah yang dibicarakan, kalau kita jadikan Islam sebagai pembimbing kita dalam bidang ini, kerana Islam dalam masa kebangkitannya yang pertama telah berhasil mendirikan sebuah masyarakat yang dapat dianggap sebagai masyarakat teladan dalam sejarah masyarakat-masyarakat yang telah menjadikan perpaduan sebagai dasar kehidupan, sampai ke tingkat dimana golongan Ansar telah menjamin golongan Muhajirin, membahagi-bahagikan untuk mereka harta, rumah tempat tinggal dan hak-milik mereka. Kemudian berdirilah seluruh sistem masyarakat Islam, sebagaimana berdiri juga tradisinya yang bersifat kerakyatan atas dasar perpaduan sosial. Sistem zakat, sistem pewarisan, sistem waqaf untuk kepentingan sosial, sistem jihad, sistem kebebasan, sistem ekonomi tanpa riba, semuanya itu termasuk ke dalam sistem-sistem yang berdasarkan perpaduan sosial. Demikian pula tradisi kebaikan, kemurahan hati, memberikan sedekah, berbuat baik, pemeliharaan orang yang lemah, memberikan bantuan, kepemudaan, semuanya ini adalah tradisi yang berdasarkan pada landasan yang sama. Kita tidak keluar dari pokok masalah yang dibicarakan, kalau kita membahas bagaimana Islam berpegang kepada pendidikan moral pada waktu ia mendirikan suatu masyarakat yang berberpadu, kalau kita menjadikannya sebagai pemimpin kita dalam percubaan ini yang telah berhasil dengan demikian suksesnya. Hal itu akan berguna untuk kita dalam menentukan batas bidang-bidang pengetahuan ini dan juga untuk mengetahui cara dan memberikan penerangan kepada jalan yang dapat kita tempuh sekarang ini juga dalam mewujudkan kejayaan seperti ini.
Islam telah berpegang dalam mewujudkan masyarakat yang berberpadu itu kepada peraturan-peraturan kesisteman tertentu, tetapi ia tidak membiarkan peraturan-peraturan ini bekerja sendiri terlepas dari motif-motif perasaan di alam hati nurani. Ia telah menggerakkan hati nurani ini kadang-kadang dengan pengarahan, kadang-kadang pula dengan pimpinan. Fungsi pengarahan itu adalah membangunkan kepekaan di alam perasaan. Fungsi pimpinan adalah menanamkan kebiasaan di alam kenyataan. Dengan kedua faktor inilah diselesaikan pendidikan moral yang dimaksudkannya untuk individu dan masyarakat.
Islam telah memulai membangun masyarakat di dalam hati nurani dan perasaan orang-perseorangan. Di sana di kedalaman jiwa, ditanamnya benih kecintaan, dihembuskannya angin kasih sayang, kecintaan kemanusiaan yang murni dan kasih sayang kemanusiaan yang membebaskan. Manusia telah dikembalikannya untuk mengingat bagaimana mereka diciptakan untuk pertama kali dari satu jiwa, dan digugahnya dalam perasaan mereka rasa berbangsa dan berkarib kerabat, dan di ingatkannya kepada mereka bahawa mereka itu adalah bersaudara dalam Allah, dalam tempat lahir dan dalam tempat kembali, sehingga kalau hatinya telah dipenuhi oleh perasaan halus seperti ini, maka mereka akan lebih dekat kepada kerjasama, dan lebih dekat kepada rasa persaudaraan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa, dan dijadikannya daripadanya pasangannya, dan dari keduanya itu disebarluaskanlah laki-laki yang banyak dan wanita. Bertaqwalah kepada Allah, yang dengan namaNya kamu saling menuntut dan hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu.“
(An-Nisa’: 1)
“Contoh orang-orang yang beriman itu dalam cinta-mencintai kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi adalah seperti sebatang tubuh. Jika salah satu anggota menderita penyakit, seluruh tubuh ikut menderita dengan tidak bisa tidur dan menderita rasa panas”
(Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)
Di bawah naungan cinta dan kasih inilah ia menyeru manusia untuk saling mengasihi, untuk mengorbankan apa yang dirasakan bernilai bagi jiwa untuk menggembirakan orang lain. Untuk perpaduan itu harus ada sekelompok orang yang tidak mementingkan diri sendiri, mengorbankan apa yang mereka anggap berharga dan bernilai dari hak milik mereka. Di dalam masyarakat terdapat orang yang beruntung dan orang yang miskin. Jika orang yang beruntung tidak mahu berkorban dengan sebahagian dari apa yang mereka miliki, maka perpaduan tidak akan mungkin berdiri, dan kerjasama tidak akan mungkin timbul.
