Sabtu, Mei 08, 2010

Bimbingan Al Quran dalam Berpikir

Kemampuan berpikir adalah keistimewaan yang dimiliki manusia, yang menyebabkan posisi manusia lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan kemampuannya berpikir, manusia memperoleh pengetahuan, mengenali dunia sekitarnya, memikirkan sejarah masa lampaunya, dan memikirkan masa depannya. Dengan kemampuan berpikir pula, manusia mampu mencapai kesempurnaan dan memiliki tujuan dalam hidupnya. Tetapi sayangnya, berbagai macam ide dan doktrin yang berkembang di dunia telah mengepung pemikiran mereka dan membuat mereka kesulitan dalam menentukan jalan hidup yang harus mereka ambil.
Menurut sebagian ahli, dewasa ini berbagai sarana propaganda dan media massa telah menjadikan pemikiran manusia sebagai sasarannya. Kini banyak sekali sarana yang bisa digunakan manusia mendapatkan informasi dan pengetahuan. Namun pada saat yang sama, kondisi ini membuka pula peluang bagi manusia untuk mengambil informasi yang salah sehingga pemikirannya menjadi tersesatkan. Sikap takabur dan tenggelam dalam kehidupan duniawiah merupakan penyebab dari kesalahan pemikiran ini. Manusa yang sombong menganggap dirinya besar akan mengira bahwa pemikirannya sendiri yang paling benar. Perasaan yang menipu ini akan menghalangi manusia untuk memandang fenomena sekitarnya secara jernih dan berpikir secara benar.

Al Quranul Karim yang merupakan kitab bimbingan dan petunjuk bagi manusia, memerintahkan manusia untuk selalu membuka mata dan telinga, serta memikirkan segala sesuatu dengan pikiran yang terbuka. Al Quran menyatakan bahwa takabur adalah sikap setan yang merupakan penyebab pertama terjadinya kesesatan. Karena sikap sombong dan takabur, setan telah membangkang perintah Allah sehingga dia keluar dari jalan yang benar. Kini pun kita melihat bahwa kekuatan-kekuatan adidaya dunia juga sedang mengikuti jalan yang diambil setan itu. Mereka menganggap diri mereka paling benar dan paling kuat di dunia, dan karena itu mereka melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan di muka bumi.
Dalam rangka melindungi keselamatan manusia, Al Quran memerintahkan manusia untuk berjalan ke arah cahaya kebenaran. Al Quran juga menyatakan bahwa ayat-ayat wahyu Ilahi adalah sumber cahaya dan pengetahuan bagi manusia. Dalam Al Quran surah Az-Zukhruf ayat 43, Allah berfirman, yang artinya sbb. “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di jalan yang lurus.”
Al Quran adalah sebuah kitab yang tidak terdapat kesalahan di dalamnya, karena kitab ini merupakan kata-kata Tuhan Yang Maha Bijaksana. Al Quran diturunkan untuk memberikan petunjuk dan pencerahan kepada manusia, serta menjauhkan manusia dari penyimpangan. Di dalam Al Quran tidak terdapat sedikitpun pendistorsian, penipuan, kekurangan, atau penambahan. Oleh sebab itu, manusia yang mau mendalami makna Al Quran akan mendapatkan manfaat yang sangat banyak. Kandungan Al Quran bagaikan lautan yang tidak bertepi, sehingga maknanya tidak akan pernah habis digali dan dipelajari. Setiap kali manusia menggali makna Al Quran, dia akan menemukan makna-makna baru yang akan semakin memperkaya jiwa dan pemikirannya.
Ayat-ayat Al Quran akan menghiasi manusia dengan pemikiran bersih dan jernih, serta menjauhkan manusia dari penyimpangan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt, Al Quran memberikan manusia kemampuan untuk memisahkan antara kebenaran dan kesesatan. Besarnya peran Al Quran dalam membimbing manusia, tampak dalam wasiat terakhir Rasulullah saaw kepada umatnya, yaitu, “Berpegang teguhlah kepada Al Quran dan Ahlil Baitku, dan kalian tidak akan tersesat untuk selamanya.”

Salah satu bimbingan Al Quran kepada manusia dalam berpikir adalah menjauhi persangkaan. Bersandar pada sesuatu yang meragukan hanya akan membawa manusia kepada kesesatan. Manusia harus mencari pengetahuan secara benar, dan setelah meyakini kebenarannya, barulah mengikuti pengetahuan itu. Mengikuti sesuatu yang tidak jelas dan tidak bisa diyakini kebenarannya hanya akan membawa manusia ke arah kesesatan. Dalam surah Yunus ayat 36 disebutkan, “Dan kebanyakan dari mereka tidak mengikuti sesuatu, kecuali karena persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Kita mengetahui bahwa manusia pada umumnya hanya mengikuti perasaan dan pandangan lahiriah semata. Perilaku seperti ini akan menyeret manusia ke arah penyimpangan. Sebagai contoh, kaum jahiliah menyembah berhala karena dulu nenek moyang mereka mengajarkan demikian. Mereka merasa bersalah dan berdosa meninggalkan pekerjaan itu. Padahal, bila mereka menggunakan akal pikirannya, mereka akan memahami bahwa berhala adalah benda yang tidak mampu melakukan apapun dan tidak mampu memberikan perlindungan kepada mereka. Menanggapi perilaku mereka itu, Allah swt berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 170, yang artinya sebagai berikut. “Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?”

Bimbingan Al Quran lainnya dalam masalah berpikir adalah bersikap takwa dan tawadu’ karena kedua sikap ini akan menyebabkan manusia berpikiran jernih dan benar. Takwa artinya memelihara diri dari hal-hal yang akan menyebabkan manusia terlibat dalam dosa. Ketakwaan harus dimiliki oleh setiap manusia yang ingin menjalani kehidupan yang benar dan mulia di hadapan Allah. Allah swt berfirman dalam surah Al Anfaal ayat 29 sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu “furqan” dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” Arti “furqan” di sini adalah kemampuan untuk memisahkan antara jalan yang benar dan jalan yang salah.
Sementara itu, sikap tawadhu’ akan membuat manusia selalu siap mendengarkan nasehat dan petuah dari orang lain, agar hidupnya terjaga dari kesesatan. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, sikap sombong akan membuat manusia merasa dirinya paling benar dan tidak mau menerima bimbingan dari orang lain. Dengan demikian, sikap takwa dan tawadhu’ adalah dua kunci utama yang akan membawa manusia untuk berpikir secara benar.
Selanjutnya, bimbingan yang diberikan Al Quran kepada manusia agar mampu berpikir secara benar adalah menjauhi tipu daya dunia. Daya tarik materi akan membuat manusia tertarik dan terikat kepada dunia. Akibatnya, manusia akan terjebak dalam pemikiran materialisme dan hedonisme, dan membuat manusia terus-menerus mengejar kenikmatan duniawiah. Manusia seperti ini akan merasa bahwa kehidupannya di dunia adalah abadi dan sedikit demi sedikit ia akan terjauhkan dari hakikat kehidupan. Dalam rangka menjauhkan manusia dari sisi lahiriyah kehidupan, Al Quran selalu mengajak manusia memikirkan hakikat di balik hal-hal lahiriah itu.
Misalnya, dalam surah Qaaf ayat 6 hingga 8, disebutkan, “Maka apakah mereka tidak melihat kepada langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” Di sini, Al Quran mengajak manusia untuk memikirkan kebesaran Tuhan dan bersujud kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Manusia yang selalu ingat akan kebesaran Tuhan akan terjaga dari kesesatan pemikiran.

Akhlak dan Politik

Akhlak dan politik adalah dua masalah penting dalam kehidupan manusia dan manusia sering mempersoalkan dua perkara ini. Di antara pertanyaan sering yang diajukan manusia, adalah apakah akhlak dan politik mempunyai kaitan atau apakah keduanya merupakan dua hal yang terpisah? Apakah politik menjadi lebih baik ketika ia dibentuk di atas fondasi nilai-nilai akhlak? Apakah politik harus diutamakan di atas akhlak ataukah akhlak yang harus diuatamakan di atas politik? Semua pertanyaan ini akan terjawab ketika kita membahas secara keseluruhan tentang akhlak dan politik.
Akhlak adalah sekelompok sifat dan keistimewaan jiwa manusia yang merupakan sumber perilaku dan perbuatannya. Sementara itu, deskripsi dari politik di antaranya adalah ilmu mengurusi dan mengatur sebuah negara. Sebagian pemikir Barat menyebutkan tujuan politik adalah untuk memperoleh kekuasaan dengan segala cara yang mungkin ditempuh dan untuk mempertahankan kekuasaan itu. Di antara pendukung kuat pandangan ini ialah Nicolo Machiavelli, ahli sejarah dan politik Itali abad ke 15. Dalam salah satu bukunya, Machiavelli menasehati para pemegang kekuasaan, bahwa dalam politik, nilai-nilai akhlak harus diabaikan dan mereka harus menggunakan segala macam cara untuk mengurus negara dan memelihara kekuasaan.