Al-Qur’an yang mulia telah melukiskan sebuah gambaran yang indah tentang rasa berkorban yang terdapat dalam diri penduduk Madinah, yang telah rela menyambut orang-orang Muhajirin, mereka bertempat tinggal, mereka bahagikan harta dan perumahan dengan perasaan dada yang lapang dan hati yang penuh toleransi:
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan mereka yang telah menempati rumah sebelumnya dan telah beriman, mereka cinta kepada orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak terdapat dari dada mereka itu keinginan kepada benda-benda yang telah mereka berikan, mereka lebih suka memberikan daripada memikirkan diri sendiri, walaupun mereka itu berada dalam keadaan miskin pula. Siapa yang memelihara diri dan kerakusan jiwanya, mereka inilah orang yang menang”
(Al-Hasyr: 9)
Gambaran ini adalah gambaran kemanusiaan tertinggi dalam bentuknya yang terindah dan tercantik. Ada pula suatu gambaran lain yang tidak kurang indah dan cantiknya, serta kasih sayang terhadap satu golongan orang yang beriman:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (7) وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8) إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10)
“Mereka melaksanakan nazar dan takut kepada hari di mana kejahatan berterbangan di mana-mana. Mereka memberikan makanan demi kecintaan kepada Tuhan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi kamu makan dan untuk mencari keredhaan Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih dari kamu. Kami hanya takut akan suatu hari dari Tuhan kami, hari yang amat kejam dan penuh kemarakan.”
(Al-Insan: 7-10)
Kemudian ia berkata kepada mereka:
“Semua harta dan usaha yang kamu berikan untuk mewujudkan perpaduan sosial adalah merupakan piutang terhadap Allah yang tidak akan sia-sia. Dan kalau hal itu tidak diberikan bererti kehancuran di dunia dan akhirat. Ia memberi makan kepada mereka untuk mendapatkan pahala Tuhan, dan diberinya peringatan akan seksa Tuhan. Kedua ini adalah cara mendidik hati nurani.”
مَن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Siapa yang memberikan piutang kepada Allah dengan piutang baik, maka Allah akan melipat-gandakannya baginya. Dan ia akan memperoleh pahala yang mulia.”
(Al-Hadid: 11)
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Nafkahkanlah hartamu di jalan Allah. Dan jangan kamu biarkan tanganmu terjerumus ke dalam kecelakaan.”
(Al-Baqarah: 195)
Al-Qur’an mendorong mereka kepada perpaduan sosial bukan saja dalam batas harta benda, tetapi juga dalam setiap persoalan kehidupan, dan ini dibebaskannya kepada hati nurani, dan ia memenuhi hati nurani itu dengan perasaan takut dan taqwa kepada Allah. Taqwa dalam jiwa adalah faktor pendidikan jiwa yang terkuat dan terdalam.
Tuhan berkata:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hendaklah ada di antara kamu ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh melakukan yang baik dan melarang melakukan yang tidak baik. Mereka ini adalah orang yang menang.”
(Ali-Imran: 104)
Rasulullah s.a.w berkata:
“Masing-masing kamu adalah penggembala, dan masing-masing kamu bertanggungjawab terhadap gembalaannya. Seorang pengusaha adalah penggembala, dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya. Laki-laki adalah penggembala dalam lingkungan keluarganya dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya. Wanita penggembala dalam rumah suaminya, dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya. Pelayan penggembala terhadap harta benda tuannya dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya. Anak penggembala terhadap harta bapaknya dan ia bertanggungjawab terhadap gembalaannya. Masing-masing kamu penggembala dan masing-masing kamu bertanggungjawab atas gembalaannya.”