Dewasa ini, para pemikir Barat telah berhasil mengasingkan agama dan akhlak dalam kehidupan masyarakat Barat. Mereka pun juga menganggap bahwa politik dan akhlak adalah dua hal yang terpisah. Dalam pandangan seperti ini, para politikus dianggap berhak menggunakan segala macam sarana demi memelihara kekuasaan mereka, seperti berbohong, menipu, atau malah membunuh dan merampok. Mereka bahkan menggunakan akhlak sebagai alat untuk menipu opini umum demi menjustifikasi perbuatan mereka. Di sepanjang sejarah, khususnya pada beberapa abad yang lalu, pemerintah Eropa dan Amerika telah melaksanakan aksi-aksi tidak berakhlak, seperti menduduki negara-negara lain, melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat negara-negara tersebut, dan merampok kekayaan mereka. Imperialisme Barat ini telah terjadi di berbagai pelosok dunia tanpa mempedulikan nilai maknawi dan hak asasi manusia.
Di pihak lain, terdapat kelompok pemikir lainnya yang percaya bahwa politik haruslah berpegang kepada akhlak dan berdiri di atas fondasi nilai-nilai akhlak. Dalam pandangan kelompok ini, politik bukanlah sarana untuk memperoleh kekuasaan atas rakyat, namun merupakan sarana untuk memperluas nilai-nilai maknawi dalam masyarakat. Oleh karena itu, menurut kelompok ini, legalitas sebuah pemerintahan tergantung pada kemampuannya untuk memberikan perhatian kepada masalah akhlak dalam membentuk masyarakat yang sehat dari sisi kejiwaan.
Agama-agama Ilahi, terutama Islam, merupakan sumber dari pemikiran politik yang berakhlak ini. Islam senantiasa menuntut pemeliharaan nilai-nilai spiritual dan akhlak dalam pemerintahan dan politik. Dalam pandangan Islam, pengamalan nilai-nilai akhlak akan menghalangi kecenderungan pemimpin untuk berlaku batil dan zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sudah tercatat dalam sejarah, pengurusan negara yang tidak mempedulikan nilai-nilai tinggi akhlak hanya akan memberi keuntungan kepada pemilik kekuasaan dan kekayaan, sementara rakyatnya akan sengsara dan menderita. Oleh karena itulah Islam menekankan pentingnya akhlak dalam politik.
Dalam pandangan Islam, politik adalah sarana untuk berkhidmat kepada rakyat dengan cara menegakkan keadilan, menghancurkan kezaliman dan kefasadan, serta mengenalkan rakyat kepada keutamaan dan kesempurnaan insani. Dalam sistem pemerintahan seperti ini, sudah tentu pelaku politiknya harus terdiri dari orang-orang yang bertaqwa dan mengetahui tanggung jawabnya di hadapan Tuhan dan rakyat. Menurut pandangan Islam, tujuan politik bukan saja harus suci dan benar, namun sarana untuk mendapatkan kekuasaan politik itu juga harus benar dan legal. Karena itulah Islam menetapkan nilai-nilai ketakwaan, keadilan, sikap saling membantu sesama, menjauhkan diri dari penipuan dan metode yang tidak bermoral dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
Sejarah para nabi, khususnya sejarah Islam, memperlihatkan contoh nyata dari pengunaan politik yang berakhlak dan dampak positifnya terhadap individu dan masyarakat. Para nabi Ilahi berpegang teguh kepada dasar akhlak, baik ketika mengajarkan spiritualitas ataupun ketika berperang melawan kezaliman serta ketika menjalankan pemerintahan. Nabi Muhammad saaw merupakan contoh ideal seorang penguasa yang berakhlak. Berkali-kali Nabi Muhammad ditawari kedudukan dan kekayaan dengan syarat beliau menarik diri dari mendakwahkan Islam. Tetapi, Rasulullah tidak pernah menerima tawaran itu karena tujuannya dalam berdakwah adalah untuk mengajak manusia kepada kemuliaan, bukan untuk mencari kekuasaan.
Di antara keistimewaan akhlak Rasulullah saaw ialah berpegang kepada janji. Di saat beliau melakukan perjanjian damai dengan kaum non-muslim, beliau akan berpegang teguh kepada janji itu, selagi kaum non muslim itu juga tidak tidak melanggar perjanjian tersebut. Ajaran lain dari Rasulullah adalah perilaku yang baik terhadap para tawanan perang. Malah beliau memberikan kelonggaran kepada para tawanan itu, yaitu siapa saja yang bisa mengajar membaca dan menulis kepada 10 muslim, akan dibebaskan. Akhlak yang diajarkan oleh Rasul ini amat bertentangan dengan sikap para penguasa Barat yang malah menyiksa dengan kejam para tawanan perangnya.
Imam Ali as juga merupakan contoh terbaik dari seorang muslim yang berpegang teguh kepada nilai-nilai akhlak dan maknawi. Di sepanjang periode pemerintahannya, Imam Ali a.s. berkali-kali disarankan untuk tidak melaksanakan keadilan sementara waktu, demi mencegah perlawanan dari sebagian orang yang berkuasa. Tetapi Imam Ali menekankan bahwa dia menerima jabatan sebagai pemimpin Islam karena ingin melaksanakan keadilan dan menegakkan hak orang-orang teraniaya, jika tidak, jabatan sebagai pemimpin tidak ada arti baginya.
Pada zaman pemerintahan Imam Ali, terdapat tokoh-tokoh politikus yang licik dan penipu, di antaranya Muawiyah. Selepas kesyahidan Imam Ali a.s., Muawiyah di hadapan pengikutnya berkata, “Aku bersumpah demi Tuhan bahwa aku tidak berperang dengan kalian supaya kalian melakukan solat, berpuasa, menunaikan ibadah haji, atau mengeluarkan zakat. Tetapi sebaliknya, aku berperang dengan kalian demi untuk mendapatkan kekuasaan dan menjadi penguasa kalian.” Politik yang berakhlak mulia yang dilaksanakan oleh Imam Ali a.s. telah terekam dalam sejarah sebagai contoh terbaik sebuah pemerintahan Islam. Sebaliknya, Muawiyah dicacat sejarah sebagai penguasa pemerintahan umat Islam yang kejam, despotik, dan menyengsarakan rakyat karena telah menginjak-injak nilai-nilai akhlak.
Dewasa ini, kita menyaksikan dunia dipenuhi dengan kesengsaraan akibat para penguasa tidak menghiraukan nilai-nilai akhlak dalam menjalankan kekuasaan mereka. Sikap haus kekuasaan dan kekayaan telah menimbulkan perang dan penindasan di berbagai pelosok bumi. Para pemilik kekuasaan dan kekayaan kini bahkan telah menggunakan cara-cara canggih demi melanggengkan kekuasaan mereka, di antaranya dengan menggunakan media massa. Melalui media massa, mereka menutup-nutupi aksi kriminalitas mereka dan bahkan memperlihatkan citra yang baik bagi segala tindakan amoral mereka.
Contoh jelas dari masalah ini adalah invasi AS dan Inggris ke Irak yang mereka sebut-sebut sebagai usaha untuk memerangi terorisme yang mengancam dunia, memusnahkan senjata pembunuh massal Irak, dan menegakkan demokrasi. Padahal sesungguhnya, tujuan mereka adalah untuk merampok kekayaan bangsa Irak dan memperluas wilayah kekuasaan mereka. Dalam pelaksaan ambisi tidak bermoral ini, para politikus AS dan Inggris juga bekerja sama dengan para investor, misalnya produsen senjata dan perusahaan-perusahaan perminyakan yang kini berebut proyek eksplorasi minyak di Irak.
Tidak ada jalan lain untuk menghentikan semua kesewenang-wenangan politik ini selain mengembalikan politik ke jalannya yang benar, yaitu berkhidmat kepada rakyat dan menyebarluaskan nilai-nilai akhlak dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan gerakan dari dalam masyarakat sendiri, misalnya tidak memilih atau mengangkat para politikus yang tidak bermoral sebagai pengambil keputusan dalam pemerintahan.



BUKTI-BUKTI PENGUAT IKHLAS

Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas, Dr. Yusuf al-Qaradhawi


Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yg banyak sekali, cthnya dlm kehidupan orang yg mukhlis; dlm tindak-tanduknya, dlm pandangan terhadap dirinya dan juga orang lain. Di antaranya adalah:

Pertama: Takut Kemasyhuran

Takut kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yg mempunyai pangkat tertentu. Dia perlu yakin bhw penerimaan amal di sisi Allah hanya dgn cara sembunyi-sembunyi, tdk secara terang-terangan dan didedahkan. Sbb andaikata kemasyhuran seseorang memenuhi seluruh angkasa, lalu ada niat tdk baik yg masuk ke dlm dirinya, maka sedikit pun manusia tdk memerlukan kemasyhuran itu di sisi Allah.


Maka dr itu zuhud dlm masalah kedudukan, kemasyhuran, penampilan dan hal-hal yg serba gemerlap lbh besar drp zuhud dlm masalah harta, syahwat perut dan kemaluan. Al-Imam Ibn Syihab az-Zuhri berkata: “Kami tdk melihat zuhud dlm hal tertentu yg lbh sedikit drp zuhud dlm kedudukan. Engkau melihat seseorang berzuhud dlm masalah makanan, minuman dan harta. Namun jika kami membahagi-bahagikan kedudukan, tentu mereka akan berebut dan meminta lbh banyak lagi.”

Inilah yg membuat para ulama salaf dan orang-orang shaleh antara mereka mengkhuatirkan dan menyangsikan hatinya dr ujian kemasyhuran, penipuan dan kedudukan. Oleh krn itu mereka memperingatkan hal ini kpd murid-muridnya. Para pengarang buku tlh meriwayatkan dlm pelbagai gambaran ttg tingkah laku ini, spt Abu Qasim a-Qusyairi dlm ar-Risalah, Abu Thalib al-Makky dlm Qutul-Qulub, dan al-Ghazali di dlm al-Ihya’.

Begitu pula yg dikatakan seorang zuhud yg terkenal, Ibrahim bin Adham, “Allah tdk membenarkan orang yg suka kemasyhuran.”

Beliau juga berkata, “Tdk sehari pun aku berasa gembira di dunia kecuali hanya sekali. Pd suatu mlm aku berada di dlm masjid salah satu desa di Syam, dan ketika itu aku sdg sakit perut. Lalu muazzin dtg dan menyeret kakiku hingga keluar dr masjid.”

Beliau berasa senang krn muazzin tersebut tdk mengenalinya. Maka dr itu beliau diperlakukan secara kasar, kakinya diseret spt seorang pesakit. Beliau meninggalkan kedudukan dan kekayaannya krn Allah. Sebenarnya ketika itu beliau tdk ingin keluar jika tdk sakit.

Seorang zuhud yg terkenal, Bisyr al-Hafy berkata, “Saya tdk mengenal orang yg suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina.”

Beliau juga berkata, “Tdk akan merasakan manisnya kehidupan akhirat orang yg suka terkenal di tgh manusia.”

Seseorang prnh menyertai perjalanan Ibn Muhairiz. Ketika hendak berpisah, orang itu berkata, “Berilah aku nasihat.”

Ibn Muhairiz berkata, “Jika boleh hendaklah engkau mengenal tetapi tdk dikenal, berjalanlah sendiri dan jgn mahu diikuti, bertanyalah dan jgn ditanya. Lakukanlah hal ini.”

Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Seseorang tdk berniat secara benar krn Allah kecuali jika dia suka tdk merasakan kedudukannya.”

Khalid bin Mi’dan adalah seorang ahli ibadah yg dipercayai. Jika semakin ramai orang-orang yg berkumpul di sekelilingnya, maka beliau pun beranjak pergi krg takut dirinya menjadi terkenal.

Salim bin Handzalah menceritakan, “Ketika kami berjalan secara beramai-ramai di blkg Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Umar melihatnya lalu melemparkan susu ke arahnya.”

Ubay bin Ka’ab lalu bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, apakah yg tlh engkau lakukan?”

Jawab Umar, “Sesungguhnya kejadian ini merupakan kehinaan bg yg mengikuti dan ujian bg yg diikuti.”

Ini merupakan perhatian Umar bin al-Khattab secara psikologi terhadap fenomena yg pd permulaannya boleh menimbulkan kesan dan pengaruh yg jauh terhadap kejiwaan orang-orang yg mengikuti dan sekaligus orang yg diikuti.

Diriwayatkan dr al-Hasan, beliau berkata, “Pd suatu hari Ibn Mas’ud keluar dr rumahnya, lalu diikuti beberapa orang. Maka beliau berpaling ke arah mereka dan berkata: “Ada apa kamu mengikutiku? Demi Allah, andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.”

Pd suatu hari al-Hasan keluar rumah lalu diikuti beberapa orang. Beliau bertanya, “Apakah kamu ada keperluan kpdku? Jika tdk, mengapa kejadian spt ini masih tersemat dlm hati orang Mu’min?”

Ayyub as-Sakhtiyani melakukan suatu perjalanan, lalu ada beberapa orang yg mengalu-alukan kedatangannya. Beliau berkata, “Andaikata tdk krn aku tahu bhw Allah mengetahi isi hatiku ttg ketidaksukaan aku terhadap hal ini, tentu aku takut kebencian dr Allah.”

Ibn Mas’ud berkata, “Jadilah kamu sbg sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang rumah, obor pd waktu mlm dan pembaharu hati yg diketahui penduduk langit, namun tdk dikenal penduduk bumi.”

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Jika engkau sanggup utk tdk dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tdk dikenal? Apa sukarnya engkau tdk disanjung-sanjung? Tdk mengapalah engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”

Athar-athar ini tdk mengajak kpd pengasingan atau uzlah. Orang-orang yg menjadi sumber riwayat ini adalah para imam dan da’ie. Mereka memiliki pengaruh yg amat baik dlm menyeru masyarakat, mengarahkan dan memperbaiki keadaan manusia. Tetapi yg dpt difahami dr sejumlah penyataan mereka adalah kebangkitan dr naluri jiwa yg tersembunyi, kewaspadaan terhadap tipudaya yg disusupkan syaitan ke dlm hati manusia, jika hati mereka dicampuri hal-hal yg serba gemerlap dan dikelilingi orang-orang yg mengikutinya.

Kemasyhuran itu sendiri bknlah suatu yg tercela. Tiada yg lbh masyhur drp para Anbia’, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan imam-imam mujtahidin. Tetapi yg tercela adalah mencari kemasyhuran, takhta dan kedudukan, serta sgt bercita-cita mendapatkannya. Kemasyhuran tanpa cita-cita ini tdklah menjadi masalah, sekali pun ia ttp menjadi ujian bg orang-orang yg lemah, spt yg dikatakan oleh Imam al-Ghazali.

Sejajar dgn pengertian ini yg tlh disebutkan dlm hadith Abu Dzar drp Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bhw Baginda prnh ditanya ttg seorang lelaki yg melakukan suatu amal kebajikan krn Allah, lalu orang ramai menyanjungnya.

Maka Baginda menjawab, “Itu kurnia yg didahulukan, sekaligus khabar gembira bg orang Mu’min.” (HR Imam Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)

Ada pula lafaz lain, “Seseorang melakukan amal krn Allah lalu orang-orang pun menyukainya..”

Pengertian spt inilah yg ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir at-Thabary dan alin-lainnya.

Begitu pula hadith yg ditakhrij Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah, dr hadith Abu Hurairah, bhw ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang melakukan suatu amal dan dia pun senang melakukannya. Setiap kali dia melakukannya kembali, maka dia pun berasa takjub kpdnya.”

Baginda bersabda, “Dia mempunyai dua pahala, pahala krn merahsiakan dan pahala memperlihatkan.”

Kedua: Menuduh Diri Sendiri

Orang yg mukhlis sentiasa menuduh diri sendiri sbg orang yg berlebih-lebihan di sisi Allah dan krg dlm melaksanakan pelbagai kewajipan, tdk mampu menguasai hatinya krn terpedaya oleh suatu amal dan takjub pd dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tdk diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tdk diterima.

Krn sikap spt ini, ada sebahagian di antara para salaf yg menangis tersedu-sedu ketika jatuh sakit. Beberapa orang yg menziarahinya bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, padahal engkau suka berpuasa, mendirikan solat malam, berjihad, mengeluarkan sedekah, haji umrah, mengajarkan ilmu dan banyak berzikir?”

Beliau menjawab, “Apa yg membuatkanku tahu bhw hanya sedikit dr amal-amalku yg masuk dlm timbanganku dan juga diterima di sisi Rabb-ku? Sementara Allah tlh berfirman, Allah hanya menerima (amal) dr orang-orang yg bertaqwa,”

Satu-satunya sumber taqwa adalah hati. Maka dr itu al-Quran menambahinya dgn firman Allah yg bermaksud: “Maka sesungguhnya itu timbul dr ketaqwaan hati..” (al-Hajj: 32)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Taqwa itu ada di sini,” Baginda mengulanginya tiga kali dan menunjuk ke arah dadanya. (HR Imam Muslim)

Sayyidah Aishah prnh bertanya kpd Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ttg orang-orang yg dinyatakan dlm firman Allah bermaksud: “Dan orang-orang yg memberikan apa yg tlh mereka berikan dgn hati yg takut, (krn mereka tahu bhw) sesungguhnya mereka akan kembali kpd Rabb mereka.” (al-Mu’minun: 60)

“Apakah mereka orang-orang yg mencuri, berzina, meminum khamar dan mereka takut kpd Allah?”

Baginda menjawab, “Bkn wahai puteri as-Shiddiq. Tetapi mereka adalah orang-orang yg mendirikan solat, berpuasa, mengeluarkan sedekah, dan mereka takut amalnya tdk diterima. Mereka itu bersegera utk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yg segera memperolehinya.” (HR Imam Ahmad dan lain-lainnya)

Orang yg mukhlis sentiasa takut terhadap riya’ yg menyusup ke dlm dirinya, sdg dia tdk menyedarinya. Inilah yg disebut syahwah khafiyyah yg menyusup ke dlm diri orang yg meniti jalan kpd Allah tanpa disedarinya.

Dlm hal ini Ibn ‘Atha’illah memperingatkan, “Kepentingan peribadi dlm kederhakaan amat jelas dan terang. Sdgkan kepentingan peribadi di dlm ketaatan tersamar dan tersembunyi. Padahal menyembuhkan apa yg tdk nampak itu amat sukar. Boleh jadi ada riya’ yg masuk ke dlm dirimu dan orang lain juga tdk melihatnya. Tetapi kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu merupakan budi ketidakjujuranmu dlm beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tdk perlu bagimu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.”

Ketiga: Beramal Secara Diam-Diam, Jauh Dr Liputan

Amal yg dilakukan secara diam-diam harus lbh disukai drp amal yg disertai liputan dan didedahkan. Dia lbh suka memilih menjadi perajurit bayangan yg rela berkorban, namun tdk diketahui dan tdk dikenali. Dia lbh suka memilih menjadi bahagian dr suatu jamaah, ibarat akar pohon yg menjadi penyokong dan saluran kehidupannya, tetapi tdk terlihat oleh mata, tersembunyi di dlm tanah; atau spt asas bangunan. Tanpa asas, dinding tdk akan berdiri, atap tdk akan dpt dijadikan berteduh dan bangunan tdk dpt ditegakkan. Tetapi ia tdk terlihat, spt dinding yg terlihat jelas. Syauqy berkata di dlm syairnya:

Landasan yg tersembunyi
Tdk terlihat mata krn merendah
Bangunan yg menjulang tinggi
Di atasnya dibangun megah

Di bahagian sblm ini tlh dikemukakan hadith Mu’adz, “Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yg berbuat kebaikan, bertaqwa dan menyembunyikan amalnya, iaitu jika tdk hadir mereka tdk diketahui. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dr setiap tempat yg gelap.”

Keempat: Tdk Memerlukan Pujian Dan Tdk Tenggelam Oleh Pujian

Tdk meminta pujian orang-orang yg suka memuji dan tdk bercita-cita mendapatkannya. Jika ada seseorang memujinya, maka dia tdk terkecoh ttg hakikat dirinya di hdpn orang yg memujinya, krn mmg dia lbh mengetahui ttg rahsia hati dan dirinya drp orang lain yg boleh tertipu penampilan dan tdk mengetahui batinnya.

Ibn ‘Atha’illah berkata, “Orang-orang memujimu dr persangkaan mereka ttg dirimu. Maka adalah engkau orang yg mencela dirimu sendiri krn apa yg engkau ketahui pd dirimu. Orang yg paling bodoh adalah yg meninggalkan keyakinannya ttg dirinya krn ada persangkaan orang-orang ttg dirinya.”

Diriwayatkan dr Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh, bhw jika dipuji orang lain maka beliau berkata, “Ya Allah, jgnlah Engkau hukum aku krn apa yg mereka katakan. Berikanlah kebaikan kpdku dr apa yg tdk mereka ketahui.”

Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anh berkata kpd orang-orang yg mengekori dan mengerumuninya, “Andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.” Padahal beliau adalah sahabat yg menonjol, pemuka petunjuk dan pelita Islam.

Sekumpulan orang memuji seorang Rabbani. Lalu dia mengadu kpd Allah sambil berkata, “Ya Allah, mereka tdk mengenalku dan hanya Engkaulah yg mengetahui siapa diriku.”

Salah seorang yg shaleh bermunajat kpd Allah, krn sebahagian orang ada yg memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan dan kemuliaan akhlaknya:

Mereka berbaik sangka kpdku
Padahal hakikatnya tdklah begitu
Tetapi aku adalah orang yg zalim
Sbgmana yg Engkau sedia maklum
Kau sembunyikan semua aib yg ada
Dr pandangan mata mereka
Kau kenakan pakaian menawan
Sbg tabir tutupan
Jadilah mereka meyintai
Padahal aku tdk layak dicintai
Tapi hanyalah diserupai
Jgnlah Engkau hinakan aku
Pd Hari Qiamat di tgh mereka
Jadikanlah aku yg mulia
Termasuk yg hina dina

Penyair yg shaleh ini mengisyaratkan makna yg lembut dan sgt penting, iaitu keindahan tabir yg diberikan Allah kpd hamba-hambaNya. Brp banyak cela yg tersembunyi, dan Allah menutupinya dr pandangan orang ramai. Andaikata Allah membuka tabir itu dr pandangan mereka, tentu kelemahannya akan terserlah dan kedudukannya akan jatuh. Tetapi kurnia Allah enggan utk menyingkap tabir kelemahan hamba-hambaNya, sbg kurnia dan kemuliaan bgnya.

Seerti dgn ini tlh dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah, “Sesiapa yg memuliakanmu, sbnrnya dia tlh memuliakan keindahan tabir pd dirimu. Keutamaan ada pd diri orang yg memuliakanmu dan menutupi aibmu, bkn pd diri orang yg menyanjungmu dan berterima kasih kpdmu.”

Abu al-Atahiyah berkata dlm syairnya:

Allah tlh berbuat baik kpd kita
Krn kesalahan tdk menyebar ke mana-mana
Apa yg tersembunyi pd diri kita
Tentu tersingkap di sisiNya

Kelima: Tdk Kedekut Pujian Terhadap Orang Yg Mmg Layak Dipuji

Tdk kedekut memberikan pujian kpd orang lain yg mmg layak dipuji dan menyanjung orang yg mmg layak disanjung. Di sana ada dua bencana yg bakal muncul: Pertama, memberikan pujian dan sanjungan kpd orang yg tdk berhak. Kedua, kedekut memberikan pujian kpd orang yg layak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh memuji sekumpulan para sahabatnya, menyebut-nyebut keutamaan dan kelebihan mereka, spt sabda Baginda ttg Abu Bakar yg bermaksud: “Andaikata aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, nescaya aku mengambil Abu Bakar sbg kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”

Sabda Baginda kpd Umar: “Andaikata engkau melalui suatu jalan, tentu syaitan akan melalui jalan yg lain.”

Sabda Baginda kpd Uthman: “Sesungguhnya beliau adalah orang yg para malaikat pun berasa malu terhadap dirinya.”

Sabda Rasulullah terhadap Ali: “Di mataku engkau spt kedudukan Harun di mata Musa.”

Sabda Rasulullah terhadap Khalid bin al-Walid: “Beliau adalah salah satu drp pedang-pedang Allah.”

Sabda Rasulullah terhadap Abu Ubaidah: “Beliau adalah kepercayaan umat ini.”

Masih ramai sahabat yg dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, krn kelebihan dan keistimewaan mereka. Di antara mereka ada dr kalangan pemuda, spt Usamah bin Zaid yg diangkat menjadi komandan pasukan perang, padahal dlm pasukan tersebut terdapat para pemuka sahabat. Baginda mengangkat Itab bin Usaid sbg pegawai di Makkah, padahal umurnya masih dua puluh thn. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman, padahal beliau masih muda. Sebahagian di antara mereka lbh diutamakan drp orang-orang yg lbh terdahulu memeluk Islam, krn kelebihan dirinya, spt Khalid bin al-Walid dan Amr bin al-Ash.

Boleh jadi seseorang tdk mahu memberikan pujian kpd orang yg layak dipuji, krn ada maksud tertentu dlm dirinya, atau krn rasa iri hati yg disembunyikan, spt takut campurtangan di pejabatnya, atau menyaingi kedudukannya. Krn dia juga tdk mampu utk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya berdiam diri dan tdk perlu menyanjungnya.

Kita melihat bagaimana Umar bin al-Khattab yg meminta pendapat Ibn Abbas dlm pelbagai urusan, padahal Ibn Abbas masih sgt muda. Maka para pemuka sahabat berkata kpdnya, “Bicaralah wahai Ibn Abbas. Krn usia yg muda tdk menghalangimu utk berbicara.”

Keenam: Berbuat Selayaknya Dlm Memimpin

Orang yg mukhlis krn Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terhadapan dan ttp patriotik ketika berada paling blkg, selagi dlm dua keadaan ini dia mencari keredhaan Allah. Hatinya tdk dikuasai kesenangan utk tampil, menguasai barisan dan menduduki jabatan strategi dlm kepimpinan. Tetapi dia lbh mementingkan kemashlahatan bersama krn takut ada kewajipan dan tuntutan kepimpinan yg dia lewatkan.

Apa pun keadaannya dia tdk bercita-cita dan tdk menuntut kedudukan utk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebankan tugas sbg pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kpd Allah agar dia mampu melaksanakannya dgn baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tlh mensifatkan kelompok orang spt ini dlm sabda Baginda yg bermaksud:

“Keuntungan bg hamba yg mengambil tali kendali kudanya fi sabilillah, yg kusut kepalanya dan yg kotor kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di barisan blkg, maka dia pun berada di kedudukan penjagaan.” (HR Imam Bukhari)

Allah meredhai Khalid bin al-Walid yg diberhentikan sbg komandan pasukan, sekali pun beliau seorang komandan yg sentiasa mendapat kemenangan. Stlh itu beliau pun menjadi orang bawahan Abu Ubaidah tanpa rasa rendah diri. Dlm kedudukan spt itu pun beliau ttp ikhlas memberikan pertolongan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan seandainya ada seseorang yg meminta jawatan dan sengaja utk mendapatkannya. Tlh disebutkan di dlm as-Shahih, bhw Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh bersabda kpd Abdurrahman bin Samurah:

“Jgnlah engkau memimta jawatan pemimpin. Krn jika engkau memperoleh jawatan itu tanpa meminta maka engkau akan mendapat sokongan, dan jika engkau memintanya, maka semua tanggungjawab akan dibebankan kpdmu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Ketujuh: Mencari Keredhaan Allah, Bkn Keredhaan Manusia

Tdk memperdulikan keredhaan manusia jika di sebalik itu ada kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sbb setiap orang di antara satu sama lain saling berbeza dlm sikap, rasa, pemikiran, kecenderungan, tujuan dan jalan yg ditempuh. Berusaha membuat mereka redha adalah suatu yg tdk bertepi, tujuan yg sulit diketahui dan tuntutan yg tdk terkabul. Dlm hal ini seorang penyair berkata:

Adakalanya seseorang
Membuat redha sekian ramai orang
Kini betapa jauh jarak yg membentang
Di tgh tuntutan-tuntutan hawa nafsu

Penyair lain berkata:

Jika aku meredhai orang-orang yg mulia
Tentunya aku memurkai orang-orang yg hina

Orang yg mukhlis tdk terlalu peduli dgn semua ini, krn syiarnya hanya bersama Allah. Dikatakan dlm satu syair:

Boleh jadi engkau mengasingkan diri
Tetapi hidup ttp terasa pahit di hati
Boleh jadi engkau redha
Padahal orang lain murka
Engkau membangun dan orang lain merobohkan
Antara diriku dan alam ada kerosakan
Jika di hatimu ada cinta semua itu tiada daya
Apa yg ada di atas tanah
Ttp menjadi tanah

Kelapan: Menjadikan Keredhaan Dan Kemarahan Krn Allah, Bkn Krn Kepentingan Peribadi

Kecintaan dan kemarahan, pemberian dan penahanan, keredhaan dan kemurkaan harus dilakukan krn Allah dan agamaNya, bkn krn pertimbangan peribadi dan kepentingannya, tdk spt orang-orang munafik opportunis yg dicela Allah dlm KitabNya:

“Dan di antara mereka ada yg mencela mu ttg (pembahagian) zakat. Jika mereka diberi sebahagian drpnya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tdk diberi sebahagian drpnya, dgn serta merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)

Boleh jadi engkau prnh melihat orang-orang yg aktif dlm lapangan dakwah, apabila ada salah seorang rakannya melontarkan perkataan yg mengganggu atau melukai perasaannnya, atau ada tindakan yg menyakiti dirinya, maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan harakah dan aktivitinya, meninggalkan medan jihad dan dakwah.