(Hadith Riwayat Bukhari)
Islam tidak hanya berhenti dalam menggerkkan kepekaan perasaan, dalam usahanya mendidik moral, tetapi ia juga sengaja mengadakan kebiasaan dan tatacara kemasyarakatan, ia bekerjasama untuk memperkuat persaudaraan, untuk tolong-menolong dan saling membantu dalam lapangan kehidupan praktis.
Dari tata cara dan kebiasaan masyarakat ini, dengan mana Islam telah mendidik kaum Muslimin, maka ucapan akan menjadi lebih baik, perkataan akan menjadi lebih halus dan rasa kedamaian akan menjadi lebih merata:
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Katakan kepada hamba-hambaKu, hendaklah mereka berkata dengan cara yang baik”
(Al-Isra’: 53)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik. Maka orang yang di antara kamu dengan dia ada rasa permusuhan akan menjadi seakan-akan teman yang karib.”
(Fusshilat: 34)
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Kalau orang mengucapkan salam kepadamu, balaslah dengan ucapan salam yang lebih baik, atau yang sama dengan itu.”
(An-Nisa’: 86)
Di antaranya adalah menghormati orang lain, dan berbaik sangka kepada mereka, menjaga namanya kalau orang itu tidak ada, dan menjaga jangan sampai orang itu menjauh kepada kita, dan takut kepada Allah tentang mereka:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Janganlah suatu golongan menghina golongan lain, kerana mungkin golongan yang dihina itu lebih baik. Wanita jangan menghina wanita lain, kerana mungkin yang dihina itu lebih baik. Jangan merendahkan kepada yang lain, dan jangan memakai nama yang menyakitkan hati. Nama yang paling jelek adalah berbuat dosa setelah beriman. Siapa yang tidak bertaubat, mereka ini adalah orang yang aniaya.”
(Al-Hujurat: 11)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman : Jauhilak banyak berprasangka. Kerana sebahagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mengintai-ngintai orang lain, dan jangan memperkatakan keburukan orang lain. Adakah orang di antara kamu orang yang suka memakan daging saudaranya yang telah meninggal. Tentu kamu benci melakukannya. Tetapi takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih.”
(Al-Hujurat: 12)
Demikianlah cara Islam melakukan pendidikan perasaan manusia, dan mengadakan tatacara dan kebiasaan kemasyarakatan, yang mungkin dipakai manusia sebagai dasar untuk bertemu dan bekerjasama dengan mudah dan saling membantu secara sukarela. Sebabnya adalah kerana perpaduan ini timbul dari hati kecil mereka, terpancar dari perasaan mereka, tidak dipaksakan kepada mereka dengan hukum undang-undang.
Kita sekarang ini dapat mempergunakan pengalaman praktis ini, yang suatu masa dahulu kala telah dipraktikkan Islam, dan atas dasar itu ia mendirikan suatu masyarakat yang tolong-menolong dan berberpadu. Apakah garis-garis besar percubaan ini yang dapat kita ikuti untuk pendidikan moral masyarakat?
Garis besar setiap percubaan untuk pendidikan moral haruslah berupa ikatan hati nurani manusia dengan suatu ufuk yang lebih tinggi dari diri yang terbatas dan kepentingan yang dekat. Suatu ufuk yang pengorbanan untuknya dapat dilakukan dengan enak, kesukaran yang ditemui dalam naik kepadanya terasa gampang. Apakah ufuk tinggi yang menarik perhatian ini?
Ada orang memandang sebagai kemuliaan nasional. Ada pula yang menganggap bahawa ufuk yang tertinggi itu adalah persaudaraan ummat manusia. Kedua hal ini tentu saja merupakan ufuk yang mulia dan penuh cahaya, di mana perasaan individu mungkin naik dan hanya ufuk kepentingan sementara dan kesenangan seketika saja, lalu tanggungjawab perpaduan sosial dapat diterima dengan sukarela. Tetapi saya sendiri, saya lebih suka kalau hati nurani orang itu saya ikatkan dengan suatu ufuk yang jauh lebih tinggi dari semua ufuk yang telah disebutkan tadi: iaitu ufuk yang mencakup semua ufuk-ufuk itu. Saya lebih suka untuk mengikatnya dengan Allah, Pencipta tanah air dan Pencipta manusia. Saya lebih suka kalau semua pengorbanan yang diberikan itu, dilakukan untuk kepentingan mencari keredhaan Allah, walaupun tidak dirasakan oleh tanah air dan tidak dimuliakan oleh seorang manusia pun. Saya lebih cinta kalau kecintaan kepada Allah, itulah yang menyatukan hati, yang merapatkan tangan dan mengetatkan tali antara lengan. Di waktu itulah terwujud gambaran yang cemerlang yang telah dilukiskan Rasulullah saw ketika ia berkata:
“Di antara hamba-hamba Allah terdapat manusia yang bukan Nabi dan bukan pula syahid. Pada hari kiamat tempat mereka di sisi Allah lebih hebat dari tempat para Nabi dan para syuhada.”
Mereka bertanya:
Siapakah mereka ini ya Rasulullah?
Jawab Rasul:
“Mereka itu adalah orang-orang yang saling kasih mengasihi dengan jiwa Allah di kalangan mereka, sedangkan di antara mereka tidak terdapat tali kekerabatan, dan juga tidak terdapat hubungan kewangan dan material. Demi Allah! Muka mereka itu cahaya dan mereka itu di atas cahaya. Bila manusia merasa takut, mereka tidak takut. Bila manusia merasa sedih, mereka tidak sedih.”
(Al-Hadith)
Terikatnya hati nurani manusia dengan Allah adalah garis pertama dalam setiap pendidikan moral, yang berhasil dan mempunyai akar yang dalam. Hal ini memerlukan bahawa kita menjadikan aqidah keagamaan sebagai dasar bagi pendidikan peribadi atau kemasyarakatan untuk menciptakan perpaduan kemasyarakatan. Bukan hanya untuk mewujudkan kepentingan masyarakat saja, dan bukan hanya untuk kepentingan nasional saja, tetapi juga untukmewujudkan kepentingan manusia yang lebih jauh yang mempunyai ciri ingin mencapai keredhaan Allah saja, sedia mengorbankan segala-galanya demi untuk mencari wajah Tuhan yang mulia.
Kita akan mendapati bahawa semua agama yang terdapat di negara-negara Arab, bukan hanya agama Islam, akan menolong kita kalau kita telah memastikan untuk menjadikan aqidah keagamaan sebagai dasar bagi pendidikan moral, untuk mewujudkan suatu perpaduan-perpaduan yang berhasil di bahagian dunia ini.
Kalau kita telah menguasai garis besar pertama ini, pada waktu kita mengikatkan hati nurani seseorang dengan Tuhannya, mengingatkan tingkahlakunya dengan ketaqwaan dan harapan kepada Allah, di waktu itu akan mudahlah bagi kita untuk menanam pada hati nurani ini segala macam perasaan yang menjadi dasar perpaduan sosial, dan membimbing orang-orang kepada suatu tingkah laku sosial yang dapat membawa kepada tujuan itu. Kalau setelah itu datang hukum untuk mendirikan suatu dasar praktis bagi perpaduan sosial, maka ia akan mendapati jalan terbuka lebar ke dalam jiwa manusia, dan jalannya kepada kehidupan masyarakat nyata telah terbentang luas.
Adapun garis-garis sampingan dalam percubaan pendidikan moral ini banyak jumlahnya, tetapi semuanya itu harus kembali kepada garis besar utama tadi.
Garis-garis itu semuanya harus mengarah kepada menciptakan kebiasaan-kebiasaan kemasyarakatan tertentu, dengan jalan memberikan inspirasi, pimpinan dan perbuatan nyata sebagai contoh. Kebiasaan penting untuk mengukuhkan arah perasaan, dan dalam beberapa keadaan hal itu adalah satu-satunya jalan yang terjamin untuk mewujudkan tujuan pendidikan moral ini. Contohnya adalah latihan orang-perseorangan, baik di sekolah, di perkemahan, di perkumpulan atau di dalam bentuk organisasi lain, untuk berkerja bersama-sama, dengan segala hal yang dituntutnya, seperti keinginan untuk bekerjasama, ikut serta dalam perasaan, rasa toleransi, menjaga perasaan orang lain, kesediaan untuk menerima pendapat yang tidak setuju dengan pendapat kita, mengorbankan masalah-masalah peribadi demi untuk menjayakan usaha bersama, pembahagian tugas dan koordinasinya, peraturan cara melaksanakan tugas, semua sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan seperti ini tidak akan dapat dikuasai hanya dengan pengarahan teori saja, tetapi harus dilatih secara praktikal, sehingga perasaan-perasaan dalam batin itu dapat berubah menjadi tingkah laku nyata di alam kenyataan.