Ikhlas utk mencapai tujuan menuntutnya utk cekal dlm berdakwah dan gerak langkahnya, sekali pun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak melampaui batas terhadap dirinya. Sbb dia berbuat krn Allah, bkn krn kepentingan peribadi atau atas nama keluarga, serta bkn krn kepentingan orang tertentu.

Dakwah kpd Allah bkn spt harta yg ditimbun atau harta milik seseorang. Tetapi dakwah merupakan milik semua orang. Siapa pun orang Mu’min tdk boleh menarik diri dr medan dakwah ini hanya krn sikap atau tindakan tertentu yg mempengaruhi dirinya.

Kesembilan: Sabar Sepanjang Jalan

Perjalanan yg panjang, lambatnya hasil yg diperoleh, kejayaan yg tertunda, kesulitan dlm bergaul dgn pelbagai lapisan manusia dgn perbezaan perasaan dan kecenderungan mereka, tdk boleh membuatnya menjadi malas, bersikap leka, mengundurkan diri, atau berhenti di tgh jalan. Sbb dia berbuat bkn sekadar utk sebuah kejayaan atau pun kemenangan, tetapi yg plagi pokok tujuannya adalah utk keredhaan Allah dan menuruti perintahNya.

Nabi Nuh ‘alaihissalam, pemuka para anbia’, hidup di tgh kaumnya selama 950 thn. Beliau berdakwah dan bertabligh, namun hanya sedikit sekali yg mahu beriman kpd beliau. Padahal pelbagai cara dakwah sudah ditempuh, waktu dan bentuk dakwahnya juga pelbagai cara, sebagaimana yg difirmankan oleh Allah melalui perkataan beliau:

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku tlh menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dr kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kpd iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dlm telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan terlalu menyombongkan diri.” (Nuh: 5-7)

Sekali pun harus menghabiskan masa selama 950 thn, beliau ttp menyeru kaumnya dan akhirnya ada 40 orang yg berhimpun bersama beliau. Sedangkan kaumnya yg lain berpaling dr beliau, sekali pun beliau sgt berharap mereka mahu beriman.

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita individu-individu Mu’min di dlm surah al-Buruj. Mereka rela mengorbankan nyawa fi sabilillah dan mereka tdk mengatakan, “Kematian ini dpt memberi apa-apa manfaat terhadap dakwah kita?”

Mereka tdk berkata spt itu, krn mereka mempunyai keteguhan hati dan pengorbanan. Kejayaan dakwah ada di tgn Allah. Siapa yg tahu kalau pun darah mereka itu merupakan santapan lazat bg pohon iman generasi berikutnya?

Perkara yg prinsip, alam orang yg mukhlis hanya bg Allah semata. Dia cekal dlm hal ini dan terus spt itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kpd Allah, krn Allah-lah yg menyediakan penyebabnya dan membatasi waktunya. Dia hanya sekadar berusaha. Jika berjaya, maka segala puji hanya bg Allah, dan jika gagal, maka segala daya kekuatan itu hanya milik Allah.

Sesungguhnya di akhirat Allah tdk akan bertanya kpd manusia, “Mengapa engkau tdk memperoleh kemenangan?” Tetapi Dia akan bertanya, “Mengapa engkau tdk berusaha?”

Allah tdk bertanya, “Mengapa engkau tdk berjaya?” Tetapi Dia bertanya, “Mengapa engkau tdk melakukannya?”

Kesepuluh: Berasa Senang Jika Ada Yg Bergabung

Berasa senang jika ada seseorang yg mempunyai kemampuan, bergabung dlm barisan mereka yg mahu beramal, utk menegakkan bendera atau ikut taat dlm amal. Hal ini harus disertai dgn usaha memberikan kesempatan kpdnya, sehingga dia dpt mengambil tempat yg sesuai dgn kedudukannya. Dia tdk harus rasa terganggu, terganjal, dengki atau pun gelisah krn kehadirannya. Malahan jika orang yg mukhlis melihat ada orang lain yg lbh baik drp dirinya yg mahu memikul tanggungjawabnya, maka dgn senang hati dia akn mundur, memberikan tanggungjawabnya kpd orang itu dan dia berasa senang menyerahkan jawatan kpdnya.

Sebahagian orang yg memegang jawatan, lbh-lbh lagi jika berada di barisan hadapan, tdk mahu menyerah dlm mempertahankan kedudukannya, tdk mahu berundur walau bagaimanapun keadaannya dan suka menekan orang lain. Dia berkata, “Ini merupakan kedudukan yg tlh diberikan Allah kpdku, maka aku tdk mahu melepaskannya. Ini adalah pakaian yg tlh dikenakan kpdku, maka aku tdk mahu membukanya. Kedudukan ini dtg dr langit.”

Padahal waktu terus berlalu, keadaan berubah dan kekuatan menjadi lemah. Setiap masa diperuntukkan bg mereka yg sesuai dgnnya, sebagaimana setiap tempat diperuntukkan bg orang yg mmg sesuai dgn tenoat itu. Banyak cemuhan ditujukan kpd penguasa yg bermati-matian mempertahankan kerusi dan kedudukannya, dgn anggapan bahawa merekalah yg paling mampu mengendalikan perahu dan menjaganya dr terpaan angin taufan.

Ketika mendapat kritik dr orang lain, para da’ie Muslim tdk boleh menutup mata atau menutup telinga. Mereka juga tdk boleh lpd tgn demi kemaslahatan dakwah sebagaimana orang lain yg tdk boleh lps tgn demi kemaslahatan negara dan ummah. Krn andai lpd tgn, boleh jadi itu merupakan belenggu syaitan dan godaan yg dibisikkan ke dlm hati para aktivitis Islam. Sehingga jika yg lbh banyak berbicara adalah kepentingan diri sendiri, kecintaan kpd kedudukan dan dunia, maka itu dianggap pengabdian terhadap agama.

Brp ramai jemaah atau harakah yg disusupi kezaliman dr luar, pengaruh dr dlm atau kepincangan dlm berfikir dan beramal, tiada inovasi dan tajdid, sbg akibat dr kerakusan satu atau dua orang yg terlibat di dlmnya. Dia tdk mahu melepaskan kedudukannya kpd orang lain. Dia lupa bahawa bumi ini terus berputar, planet-planet terus berlalu, dunia terus berubah. Tetapi ternyata mereka tdk mahu berputar seiring dgn putaran bumi, tdk berubah seiring dgn perubahan waktu dan tempat serta keadaan manusia.

Malahan di antara mereka ada yg memikul beban dan tanggungjawab melebihi kemampuan bahunya. Padahal maksudnya ialah utk menghalang jalan bg orang lain yg lbh mampu dan lbh bertenaga, bkn sahaja orang lain itu dpt dikerahkan utk mengurangkan beban amanat yg dipikulnya malah sekaligus sbg melatih diri utk memikul tanggungjawab.

Kesebelas: Rakus Terhadap Amal Yg Bermanfaat

Di antara bukti ikhlas adalah rakus terhadap amal yg paling diredhai Allah, dan bkn yg paling diredhai oleh dirinya sendiri. Sehingga orang yg mukhlis lbh mementingkan amal yg lbh banyak manfaatnya dan lbh mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri.

Dia senang melakukan puasa nafilah dan solat dhuha. Namun sekali pun waktunya dihabiskan utk mendamaikan mereka yg sdg bertikai, justeru itulah yg lbh dipentingkannya. Dlm sebuah hadith disebutkan:

“Ketahuilah, akan ku khabarkan kpdmu ttg sesuatu yg lbh utama drp darjat puasa, solat dan sedekah. Iaitu mendamaikan di antara sesama manusia. Sbb kerosakan di antara sesama amnusia adalah pemotong.” (HR Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi, hadith shahih)

Dia mendapatkan kesenangan di hati dan kegembiraan di dlm jiwa jika boleh melaksanakan umrah pd setiap bulan Ramadhan dan haji pd musimnya. Tetapi dikatakan kpdnya, “Sumbangkan saja wang itu utk ikhwan kita di Palestin atau Bosnia atau Kashmir yg sdg mengalami kehancuran.” Jika hatinya tdk lapang dan menolak, maka dia spt apa yg dikatakan al-Ghazali sbg orang yg tertipu.

Ada seorang penderma dr salah satu negara kaya yg berkunjung ke Afrika utk membangun sebuah masjid. Di sana dia ditemui oleh para wakil masyarakat, yg mengusulkan akar dia membaiki bbrp masjid lama yg hampir roboh. Sementara masjid-masjid itu berada di tempat strategik di tgh permukiman penduduk dan kewujudannya sgt diperlukan. Tabung yg mestinya utk membangun satu masjid yg direncanakan, cukup utk membaiki sepuluh masjid lama yg sudah ada dan hampir roboh itu. Tetapi ternyata dia menolak, kecuali jika namanya digunakan utk nama-nama masjid tersebut.

Kedua Belas: Menghindari Ujub

Di antara tanda kesempurnaan ikhlas ialah tdk merosak amal dgn ujub, berasa senang dan puas terhadap amal yg tlh dilakukannya. Sikap spt ini dpt membutakan matanya utk melihat celah-celah yg sewaktu-waktu muncul. Seharusnya apa yg perlu dilakukan oleh orang Mu’min stlh melaksanakan suatu amal ialah takut jikalau dia tlh melakukan kelalaian, disedari mahupun tdk disedari. Maka dr itu dia takut jikalau amalnya tdk diterima. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dr mereka yg bertaqwa.” (al-Maidah: 27)

Di antara ungkapan yg sgt berkesan dlm masalah ini, yg dinisbatkan kpd Ali bin Abi Thalib adalah, “Suatu keburukan yg menyesakkanmu lbh baik di sisi Allah drp kebaikan yg membuatmu ujub.”

Pengertian spt ini juga ditetapkan Ibn ‘Atha’illah di dlm Al-Hikam, beliau berkata, “Boleh jadi Allah membuka pintu ketaatan bagimu, tetapi tdk membuka pintu penerimaan amal bagimu. Boleh jadi Allah mentaqdirkan kederhakaan ke atas dirimu, lalu kederhakaan itu menjadi sbb yg menghantarkan ke tujuan. Kederhakaan yg membuahkan ketundukan dan kepasrahan lbh baik drp ketaatan yg membuahkan ujub dan kesombongan.”

Dr sini al-Quran memperingatkan agar tdk menyertai sedekah dgn menyebut-nyebut sedekah itu dan ucapan yg menyakitkan, krn dikhuatirkan justeru menggugurkan pahala yg dihilangkan pengaruhnya. Allah berfirman yg bermaksud:

“Perkataan yg baik dan pemberian maaf lbh baik drp sedekah yg diiringi dgnsuatu yg menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yg beriman, jgnlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dgn menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), spt orang yg menafkahkan hartanya krn riya’ kpd manusia dan dia tdk beriman kpd Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan bg orang itu adalah spt batu licin yg di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih (tdk bertanah).” (al-Baqarah: 263-264)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan ujub dan menjadikannya termasuk hal-hal yg merosak. Ibn Umar meriwayatkan dr Baginda yg bermaksud:

“Tiga perkara yg merosak dan tiga perkara yg menyelamatkan. Sedangkan perkara-perkara yg merosak adalah kedekut yg ditaati, hawa nafsu yg diikuti dan ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR Imam at-Thabrani, hadith hasan dlm Shahih al-Jami’ as-Shaghir, no. 3045)

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita kejadian yg dialami kaum Muslimin pd waktu Perang Hunain. Allah tlh memberikan kemenangan kpd mereka sewaktu Perang Badar, padahal mereka sama sekali tdk diunggulkan menang. Allah juga memberikan kemenangan kpd mereka pd Perang Khandaq, yg sblm itu pandangan mereka meredup, hati mereka naik ke atas hingga sampai ke tenggorokan, mereka menduga yg bukan-bukan terhadap Allah dan mereka tergoncang dgn hebat. Allah juga memberikan kemenanagn kpd mereka pd waktu Perang Khaibar dan Fathu Makkah. Tetapi pd waktu Perang Hunain mereka menjadi ujub krn jumlah mereka yg banyak. Ternyata jumlah yg banyak ini tdk memberi manfaat apa-apa, hingga mereka pasrah kpd Allah. Mereka pun menyedari bahawa kemenangan datang hanya dr sisi Allah. Dia berfirman yg bermaksud:

“Sesungguhnya Allah tlh menolong kamu (hai kaum Mu’min) di medan peperangan yg banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu pd waktu kamu menjadi sombong krn banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yg banyak itu tdk memberi manfaat kpd kamu sedikit pun, dan bumi yg luas itu tlh terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari ke blkg dgn bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kpd RasulNya dan kpd mereka yg beriman.” (at-Taubah: 25-26)