Demikian pula kebiasaan untuk memberikan perhatian kepada orang lain, keadaan mereka, kedukaan mereka dan masalah-masalah yang mereka hadapi. Saya menamakannya kebiasaan, walaupun pada dasarnya ini adalah perasaan. Yang saya maksud adalah pengorganisasian, pengarahan dan latihan perasaan ini, dan penyelesaiannya secara praktis yang mengambil bentuk adat kebiasaan yang tetap dalam kehidupan individu. Ia tidak hanya menjadi seorang yang menyeleweng sehingga hanya mempunyai rasa ingin tahu saja dan ingin menyelidiki bagaimana keadaan orang lain, yang dilakukannya untuk memenuhi rasa ingin tahunya yang bersifat naluri, dan tidak hanya menguap dalam bentuk reaksi-reaksi bersifat semangat saja, baik dalam bentuk yang baik mahupun dalam bentuk yang tidak baik, dan setelah itu persoalannya selesai sampai di sana saja. Perasaan itu dididik sehingga menjadi perhatian yang benar-benar serius terhadap rasa duka dan masalah-masalah orang lain, kemudian diarahkan kepada membantu dan menolong mereka, lalu diadakan perorganisasian, sehingga kerjasama ini dapat mengambil bentuk kolektif yang nantinya akan menimbulkan perpaduan, saling menjamin.
Dengan contoh-contoh perasaan memperhatikan orang lain dan ingin berkorban untuk kepentingan orang lain yang dibangkitkan oleh perasaan keagamaan dan pengarahan pendidikan, berubah menjadi gerakan yang dapat menyalurkan perasaan itu, atau dengan kata-kata lain mengubahnya menjadi usaha-usaha yang terorganisasi, yang dilakukan oleh individu sehingga menjadi hal yang tetap yang dapat disamakan dengan kebiasaan.
Di sini saya ingin memberikan peringatan sedikit. Saya ingin pada waktu kita mengubah perasaan wijdani yang baik ini dalam bidang perpaduan sosial agar ini menjadi adat kebiasaan yang tetap dan reaksi positif di bidang praktikal. Saya ingin agar kita dapat memelihara vitalitas perasaan-perasaan wijdani ini kita harus selalu menjadikannya bangun, kita jadikan ia selalu hadir untuk dapat memenuhi panggilan dalam praktikal. Saya memberikan peringatan ini dalam bentuk yang keras, sebagai akibat dari apa yang saya saksikan sendiri di negara-negara Barat, di mana perpaduan sosial itu telah menjadi suatu kebiasaan praktikal, tetapi untuk kerugian perasaan kemanusiaan yang halus. Umpamanya seorang yang memberikan sumbangan untuk suatu amal kemasyarakatan, ia melakukan hal itu sebagaimana ia melakukan perbuatan makan atau minum atau menjalani jalan yang ia tempuh setiap hari. Tetapi sedikit demi sedikit ia mulai tidak merasakan kepedihan yang dirasakan oleh orang-orang yang diberinya bantuan, dan ia tidak merasakan lagi tali hubungan kemanusiaan yang menghubungkan mereka. Semuanya telah menjadi kebiasaan saja, telah menjadi adat kemasyarakatan saja. Dalam keadaan seperti ini, kita memang telah memperoleh bantuan dalam praktikal, tetapi kita telah kehilangan rasa seperasaan sesama manusia, suatu perasaan yang amat indah, amat agung dan amat penuh perasaan kasih. Seperti telah saya kemukakan, saya tidak ingin perasaan kemanusiaan itu menguap dalam bentuk reaksi-reaksi bersifat semangat saja, lalu berakhir di sana saja. Tetapi saya juga ingin sekali agar manusia itu tetap menjadi manusia agar perasaannya itu meningkat dan menjadi semakin halus, setiap kali ia melakukan perbuatan amal kebaikan. Perbuatan amal kebaikan itu harus tetap menjadi unsur pendidikan bagi orang yang melakukannya, dan ia tidak akan kehilangan ciri ini, di samping kegunaan praktikal yang ditimbulkannya bagi orang yang melakukannya. Kalau tidak begitu, hal itu mungkin akan amat mengurangi kebaikan yang mungkin akan diwujudkannya.
Akhirnya, mudah-mudahan saja saya telah dapat menyingkapkan, secara ringkas, peranan pendidikan moral dalam mewujudkan perpaduan sosial, sesuai dengan waktu yang disediakan untuk saya.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Minggu, Januari 10, 2010