Orang Mu’min yg sedar adalah mereka yg menyerahkan segala urusannya hanya kpd Allah, lalu percaya bahawa kemenangan hanya dtg dr sisiNya. Firman Allah:

“Dan kemenangan itu hanyalah dr Allah Yg Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Aali Imran: 126)

Kemuliaan juga datang hanya dr sisiNya:

“Barangsiapa yg menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu.” (Fathir: 10)

Taufiq kpd hal-hal yg baik juga berasal dr pertolongan Allah. FirmanNya:

“Dan tdk ada taufiq bagiku melainkan dgn (pertolongan) Allah.” (Hud: 88)

Hidayah hanya dtg dr sisiNya:

“Barangsiapa yg disesatkanNya, maka kamu tdk boleh mendapatkan seorang pemimpin pun yg dtg yg mampu memberikan petunjuk kpdnya.” (al-Kahfi: 17)

Dikatakan dlm sebuah syair:

Andaikan Allah tiada mempedulikan kehendakmu
Nescaya tdk akan ada pilihan bg semua manusia
Andaikan Dia tdk memberi petunjuk jalanmu
Nescaya kau akan tersesat sekali pun langit ada di sana

Ketiga Belas: Peringatan Agar Membersihkan Diri

Al-Quran tlh memperingatkan utk membersihkan diri dr pujian dan sanjungan ke atas dirinya, sebagaimana firmanNya:

“Dia lbh mengetahui tentang (keadaan) kamu, ketika Dia menjadikan kamu dr tanah dan ketika kamu masih dlm janin perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan diri kamu suci. Dialah yg paling mengetahui tentang orang yg bertaqwa.” (an-Najm: 32)

Allah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani yg menganggap dirinya suci. Firman-Nya yg bermaksud:

“Apakah kamu tdk memerhatikan orang yg menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan sesiapa yg dikehendaki-Nya dan mereka tdk dianiaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)

Hal ini terjadi krn mereka berkata, spt yg dijelaskan Allah yg bermaksud:

“Kami ini adalah anak-anak Allah dan keksih-kekasih-Nya.” (al-Maidah: 18)

Perkataan mereka ini disanggah dgn firman-Nya yg bermaksud:

“Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yg diciptakan-Nya. Dia mengampuni sesiapa yg dikehendaki-Nya dan menyeksa siapa yg dikehendaki-Nya. Dan, kepunyaanl Allah-lah kerajaan di antara keduanya, dan kpd Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah: 18)

Orang yg tlh melakukan sesuatu amal shaleh, tdk boleh mempamerkan amalnya itu, kecuali jika utk menyampaikan nikmat Rabb-Nya:

“Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dgn bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)

Selain itu ia bertujuan utk memancing orang lain agar mengikutinya. Sabda Baginda yg bermaksud:

“Barangsiapa membuat sunnah yg baik, maka dia mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yg mengerjakannya.” (HR Imam Muslim)

Dibolehkan juga jika bertujuan utk membela diri krn ada tuduhan yg dilemparkan kpdnya, padahal dia tdk bersangkut-paut dgn tuduhan tersebut, atau mungkin ada sebab-sebab lain. Semua itu diperbolehkan bg orang yg batinnya sudah kuat krn Allah semata dan bukan krn tujuan yg bukan-bukan serta tdk tergolong pd ujub, tdk bertujuan mencari sanjungan dr orang lain dan mendapatkan kedudukan di kalangan masyarakat. Namun memang jrg orang yg bebas dr tujuan ini.

Orang Islam harus waspada, jgn sampai ujub terhadap diri sendiri, krn kebaikan dan keshalihan yg dilakukannya, atau keyakinan bahawa hanya dialah yg beruntung sdg yg lain merugi, atau dia dan jamaahnyalah yg layak disebut al-firqah an-najiyyah (golongan yg selamat) sdgkan semua kaum Muslimin rosak, atau hanya merekalah yg layak disebut thaifah manshurah (kelompok yg mendapat pertolongan) sdgkan yg lain dibiarkan.

Pandangan terhadap diri sendiri spt ini adalah ujub yg merosak, dan pandangan terhadap orang-orang Islam spt itu adalah pelecehan yg menghinakan.

Dlm sebuah hadith shahih disebutkan: “Jika seseorang berkata ‘Manusia tlh rosak’, maka dialah yg lbh rosak drp mereka.” (HR Imam Muslim)

Hadith ini diriwayatkan dgn bacaan ‘ahlakuhum’, dgn pengertian bahawa justeru dialah yg lbh byk dan lbh cepat menimbulkan kerosakan, krn dia terpedaya oleh diri sendiri, congkak terhadap amalannya dan melecehkan orh lain. Dgn bacaan dan makna spt ini, bererti dialah yg menyebabkan kerosakan mereka, krn dia berasa lbh unggul dr mereka dan juga membuatkan mereka berputus asa terhadap rahmat Allah.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan ini ditujukan kpd orang-orang yg berkata spt itu, krn ujub terhadap diri sendiri, mengecilkan org lain dan berasa dirinya lbh unggul dr mereka. Ini adalah perbuatan yg diharamkan. Tetapi jika perkataan spt itu disampaikan krn memang ada kekurangan dlm pengamalan agama mereka atau krn rasa prihatin terhadap situasi mereka dan juga situasi agama mereka, maka hal itu tidak apa-apa. Inilah yg ditafsir dan dihuraikan oleh para ulama, spt yg dikatakan olek Malik bin Anas, al-Khattabi, al-Humaidi dan lain-lainnya.

Dlm hadith lain disebutkan, yg bermaksud:

“Cukuplah seseorang disebut buruk jika dia mencela saudara Muslimnya.” (HR Imam Muslim)

Sebab di antara orang Islam atas orang Islam lainnya adalah dilarang menzalimi, menghinakan dan melecehkannya. Tdk mungkin seseorang mencela saudaranya sendiri, sdgkan mereka ibarat dua cabang yg melekat di satu pohon yg sama.



PERAN CINTA DAN KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN SPIRITUAL

Oleh Seyyed Hossein Nasr

Pengembaraan di jalan menuju Taman Kebenaran memerlukan bukan hanya pencapaian dan perwujudan pengetahuan pemersatu, melainkan juga keterbenaman di dalam cinta dan ketertarikan pada keindahan di tingkat tertingginya. Allah telah menjadikan mungkin bagi kita manusia untuk dapat meraih-Nya tidak hanya melalui pengetahuan tetapi juga melalui cinta dan keindahan. Taman itu adalah Taman Kebenaran, sekaligus juga Taman Cinta, yang Keindahannya melebihi dan melampaui semua yang dapat kita bayangkan atau telah kita alami sebagai sesuatu yang menyenangkan dan indah di bumi ini. Tukang Kebunnya juga sang Kekasih, yang tidak hanya harus diketahui, tetapi juga dicintai dan direnungkan dalam keindahannya yang tak berhingga, yang membakar penonton dan menggiring kepada ekstasi penyatuan serta kedamaian puncak. Laki-laki dan perempuan mengalami berbagai macam cinta dan menyaksikan banyak objek yang indah dalam kehidupan di bawah sini, tetapi kebanyakan tidak mencapai Taman Kebenaran melalui pengalaman seperti itu. Oleh karena itu kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah cinta dan keindahan dalam konteks Tasauf dan mengapa kaum Sufi, yang begitu menekankan pengetahuan prinsipal dan mencerahkan, sangat sering berbicara tentang cinta dan keindahan, yang saling terkait tanpa terpisahkan satu sama lain.


Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting untuk mencuplik hadis qudsi dari Nabi mengenai hubungan antara pengetahuan dan cinta:

Dia yang mencari-Ku akan menemukan-Ku.
Dia yang menemukan-Ku akan mengetahui-Ku.
Dia yang mengetahui-Ku akan mencintai-Ku.
Dia yang mencintai-Ku, akan Aku cintai.
Dia yang Kucintai, akan Aku tebas.
Dia yang Kutebas, akan Aku tebus.
Dia yang Kutebus, Diriku sendirilah penebusnya.

Jalan menuju Kebenaran menghasilkan penemuan Kebenaran, yang berarti pengetahuan mengenai-Nya. Lebih jauh lagi, Kebenaran itu sedemikian sehingga orang tidak dapat mengetahui-Nya tanpa mencintai-Nya. Dan cinta itu akhirnya mengantarkan ke dalam rengkuhan Allah, yang pada gilirannya mencintai orang-orang di antara hamba-hamba-Nya yang mencintai Dia. Akan tetapi, dalam pengertian metafisik, cinta Allah mendahulu cinta manusia, seperti yang akan kita tinjau di bawah ini.

HAKIKAT CINTA

Apa gunanya menulis tentang cinta? Orang harus mengalami cinta agar dapat memahami apa itu cinta. Seperti dikatakan Rūmī, ketika harus menjelaskan hakikat cinta, pena patah dan tak kuasa menulis. Namun demikian, meskipun berhadapan dengan kata-kata dan konsep, menulis tentang cinta dapat membangkitkan kesadaran tertentu dalam pikiran dan jiwa pembaca, yang pada gilirannya dapat membuatnya siap untuk mengalami cinta pada beberapa tingkat. Tapi cinta itu sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya meskipun amat jelas dan puitis, sementara pada saat yang sama kata-kata yang berasal dari orang-orang yang benar-benar telah mencinta dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri sebagian orang cinta yang tersimpan di dalam jiwa semua manusia laki-laki dan perempuan. Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta, yang tanpanya hidup yang menjadi kehilangan nilai, karena sekali lagi mengutip Rumi: “Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada.”3

Mari kita mulai dengan metafisika cinta. Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan. Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain dan kepada Sumber mereka. Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi dan yang panasnya menghidupkan hati dan menganugerahkan kehidupan. Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa dan menumbangkan keberadaan yang biasa. Cinta adalah kehidupan tetapi bisa pula kematian. Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan serta gairah penyatuan. Cinta juga tak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya. Bukan hanya dalam Kekristenan Allah dianggap cinta, menurut Al-Quran salah satu dari Nama-Nya adalah Cinta atau al-Wadūd. Dan karena cinta adalah bagian dari Hakikat Ilahi, semua keberadaan, yang memancar dari-Nya, dijalari oleh cinta. Allah adalah cahaya langit dan bumi, seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran. Kecerahan cahaya ini berkaitan dengan pengetahuan dan kehangatannya dengan cinta.

Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, kecuali jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi, karena Allah telah memberi kita kehendak bebas untuk mencinta atau tidak; namun demikian, bahkan pada tatanan manusiawi dapat dikatakan bahwa bahkan orang-orang yang tidak mencintai Allah atau tetangga mereka masih mencintai dirinya sendiri. Sejauh menyangkut kosmos, cinta dapat dilihat di mana-mana andai saja kita sadar akan realitasnya. Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta, dan hewan-hewan menyayangi anak-anak mereka sebagai akibat dari cinta. Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta, yang kita reduksi menjadi sekadar fisika dan kuantitatif, dan kita sebut gravitasi. Seperti yang ditulis Dante pada bagian paling akhir dari Divine Comedy, kesatuan rohani tertinggi melibatkan pengalaman dan realisasi dari “l’amor che move il sole e l’altre stelle,” yaitu, “cinta yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya.”

Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta, demikian pula rahmat, dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta, objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi, terutama seseorang, hingga Allah itu sendiri. Tetapi seperti yang telah disebutkan, pada kenyataannya cinta berasal Allah dan tidak bersama kita. Dalam dua perintah dasarnya Kristus meminta para pengikutnya untuk mencintai Allah yang mencintai makhluknya dan mencintai tetangga. Al-Quran menyediakan dasar metafisikal untuk cinta ini dengan menegaskan bahwa Allah akan membawa orang-orang “yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya” (QS Al-Mâ’idah [5]:54). Ayat ini, yang telah berkali-kali dikutip oleh tulisan-tulisan Sufi mengenai cinta, makin menjelaskan bahwa pertama-tama Allah mencintai makhluk-Nya, dan sebagai konsekuensi dari cinta kita bisa mencintai-Nya. Selain itu, seperti yang dinyatakan dua perintah Kristus, cinta Allah memiliki kedudukan lebih tinggi daripada cinta tetangga, yang berarti semua makhluk dan bukan hanya manusia.