Pendidikan dalam Perspektif Ibn Khaldun

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu penopang sebuah negara. Kita ingat ketika negeri Jepang luluh lantak dibombardir bom atom pada tahun 1945, konon, salah satu hal yang dicari pertama kali adalah seorang guru. Artinya, betapa Jepang sangat membutuhkan tenaga pendidik untuk membangun kembali negaranya. Dengan masyarakat yang “melek” pengetahuan, berwawasan tinggi, dan tentunya terdidik untuk maju, para Founding Father Jepang yakin negaranya akan mampu untuk bangkit kembali. Kini kita menyaksikan bagaimana kemajuan yang dicapai negeri “matahari terbit” itu dalam bidang perekonomian, Industri terutama dalam bidang IPTEK. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan pencapaian kemajuan dalam segala bidang. Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan sistem pendidikan yang baik.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai perbuatan, (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pemilik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Abudin Nata: 2005). Selain itu, pendidikan dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang berorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian. Dari beberapa pengertian diatas terlihat bahwa dalam dunia pendidikan minimal didukung oleh beberapa hal berikut:

BAB II
PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pendidikan memiliki peranan penting dalam upaya pencapaian kemajuan bangsa. Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmu-Nya. Salah satu ulama besar, filosof, psikolog sekaligus intelektual muslim Ibnu Khaldun adalah salah satunya. Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba memberikan sekelumit tentang biografi Ibnu Khaldun yang berimplikasi pada pemikirannya dalam dunia pendidikan. Bagaimana pendidikan dalam pemikiran Ibnu Khaldun? Apa yang menjadi sumbangsih Ibnu Khaldun bagi dunia pendidikan? Apa saja yang mendukung corak pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun? Dan sebagainya.

1. Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar (Toto Suharto: 2006) atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Ia dilahirkan pada 7 Mei 1332 di Tunisia.
Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan dan pengalamannya. Hal inilah salah satu pendorong kemunculan karya fenomenalnya Muqaddama Al Alamat (pengantar fenomenologis) yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah (prolegomena) saja.
Pada tahun 1352 Ibnu Kahldun berkelana ke Barat dan menetap di Fez. kemudian beliau pergi ke timur menuju Iskandariah dan Kairo. Disana beliau bertemu dengan Mamluk Sultan Al Zhahir Barquq yang menunjuknya menjadi guru besar fiqh mazhab Maliki dan hakim agung Mesir. Menjelang akhir hayatnya pada 1401, Ibnu Khaldun bertemu dengan Timurlane di luar garis perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol tersebut menyambut ilmuwan ini dengan antusias dan mengemukakan minatnya untuk mengangkat Ibnu Khaldun sebagai pejabat pemerintahannya. Ibnu Khaldun sendiri kemudian lebih memilih untuk kembali ke Kairo dan melanjutkan pekerjaanya sebagai qadhi dan penulis hingga akhir hayatnya. Secara sederhana biografi Ibnu Khaldun ini dapat dibagi kepada tiga fase: Fase Pertama, masa pendidikan. Fase Kedua, masa politik praktis. Fase ketiga, masa kepengajaran dan kehakiman.
2. Pendidikan dalam Perspektif Ibnu Khaldun
Sebagai seorang pemikir, Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Menurut A. Luthfi As-Syaukaniy dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual. Istilah “pemikir” merupakan sesuatu yang ambigu dan dapat diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia dapat diterapkan kepada Philosoper, Thinker, Scholar, atau Intelektual yang merujuk kepada figur terpelajar (Lihat Toto Suharto: 2006). Jelasnya, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhami pengarangnya dari al-Quran sebagai sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Dengan demikian pemikiran Ibnu Khaldun dapat dibaca melalui setting sosial yang mengitarinya yang diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan sebagai sebuah kecenderungan.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu Rusyd (1126 – 1198) dalam masalah hubungan filsafat dan agama. Dalam bidang pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Hal ini dapat terlihat pada pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yaitu:
1. Memeberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
2. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat maju dan berbudaya.
3. Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.
Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.
Menurut Ibnu Khaldun pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan ini Ibnu Khaldun membaginya kepada tiga macam: 1). Ilmu Lisan; 2). Ilmu Naqli; 3). Ilmu Aqli.
Disamping beberapqa hal diatas, ibnu Khaldun juga menyoroti masalah kurikulum. Menurutnya ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu mata kuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah seperti: logika, fisika, metafisika, dan matematiuka. Ketiga, kurikulum primer yaityu mata kuliah yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al ulum al naqliyah seperti: ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat dan sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengarhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluq yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik.
Aspek-aspek yang dapat mendukung proses pendidikan mulai dari peserta didik, penidik, sarana dan prasarana harus benar-benar diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada jalannya proses pendidikan.
Dalam pada itu hendanya tidak mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam pembelajaran, mengetahui psikologi anak dana sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gama Media Pratama.
Fakhri, Majid. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan.

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Bea Vers, Tedd B. 2001. Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Kontribusi Filosof Muslim). Jakarta: Riora Cipta.


Kemunculan Ilmu Kalam



Pada zaman Abbasiyah, telah banyak berlaku pembahasan di dalam perkara-perkara akidah termasuk perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Nabi s.a.w. atau zaman para sahabatnya. Berlaku pembahasan tersebut dengan memberi penumpuan agar ia menjadi satu ilmu baru yang diberi nama Ilmu Kalam. Ilmu ini muncul dan berkembang atas sebab-sebab dalaman dan luaran.

Sebab-sebab dalaman
Berikut ini adalah sebab-sebab dalaman yang menjadi punca munculnya ilmu Kalam:
1. Al-Quran di dalam seruannya kepada tauhid membentangkan aliran-aliran penting dan agama-agama yang bertebaran pada zaman Nabi s.a.w., lalu al-Quran menolak perkataan-perkataan mereka. Secara tabi'I, para ulamak telah mengikut cara al-Quran di dalam menolak mereka yang bertentangan, di mana apabila penentang memperbaharui cara, maka kaum muslimin juga memperbaharui cara menolaknya.

2. Pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah, hampir-hampir keseluruhan umat Islam di dalam keimanan yang bersih dari sebarang pertikaian dan perdebatan. Dan apabila kaum muslimin selesai melakukan pembukaan negeri dan kedudukannya telahpun mantap, mereka beralih tumpuan kepada pembahasan sehingga menyebabkan berlaku perselisihan pendapat di kalangan mereka.