Karena itu, dari sudut pandang manusia, ada tahap-tahap cinta yang dipahami secara metafisikal dan seperti yang dijelaskan oleh kaum Sufi. Yang pertama-tama adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri dan kemudian Cinta-Nya untuk makhluk-Nya, termasuk kita, yang sebagai akibatnya cinta menjalari inti substansi makhluk di semua tingkat eksistensi. Kemudian, ada cinta kita kepada Yang Ilahi, dan akhirnya ada cinta kita kepada makhluk-makhluk lain, yang menurut mereka yang percaya diturunkan dari cinta kepada Allah. Pemahaman spiritual tentang cinta ini karenanya mentransendensi cinta ego pada dirinya sendiri, cinta palsu yang telah menjadi lumrah pada kebanyakan laki-laki dan perempuan. Hanya melalui hirarki ini dan hubungan di antara berbagai tingkatannya kekuatan spiritual dan transformatif cinta, yang bahkan dapat mengubah cinta ego pada dirinya sendiri menjadi cinta kepada Allah dan yang lainnya, dapat dimengerti. Tetapi ada unsur lain yang lebih halus yang melibatkan instrumen serta kandungan wahyu yang mengikatkan kita kepada Allah. Bisakah seseorang mencintai Allah sebagai seorang Kristen tanpa mencintai Kristus? Jawabannya cukup jelas. Kebenaran yang sama berlaku bagi Islam, di mana cinta kepada Nabi merupakan prasyarat bagi cinta kepada Allah. Kebenaran ini dirangkum sebagai berikut: untuk mencintai Allah, Dia harus terlebih dahulu mencintai kita, dan Allah tidak mencintai orang yang tidak mencintai Nabi atau rasul-Nya dan risalahnya.

Karena cinta berasal dari Allah dan memancar dari-Nya, cinta sejati di dunia ini pada akhirnya tidak lain daripada cinta kepada Allah. Orang-orang Kristen awal berbicara tentang agape dan eros untuk membedakan cinta Tuhan dan manusia atau kosmik, dan pembedaan ini masih penting dalam banyak teologi Kristen, terutama teologi Katolik. Kaum Sufi mengambil rute yang berbeda. Mereka tidak menggariskan perbedaan yang tajam antara agape dan eros, memandang yang kedua sebagai bayangan dan juga tangga menuju yang pertama. Sebaliknya, mereka berbicara tentang cinta sejati (al-‘isyq al-haqīqī), yaitu cinta manusia bagi Allah, dan cinta metaforis (al-‘isyq al-majāzī), yang meliputi segala bentuk cinta yang kelihatannya berada di luar dan bebas dari ikatan cinta antara Allah dan manusia. Menurut pandangan ini, sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai cinta bukanlah cinta yang sejati sama sekali melainkan cinta hanya dalam pengertian kiasan. Selain itu, terdapat satu hierarki lagi dalam cinta yang dimulai dari berbagai tingkatan cinta metaforis hingga cinta sejati, yang selalu melibatkan Allah dan dapat mencakup cinta pada seseorang atau sesuatu, tetapi di dalam Allah. Namun bahkan cinta metaforis adalah kilau dari cinta sejati karena akhirnya hanya ada satu Cinta dengan banyak tingkatan manifestasi.

Kaum Sufi juga berbicara tentang bentuk lain gradasi dan hierarki cinta. Mereka memulai dengan kondisi manusia biasa dan berakhir dengan keadaan orang-orang suci. Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri. Ini masih cinta, tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta yang lebih tinggi. Kemudian ada cinta kepada yang lain, entah itu manusia, hewan, atau benda-benda seperti tanaman, mineral, dan juga artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni. Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga serta dalam banyak kasus bersifat sementara. Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia sehingga menghalangi jiwa dari mengalami tingkat cinta yang lebih tinggi, yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Kemudian ada cinta untuk realitas suci, mencakup para nabi, kitab-kitab yang diwahyukan, orang-orang suci, seni yang suci, dan sebagainya, yang datang dari Allah, mengarahkan jiwa kepada-Nya, asalkan manusia tetap sadar akan Sumber dari semua yang suci. Akhirnya, ada cinta kepada Allah, yang Suci adanya, yang tak berbatas dan membebaskan bukannya mengikat karena objek dari cinta ini adalah yang Tak Berbatas. Cinta tingkat tertinggi adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri, dan inilah Cinta yang membuat semua bentuk cinta lain menjadi mungkin. Bahkan, segala bentuk cinta merupakan pantulan, meskipun sangat samar, dari cinta tertinggi ini.

Dari sudut pandang spiritual semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif, dan masing-masing tingkat yang lebih rendah dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi alih-alih bersifat membatasi. Cinta pada diri sendiri dapat membuka kesadaran tentang sifat ego yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari ingatan serta efeknya yang memenjara, mengarahkan seseorang kepada pencarian akan dirinya yang lebih tinggi. Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa. Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek kecintaan kita. Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani dan yang sejenisnya, hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada Wujud Yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan yang hadir di dalamnya. Hierarki cinta dengan demikian dapat dipandang sebagai tangga pendakian menuju Kerajaan Langit dan sebagai deskripsi tentang keterbatasan dan pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa saat seseorang saat ia turun ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.

SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA

Mencintai dengan sungguh-sungguh berarti hidup dengan sungguh-sungguh, dan orang yang menjalani kehidupan tanpa cinta belum benar-benar menjalani kehidupan manusia dengan sepenuhnya. Keyakinan para Sufi ini menunjuk pada kebenaran penting bahwa cinta bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan, melainkan juga memainkan peran spiritual yang sangat penting dalam perkembangan batin kita. Seperti yang telah disebutkan, kekuatan cinta bersifat transformatif. Ia memiliki efek alkemis pada jiwa dan dapat mengubah substansi jiwa itu sendiri. Perkawinan alkemis antara raksa dan belerang yang menghasilkan berbagai substansi konkret (menurut alkemi) melambangkan transformasi batin yang dihasilkan oleh rangkulan cinta terhadap jiwa, memungkinkannya meraih kesatuan dengan Roh dalam cara yang konkret.

Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta. Kita bisa mencintai orang tua kita, anak-anak dan kerabat kita. Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita. Ada cinta pada alam dan seni. Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci, semua mengarah kepada cinta Tuhan. Semua bentuk cinta ini membawa seseorang keluar melampaui egonya, melakukan pengorbanan dan menderita, memberi dan memberi lagi. Juga semua bentuk cinta merupakan pertanda hasrat jiwa yang mendalam akan cinta murni yang bersifat ilahiah. Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia—dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan—dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan atau cinta perempuan untuk laki-laki. Cinta konjugal dan romantis adalah ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa secara emosional dan spiritual, dan ini terkait langsung dengan cinta dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Roh. Pernyataan ini tentu saja tidak menghapuskan kemungkinan keterlepasan dari cinta seperti itu demi Allah, seperti yang kita lihat dalam tindakan membujang yang dipraktekkan agama-agama tertentu.

Cinta yang sejati dan otentik dalam pengertian romantis, dan bukan ketertarikan seksual semata, merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit. Ia menghunjam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat, menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama. Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasan diri dan egoisme. Menyebabkan sukacita sekaligus derita, kegairahan serta kerinduan. Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain dan mengikatkannya pada objek kecintaannya, bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak dan memusatkannya pada satu objek itu saja. Sifat kemutlakan cinta kepada Allah tercermin dalam cinta manusia yang seperti itu, yang memerlukan peluruhan seluruh sikap mementingkan diri sendiri dan memberi tanpa batas. Cinta seperti itu, jika otentik, tidak akan berkurang tatkala yang dicintai menjadi kurang cantik secara lahiriah dan kehilangan daya tarik lahiriahnya, sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukan atributnya, yang mungkin menyenangkan hati pecintanya pada satu momen dan tidak demikian pada momen lainnya. Itulah sebabnya cinta romantis yang otentik bertumbuh bukannya berkurang sering berjalannya waktu. Cinta seperti itu adalah karunia dari Allah kepada makhluk-Nya, yang Dia ciptakan berpasang-pasangan, seperti yang ditegaskan Al-Quran, dan cinta ini dalam pengertian terdalamnya tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada Allah dan cinta Allah kepada kita. Inilah arti penting spiritual dari cinta manusia.

Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan signifikansi spiritual. Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi. Laki-laki mengalami yang Tak Terbatas dan perempuan mengalami yang Mutlak di dalam kesatuan duniawi ini, yang mengembalikan, meski untuk sejenak, manusia ke dalam keutuhan androginik. Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan dari kebahagiaan kesatuan jiwa dengan Roh, seperti yang dibicarakan oleh Hermetisisme Kristen serta beberapa mazhab mistisisme Kristen lainnya. Seperti disebutkan di atas, jiwa tentunya dapat menarik diri dari pesona duniawi ini melalui sikap zuhud demi mencari perkawinan langsung dengan Roh, seperti yang kita lihat dalam monastisisme dan berbagai bentuk spiritualitas Kristen, namun kesatuan seksual tetap penting secara rohani, khususnya dalam Tasauf yang, seperti Islam selebihnya, memandang seksualitas sebagai kenyataan sakral, sehingga harus diatur oleh Hukum Suci, bukan sebagai perbuatan dosa semata yang hanya berasal dari kejatuhannya dari surga. Kesatuan seksual dapat mengantarkan kepada pengalaman fanā’ atau anihilasi dan karenanya kebebasan, betapa pun sejenak, dari belenggau keberadaan yang terpisah dan keterbatasan kesadaran sehari-hari. Dari sudut pandang Sufi, dorongan ke arah kesatuan seksual, yang merupakan dorongan sensual yang paling kuat di dalam sebagian besar manusia, pada kenyataannya merupakan pencarian jiwa akan kesatuan dengan Allah, terutama ketika kesatuan manusia digabungkan dengan cinta. Setiap kekasih pada akhirnya merupakan pantulan dari Sang Kekasih atau ma’syūq, sebagaimana dikatakan para Sufi, yang tak lain adalah Allah di dalam kenyataan batin-Nya, kenyataan yang sering dirujuk kaum Sufi dalam bentuk feminin. Zat Allah disebut Al-Dzāt dalam bahasa Arab, dan itu secara gramatikal bergender feminin. Dipandang sebagai Kekasih, dimensi batin dari yang Ilahi adalah Keindahan feminin yang dirindukan oleh jiwa lelaki. Namun dalam aspek-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan, Allah dianggap maskulin. Dari sudut pandang metafisika murni, Allah tentu saja di atas mengatasi perbedaan lelaki-perempuan dalam cara yang sama seperti dalam doktrin-doktrin Timur Jauh Tao tertinggi mentransendensi dualisme yin dan yang.

Al-Quran menggunakan kata-kata yang berasal dari akar hubb ketika merujuk kepada cinta. Kaum Sufi juga menggunakan istilah seperti itu, tetapi mereka menambahkan ke istilah ‘isyq, yang menyiratkan cinta yang intens, dan mereka mengklaim bahwa Al-Quran, sebagai kitab suci, tidak menggunakan istilah ini lantaran keekstreman dan intensitasnya. Kata ‘isyq, menurut sumber-sumber tradisional, diturunkan dari nama untuk tanaman anggur yang melilitkan dirinya ke seputar sebatang pohon dan menekan begitu keras pada batangnya sehingga pohon itu mati. Etimologi puitis ini merujuk kepada kebenaran yang mendalam bahwa cinta melibatkan kematian. Seperti dikatakan Rūmī, “sang Kekasih hidup dan sang pecinta mati.” Di sini kita teringatkan pada “Nyanyian Cinta-Kematian” (Liebestod) dalam opera Wagner yang terkenal, Tristan und Isolde.

Kisah cinta yang hebat biasanya berakhir dalam kematian, seperti yang kita lihat misalnya dalam kisah-kisah literatur Barat seperti Tristan dan Isolde serta Romeo dan Juliet. Kematian mereka tampak dari luar seperti berkaitan dengan kekuatan dan keadaan lahiriah tetapi secara batiniah menunjukkan hubungan antara cinta yang intens dengan kematian. Dikatakan bahwa untuk setiap lelaki ada seorang perempuan—dan sebaliknya—yang merupakan pasangan pelengkap sedemikian sempurna sehingga ketika keduanya bertemu di bumi intensitas cinta mereka akan menyebabkan mereka mati. Cinta manusia bahkan yang berada di bawah tahap ekstrem ini selalu bercampur dengan beberapa derajat kematian—kematian terhadap ego sendiri, terhadap hasrat sendiri, terhadap kesenangan-kesenarangan sendiri demi kepentingan yang lain. Dan ini disebabkan cinta manusia itu sendiri merupakan pantulan dari Cinta Tuhan, yang bisa kita alami hanya setelah kematian ego kita, dan dapat mengantarkan kepada Tuhan jiwa-jiwa mereka yang cukup beruntung untuk mengalami cinta ini. Itulah sebabnya pula mengapa kisah-kisah cinta legendaris tampak dari luar seperti menyangkut cinta manusia dan dari dalam menyangkut cinta untuk Tuhan dan dari Tuhan dan karena itu sering berakhir dengan kematian sang pahlawan lelaki atau perempuan atau keduanya.

Ada begitu banyak dongeng dalam Tasauf , dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Laylā dan Majnūn. Cerita aslinya, yang memiliki banyak versi yang lebih baru, sederhana saja. Seorang pemuda Arab Badui bernama Qays bertemu Laylā dalam perkumpulan para wanita. Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya. Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu. Ketika seorang lelaki bernama Manāzil datang ke pertemuan itu, perhatian semua perempuan kecuali Laylā terarah kepadanya, yang membalas cinta Qays kepadanya. Qays kemudian meminta dia dari tangan ayahnya, tetapi ayahnya menolak, mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain. Dalam derita dan kesedihan mendalam, Qays kehilangan akal dan pikiran lalu mengembara di padang gurun setengah telanjang, hidup bersama binatang liar. Julukan Majnūn, yang berarti tergila-gila atau gila, yang kemudian disematkan untuknya, muncul akibat perilaku ini. Ayah Qays membawa berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa ia akan sembuh, tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya pada Laylā. Ketika sadar, Majnūn menggubah beberapa puisi mengungkapkan cintanya kepada Laylā, tetapi ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.

Atas dasar puisi anonim ini, banyak versi prosa ditulis. Kisah ini menjadi terkenal dalam sastra Arab dan kemudian menjadi bagian dari tradisi sastra Persia. Barangkali adikarya terbesar yang didasarkan pada cerita ini, tetapi dengan sangat panjang lebar, adalah karya penyair Persia abad kedua belas Nizhāmī, yang mengubahnya menjadi salah satu adikarya puisi liris Persia. Sufi seperti Ahmad Ghazzālī, Attār, dan Rūmī mengubah cerita ini menjadi adalah contoh cinta Allah dan manusia sebagaimana yang dipahami dalam Tasauf. Amīr Khusraw, penyair terkemuka Persia abad keempat belas dari India, juga menyusun sebuah karya berjudul Laylī dan Majnūn (Laylī sebagai versi Persia dari Laylā) dan mendedikasikannya untuk Nizhām al-Awliyā’, orang suci Delhi yang terkenal. Selain itu, Sufi penyair abad kelima belas Jāmī menyusun sebuah karya besar dengan judul ini. Kisah Laylā dan Majnūn menjadi terkenal bukan hanya dalam sastra Arab melainkan juga Turki, Kurdi, Pashto, dan beberapa bahasa lainnya. Dalam versi Sufi ini kisah cinta terkenal ini, Laylā atau Laylī dipahami sebagai melambangkan Zat Ilahi. Nama Laylā/Laylī berasal dari kata bahasa Arab untuk malam (layl), dan itu berarti keindahan malam yang gelap, dari sinilah akar pengaitannya dengan “cahaya gelap” Zat Ilahi, yang menghitam karena intensitas cahayanya, mengatasi cahaya yang terlihat, yang melambangkan manifestasi. Ada pun Majnūn, artinya yang biasa sebagai seorang gila juga dilihat secara simbolis. Cinta juga melibatkan sejenis kegilaan, dan bahkan cinta manusia biasa sering melanggar logika dan akal sehat serta tampak bagi mereka yang tidak ditimpanya sebagai sejenis ketidakwarasan. Orang yang mencintai Allah dengan seluruh dirinya tentu akan tampak seperti ditimpa sebentuk keedanan dalam pandangan orang-orang yang menganggap keadaan yang normal sikap abai terhadap Cinta Allah yang mencirikan sebagian besar masyarakat. Kisah indah Laylā dan Majnūn karena itu merupakan sarana untuk mengekspresikan Cinta Allah terbungkus dalam bahasa cinta manusia.

CINTA ALLAH

Telah disebutkan bahwa Allah mencintai kita terlebih dahulu sebelum kita memiliki kemungkinan untuk mencintai-Nya. Prioritas ontologis ini harus selalu diingat. Allah dapat saja menciptakan makhluk yang tidak bisa apa-apa kecuali memuliakan Dia, dan Dia melakukan itu dalam menciptakan malaikat. Tetapi dalam kasus manusia, Dia menciptakan makhluk yang dianugerahi kehendak bebas, makhluk yang mampu mencintai-Nya secara sadar, tetapi juga mampu untuk tidak mencintai-Nya. Tidak ada cinta dengan paksaan. Cinta Allah adalah kenyataan yang meliputi penciptaan melalui tindakan penciptaan itu sendiri oleh Allah yang juga Maha Penyayang, Maha Pengasih, dan Maha Pencinta. Tetapi dari sisi manusia, adalah mungkin untuk tidak mencintai Allah sebagaimana mungkin pula untuk menolak keberadaan-Nya sendiri. Hidup di dunia ini bukan hanya ujian bagi iman kita, seperti ditegaskan Al-Quran, tetapi juga bagi cinta kita kepada Allah dan kemungkinan membalas cinta-Nya kepada kita dalam keterbatasan kita. Seperti disebutkan dalam hadis qudsi yang dikutip pada awal bab ini, adalah hak laki-laki dan perempuan untuk menjadikan Allah kekasih mereka. Atas dasar kenyataan ini, Allah meminta kita untuk menjadi kekasih bagi-Nya dalam kepenuhan kehendak bebas kita.
Halangan terbesar untuk merespons secara positif terhadap imbauan ilahi ini adalah bahwa ada banyak hal lain yang dapat menjadi objek kecintaan kita, mulai dari ego kita sendiri. Allah mengetahui keadaan ini, sehingga wahyu agama-agama dan kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya, dapat melepaskan ikatan kecintaan jiwa pada yang sementara dan fana lalu membelokkannya ke arah Allah. Ketika kaum Sufi berbicara tentang cinta, atau ‘isyq, mereka berpikir tentang aspeknya yang membebaskan dan bukan yang mengikat. Mencintai Allah secara penuh berarti memiliki kebebasan penuh dari setiap ikatan lain, dan karena Allah itu mutlak dan tak terbatas, maka itu berarti mengalami kebebasan mutlak dan tak terbatas.

Dalam salah satu ghazal-nya yang paling terkenal Hāfizh, penulis syair dan puisi mistik terindah dalam bahasa Persia, melantunkan:

Aku ungkapkan dan puas dengan kata-kataku,
Aku adalah hamba cinta dan terbebas dari kedua dunia.
Dulu aku terbang di dalam Taman suci, bagaimana aku bisa menjelaskan keterpisahanku?
Bagaimana aku lalu terjerat di dalam perangkap dunia ini?
Dulu aku malaikat dan surga yang agung adalah tempat tinggalku,
Adam membawaku ke biara reruntuhan kota ini.

Cinta Ilahi membebaskan kita tidak hanya dari dunia yang ini tetapi juga yang berikutnya, dipahami dalam bahasa agama biasa sebagai dunia yang penduduknya akan dihakimi dan mendapat balasan sesuai perbuatan baik atau buruknya di dunia ini. Melalui Cinta Ilahi kita kembali ke Taman suci tempat kita berada dalam kedekatan dengan Tuhan sebelum kejatuhan kita, Taman suci yang juga merupakan Taman kesatuan di atas seluruh keadaan penebusan dosa, di atas tempat tinggal di neraka dan surga seperti yang biasanya dipahami.

HARUSKAH MENCINTA UNTUK MENCAPAI TAMAN KEBENARAN?

Karena Taman Kebenaran dicapai melalui pengetahuan yang mencerahkan seperti yang dibahas dalam bab yang lalu, maka dapat ditanyakan apakah cinta merupakan pengiring yang diperlukan di jalan gnosis. Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini penting untuk membedakan antara cinta sebagai emosi dan signifikansi metafisika cinta. Ada jalan mistik yang didasarkan hanya pada cinta yang menggiring manusia, melalui penggunaan emosi cinta yang ditujukan kepada Allah, kepada Allah sendiri.

Kebanyakan mistisisme Kristen adalah mistisisme cinta, seperti halnya bhakti marga dalam Hindu. Tasauf bukan jalan seperti itu meskipun Sufi tak hentinya berbicara tentang cinta. Dalam Tasauf cinta adalah pelengkap ma’rifah dan terkait dengan kenyataan yang diwujudkan oleh pengetahuan. Tentu saja, sebagian Sufi menekankan cinta dan pengetahuan yang lain, tetapi baik pengetahuan maupun cinta selalu hadir dalam setiap ajaran Sufi yang terpadu, sebagaimana halnya unsur tindakan, yang akan kita bicarakan dalam bab berikutnya. Rūmī adalah salah seorang penggubah lirik terindah tentang cinta dalam Tasauf , dan Matsnawī-nya diawali dengan syair-syair penuh dengan pujian terhadap cinta, namun buku yang sama disebut “samudra ma’rifah” oleh orang-orang yang mengenal karyanya dengan baik. Yang lain, seperti sahabatnya Shadr al-Dīn Qunyawī, menekankan ma’rifah tetapi tidak mengabaikan cinta. Singkatnya, jalan Tasauf menggabungkan pengetahuan dan cinta, dan jarang kita temukan seseorang atau sebuah mazhab dalam Tasauf yang ajarannya, meskipun menekankan cinta, tidak memiliki dimensi sapiential, yang murni bhakti dan bergenre sama dengan mistisisme Kristen serta beberapa bentuk spiritualitas Hindu.

Untuk pertanyaan apakah kita dapat mencapai Taman Kebenaran tanpa cinta, jawabannya adalah tidak, tapi pada saat yang sama harus ditekankan bahwa kesalehan sentimental, walaupun berharga pada tingkatannya sendiri, tidak dengan sendirinya memadai untuk tugas tersebut. Harus ada pengetahuan yang direalisasi, tetapi realisasi ini melibatkan seluruh wujud kita dan karenanya harus meliputi realitas cinta. Lebih jauh lagi, cinta mengantarkan kepada persatuan, dan Allah mencintai makhluk-Nya, sehingga tidak ada cara untuk mencapai Tuhan tanpa mengalami api cinta itu, yang membinasakan keberadaan kita yang terpisah lalu mengubah kita menjadi abu, yang darinya jiwa kita yang abadi muncul kembali dengan kehidupan yang baru. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mencinta sesungguhnya tidaklah hidup.

KEINDAHAN—ILAHI, MANUSIA, KOSMIS

Keindahan dan cinta adalah dua aspek dari kenyataan yang sama jika dilihat dari sudut pandang tertentu, yang satu memiliki sifat aktif dan yang lainnya pasif. Yang satu seperti api yang membakar sedangkan yang lainnya sebuah danau tenang dan tak terganggu, walaupun ada dimensi ketenangan dalam cinta setelah direalisasi dan keindahan juga dapat dilihat dalam petir dan kilat. Ada komplementaritas di dalam komplementaritas yang pertama, yaitu sebuah elemen pasif di dalam sifat cinta yang aktif dan elemen aktif di dalam sifat keindahan yang pasif. Kita bahkan dapat dengan mudah menerapkan doktrin Timur Jauh tentang komplementaritas dari yin dan yang serta kehadiran yin di dalam yang dan yang di dalam yin pada hubungan mendasar antara cinta dan keindahan ini. Singkatnya, keduanya tak terpisahkan pada tingkat tertentu, karena bagaimana mungkin orang tidak mencintai apa yang indah dan bagaimana mungkin sesuatu yang kita cintai tidak akan tampak indah pada tingkat tertentu (dan bukan hanya pada bentuk lahiriah dan tampilan luarnya)?

Dengan cara yang sama Al-Quran dan Hadis berbicara tentang cinta, keduanya juga berbicara tentang keindahan dan bahkan Al-Quran merujuk kepada Nama Tuhan, yang mengungkapkan Sifat-Nya kepada kita, sebagai nama yang indah. Ada Hadis, kumpulan ucapan Nabi mengatakan, “Tuhan itu indah dan Dia mencintai keindahan” secara praktis merupakan dasar estetika Islam. Selain itu, Nama-Nama Allah secara keseluruhan disebut Nama-Nama yang Indah. Dua istilah dasar yang digunakan untuk keindahan dalam sumber-sumber dasar Islam pada umumnya dan Tasauf khususnya adalah husn atau ihsān, dan jamāl. Yang terakhir ini adalah Nama Allah, sebagaimana disebut di dalam hadis yang sudah dikutip—dan juga disebutkan di dalam Al-Quran—sementara yang pertama menyangkut Allah sekaligus manusia, serta jalan kepada-Nya. Husn dalam bahasa Arab pada saat bersamaan berarti keindahan, kebaikan, dan keutamaan, yang dari sudut pandang Sufi tidak lain daripada keindahan jiwa. Tasauf itu sendiri didefinisikan sebagai ihsān, yang, seperti dijelaskan oleh sebuah hadis qudsi, berarti menyembah Allah seakan-akan kita melihat Dia dan jika kita tidak melihat-Nya, seolah-olah Dia melihat kita. Jalan menuju Taman Kebenaran ditutupi oleh berbagai bentuk keindahan yang semuanya merupakan teofani Keindahan Wajah Sang Kekasih, dan jalur ini tidak bisa ditempuh kecuali oleh orang yang menghias jiwanya dengan keindahan. Lalu bagaimanakah para Sufi memahami kenyataan penting ini dalam kehidupan ruhani?