3. Perselisihan di dalam masalah politik menjadi sebab di dalam perselisihan mereka mengenai soal-soal keagamaan. Jadilah parti-parti politik tersebut sebagai satu aliran keagamaan yang mempunyai pandangannya sendiri. Parti (kelompok) Imam Ali r.a. membentuk golongan Syiah, dan manakala mereka yang tidak bersetuju dengan Tahkim dari kalangan Syiah telam membentuk kelompok Khawarij. Dan mereka yang membenci perselisihan yang berlaku di kalangan umat Islam telah membentuk golongan Murji'ah.

Sebab-sebab luaran
Berikut ini adalah sebab-sebab luaran yang menjadi punca muncul ilmu Kalam:
1. Ramai orang yang memeluk agama Islam selepas pembukaan beberapa negeri adalah terdiri dari penganut agama lain seperti yahudi, Nasrani, Ateis dan lain-lain. Kadangkala mereka menzahirkan pemikiran-pemikiran agama lama mereka bersalutkan pakaian agama mereka yang baru (Islam).

2. Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah, perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.

3. Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik), hingga memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu berkenaan.

Kemunculan aliran-aliran Islam
Masalah khilafah (pemerintahan) adalah masalah yang menyebabkan telah berlaku perselisihan yang kuat antara kaum muslimin. Kesan dari perselisihan ini ialah, terbentuknya beberapa kelompok besar di dalam Islam, iaitu:
1. Syiah: Mereka ialah orang-orang yang berpendapat bahawa yang lebih berhak terhadap pemerintahan selepas kewafatan Rasulullah s.a.w. ialah saiyidina Ali r.a.

2. Khawarij: Iaitu mereka yang tidak menyetujui majlis Tahkim. Mereka keluar dari kelompok saiyidina Ali.

3. Murji'ah: Iaitu mereka yang membenci perselisihan dan menjauhi dua kelompok di atas.

Setalah kaum muslimin selesai membuka negeri-negeri, lalu ramai dari kalangan penganut agama lain yang memeluk Islam. Mereka ini menzahirkan pemikiran-pemikiran baru yang diambil dari agama lama mereka tetapi diberi rupabentuk Islam.

Iraq, khususnya di Basrah merupakan tempat segala agama dan aliran. Maka terjadilah perselisihan apabila ada satu golongan yang menafikan kemahuan (iradah) manusia. Kelompok ini diketuai oleh Jahm bin Safwan. Dan antara pengikutnya ialah para pengikut aliran Jabbariyah yang diketuai oleh Ma'bad al-Juhni. Aliran ini lahir ditengah-tengah kecelaruan pemikiran dan asas yang dibentuk oleh setiap kelompok untuk diri mereka.

Kemudian bangkitlah sekelompok orang yang ikhlas memberi penjelasan mengenai akidah-akidah kaum muslimin berdasarkan jalan yang ditempoh oleh al-Quran. Antara yang masyhur di kalangan mereka ialah Hasan al-Basri.

Dan sebahagian dari kesan perselisihan antara Hasan al-Basri dengan muridnya Washil bin Atho' ialah lahirnya satu kelompok baru yang dikenali dengan Muaktazilah. Perselisihan tersebut ialah mengenai hukum orang beriman yang mengerjakan dosa besar, kemudian mati sebelum sempat bertaubat.

Pada akhir kurun ketiga dan awal kurun keempat, lahirlah imam Abu Mansur al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran al-Maturidiah.

Kemudian muncul pula Abul Hasan al-Asy'ari yang telah mengumumkan keluar dari kelompok Mu'tazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulamak dari kalangan fuqahak dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya'irah.

Dan dari dua kelompok ini, terbentuklah kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dan kesimpulannya, kita dapat melihat bahawa kemunculan kelompok-kelompok di dalam Islam adalah kembali kepada dua perkara:
1. Perselisihan mengenai pemerintahan
2. Perselisihan di dalam masalah usul atau asas agama.