Seperti halnya wujud, keindahan adalah kenyataan universal yang tidak dapat dibatasi, dan definisi logis tidak merangkum semua kenyataannya. Kita dapat menunjuk kepadanya dalam kontras dengan kejelekan, namun itu tidak mencukupi karena pada intisarinya keindahan melampaui dualisme, termasuk dualisme biasa keindahan dan kejelekan, yang kita alami melalui indera kita. Akan tetapi, sebagian guru bijak selama berabad-abad telah berusaha untuk mendefinisikan keindahan. Salah satu yang paling termasyhur adalah Plato, yang mengatakan, “Keindahan adalah kecemerlangan Kebenaran.” Kaum Sufi akan siap untuk menerima pernyataan ini, kecuali bahwa mereka akan menambahkan bahwa karena Kebenaran juga Kenyataan dalam perspektif mereka, seperti terlihat dalam kata al-haqīqah, yang berarti keduanya, keindahan dapat dikatakan sebagai kecemerlangan Kenyataan itu sendiri. Semua kenyataan memancar dari yang Satu, Yang merupakan satu-satunya Realitas mutlak yang juga Keindahan mutlak. Ketika yang Satu mewujudkan yang banyak pada berbagai tingkatan eksistensi kosmik, Keindahan mutlak ini juga mewujud bersamaan dengan eksistensi, di mana ia seperti aura di sekitar matahari. Apa yang tampak jelek oleh kita muncul dari non-eksistensi yang menampakkan diri sebagai eksistensi. Karena eksistensi itu sendiri memancar dari yang Nyata, yang auranya adalah keindahan, yang muncul sebagai kejelekan merupakan akibat tiadanya cahaya Wujud dan bayangan yang terbentuk sebagai akibat jauhnya jarak dari Sumber cahaya ini.

Kaum Sufi juga setuju sepenuhnya dengan Plato ketika dalam Philebus ia menegaskan bahwa keindahan adalah bagian dari realitas hal-hal dan tidak bergantung pada apresiasi subyektif atau persepsi kita mengenainya. Keindahan adalah bagian dari realitas objektif setiap wujud. Ia tidak tergantung pada penontonnya kecuali hingga sejauh mana setiap penonton itu mempersepsi keindahan sesuai partikularitas jiwanya dan hingga sejauh mana jiwanya indah dan mampu mengapresiasi keindahan. Tetapi itu tidak berarti bahwa keindahan semata-mata berdasarkan pada penilaian subjektif kita, sebagaimana ketidaktahuan kita tentang struktur geologi sebuah gunung karena kurangnya pengetahuan kita tidak membuat struktur itu menjadi subjektif. Ya, kita harus melatih mata dan telinga kita untuk melihat dan mendengar keindahan, dan itu hanya dapat dilakukan, dalam peristilahan spiritual, jika jiwa telah terlatih dan dibiasakan dan dibuat indah melalui perolehan kebaikan. Akan tetapi, pelatihan ini bukan satu-satunya syarat sejauh menyangkut apresiasi pada manifestasi keindahan universal. Tentu saja juga diperlukan penguasaan bahasa formal yang digunakan untuk mewujudkan jenis keindahan tertentu. Seorang Persia lazimnya tidak bisa mengapresiasi keindahan Sanctus dari Mass in B Minor karya Bach atau seorang Jerman pada keindahan musik raga India tanpa pelatihan tentang “bahasa” formal yang digunakan. Namun beberapa jenis keindahan bersifat universal dan melintasi kekhasan budaya. Bagi mereka yang mengapresiasi keindahan alam, pegunungan Himalaya menunjukkan keagungan dan keindahan yang nyata, yang diapresiasi manusia baik yang berasal dari Brasil, Nigeria, ataupun Jepang. Dan keindahan seorang manusia dapat dipersepsi ke mana pun orang tersebut pergi di muka bumi. Bahkan dalam domain seni, di mana masing-masing peradaban memiliki bahasa formal yang berbeda, beberapa adikarya besar menampilkan keindahan universal. Kita hanya perlu mengingat Chartres Cathedral, Alhambra, atau lukisan Sung. Singkatnya, pelatihan jiwa dalam bahasa formal berbagai kesenian dalam banyak kasus harus menyertai pendekorasian jiwa dengan keindahan batin, sementara Allah telah memanifestasikan keindahan dengan cara tertentu sehingga beberapa jenis keindahan melintasi seluruh batas budaya seolah-olah untuk mengingatkan kita bahwa Keindahan seperti itu dimiliki oleh yang Tak Berbentuk dan melampaui partikularitas semua “bahasa” formal.

Dalam Tasauf estetika tidak terpisah dari disiplin rohani dan etika. Orang tidak dapat terbang dengan sayap keindahan menuju kebebasan dunia spiritual tanpa disiplin dan tanpa menjadi sadar dan mencintai Keindahan mutlak Allah yang dirindukan oleh jiwa, terlepas apakah ia menginsafinya atau tidak, dalam pencariannya akan setiap bentuk keindahan duniawi. Pencarian ini tidak mungkin dilakukan tanpa etika dan disiplin rohani. Seperti yang pernah dikatakan oleh Plotinus, yang disebut kaum muslim Shaykh, atau guru rohani, dari Yunani, jiwa mengejar keindahan dan keindahan merupakan manifestasi dari kuasa rohani yang menggerakkan semua tingkatan realitas. Kaum Sufi sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, yang dulu pernah mendominasi estetika Barat namun kemudian terpinggirkan di Barat bersama ajaran Neoplatonik tentang subjek ini, pada abad kedelapan belas.

Bagaimanakah keindahan yang didambakan jiwa ini dirasakan dan dialami? Karena keindahan bersemayam di kedalaman jiwa, dan pada saat yang sama jiwa pun mendambakannya, Allah telah menjadikannya dapat dialami melalui semua fakultas, baik lahiriah maupun batiniah, yang dimiliki oleh jiwa itu. Semua indera lahiriah kita dapat merasakan keindahan terutama fakultas penglihatan dan pendengaran. Bahkan, kerap kali ketika kita merujuk pada keindahan, keindahan yang terdengar atau terlihatlah yang ada dalam pikiran kita. Tetapi fakultas batiniah dari jiwa kita juga dapat mempersepsi citra-citra keindahan yang tersembunyi dari mata lahiriah kita. Fakultas imaginal dapat mempersepsi citra-citra yang indah. Pikiran dapat melihat keindahan bentuk-bentuk matematis dalam dunia matematika murni terlepas dari alam material. Ia juga dapat memahami harmoni, yang tak dapat dipisahkan dari keindahan. Akal yang bersinar di dalam diri kita dapat merenungkan yang dapat dipahami secara murni dan alam malakuti. Adapun hati, ketika matanya dibuka, ia dapat melihat Keindahan wajah sang Kekasih itu sendiri. Melalui cara apa pun kesadaran kita berhubungan dan menjadi sadar akan realitas objektif, ada kemungkinan untuk mengalami keindahan, sebuah kualitas yang menjalari semua tingkatan dan modus keberadaan.

Walaupun keindahan ada di mana-mana, entah kita menyadarinya atau tidak, keindahan juga memiliki hierarki, sebagaimana halnya pada realitas, wujud dan cinta. Keindahan tertinggi adalah keindahan Realitas Tertinggi; keindahan mutlak adalah keindahan dari yang Mutlak. Bahkan keindahan paling intens yang dialami di dunia ini dalam wajah indah seseorang yang dicintai atau karya seni terhebat alam yang perawan atau bahkan semerbak jiwa seorang suci merupakan pantulan dari Keindahan ilahi. Mutlak dan tak terbatas secara sekaligus, Keindahan ini dapat dialami Kecantikan tetapi tidak dijelaskan dalam kata-kata manusia, sebagai realitas yang benar-benar tak terucapkan. Keindahan ini merupakan mahkota dari hierarki keindahan dan pada saat yang sama sumber setiap bentuk keindahan. Di bawahnya dalam hierarki itu terdapat keindahan dunia yang terpahamkan secara murni dan dunia malakuti, dan setelah itu dunia ruang-waktu yang mencerminkan dunia arketipal dan terpahamkan hampir secara langsung. Kategori terakhir bentuk-bentuk yang terikat oleh waktu dan ruang ini tentu saja mencakup alam perawan sebagaimana yang diciptakan oleh sang Seniman Tertinggi dan karenanya mencerminkan keindahan Penciptanya dengan sangat mencengangkan. Seni suci yang didasarkan pada inspirasi surgawi dan yang memungkinkan pengalaman langsung dunia spiritual dalam bentuk material juga termasuk dalam kategori ini.

Menurut ucapan Hermetik termasyhur, “Apa yang terendah melambangkan apa yang tertinggi.” Prinsip ini juga berhubungan dengan pengalaman keindahan Meskipun dunia material merupakan yang terendah dalam hierarki eksistensi, ia mencerminkan dunia tertinggi. Keindahan suatu bentuk material dengan demikian dapat mencerminkan keindahan tertinggi dan akhirnya Keindahan Ilahi. Banyak Sufi sepanjang zaman telah sepenuhnya sadar akan kebenaran ini dan memandang setiap bentuk yang indah sebagai bentuk pantulan Keindahan Wajah Dia.

Adapun mengenai keindahan manusia penting untuk dijelaskan di mana kedudukannya di dalam hierarki ini. Karena keadaan manusia mencakup semua tingkat keberadaan di dalam dirinya sendiri, dapat dikatakan bahwa manusia dapat merangkul seluruh hierarki. Manusia dapat memiliki keindahan fisik, keindahan karakter, keindahan jiwa, keindahan pikiran dan akal, dan keindahan hati. Dalam wilayah keduniaan, manusia sebenarnya merupakan bentuk keindahan tertinggi, terutama keindahan Manusia Universal, yang di dalamnya semua kemungkinan manusia terwujudkan. Adapun keindahan fisik bagi manusia biasa, itu adalah pemberian Allah, terutama ketika seseorang masih belia. Ketika kita semakin tua tindakan-tindakan kita yang didasarkan pada pilihan dan kehendak bebas akan semakin tercermin di dalam penampilan luar kita, dan kecantikan batin, dalam kasus orang-orang yang memiliki keindahan seperti itu, mulai mendominasi tampilan luar sementara keindahan lahiriah pemberian Allah akan semakin memudar. Tetapi keindahan lahiriah bukannya tidak berarti. Itu sebenarnya merupakan sebuah berkah yang besar dari Allah, membawa bersamanya banyak hak istimewa tetapi juga tanggung jawab besar. Kaum Sufi sering mengatakan bahwa merenungkan keindahan wajah seorang perempuan bagi seorang Sufi laki-laki adalah jalan yang paling langsung untuk merenungkan Keindahan Ilahi, dan yang sebaliknya juga benar. Ibn ‘Arabī dan Syabistarī, misalnya, menulis bagaimana setiap sisi wajah perempuan mengungkapkan Sifat Tuhan dan menyingkapkan sebuah Misteri Ilahi. Ibn ‘Arabī menulis ketika berada di Makkah dia bertemu dengan seorang wanita Persia muda dan ketika melihat wajahnya semua ilmu esoterik seolah-olah secara tiba-tiba terungkapkan baginya. Singkatnya, kaum Sufi, baik laki-laki maupun perempuan, bukan hanya pecinta Allah, tetapi mereka juga pencinta keindahan, yang tak dapat dipisahkan dari Realitas Ilahi dan yang, karena terkait dengan ketidakterbatasan Ilahi, menghadirkan kedamaian total dan membebaskan jiwa dari semua belenggu yang membatasi keberadaan.

Meskipun banyak Sufi gencar mengejar keindahan dan bentuk-bentuk yang indah, ada beberapa yang memperingatkan terhadap pencarian akan keindahan jika jiwa belum bersiap untuk pengalaman total Keindahan melalui bentuk-bentuk yang indah dengan membersihkan diri batinnya dari berbagai ketidaksempurnaan dan keburukan. Persis karena keindahan menarik jiwa, ia juga dapat menjebaknya dan bertindak sebagai sarana yang kuat untuk mengalihkannya dari Sumber segala keindahan. Itulah mengapa beberapa guru bijak dan mistikus di semua agama menganggap keindahan sebagai pedang bermata dua dan mencoba untuk menahan diri mereka dari mengapresiasi bentuk-bentuk lahiriah keindahan pada tahap tertentu dalam perjalanan spiritual. Orang-orang seperti itu disebut asketik (zuhhād dalam Islam), dan ada banyak orang yang demikian dalam sejarah awal Tasauf sebelum dimensi cinta dan pengetahuan mekar sepenuhnya. Tokoh-tokoh ini, sebenarnya, mempersiapkan landasan yang diperlukan bagi perkembangan itu. Apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang suci dan peramal seperti itu adalah bahwa jiwa jangan sampai terperangkap di dalam sesuatu yang terbatas dan menghalanginya untuk naik ke tingkat kesempurnaan. Dengan demikian mereka berkonsentrasi hanya pada Allah sebagai yang Esa melebihi semua manifestasi dan segala bentuk.

Bahaya yang menjadi keprihatinan mereka berkaitan dengan kekeliruan menganggap suatu bentuk keindahan yang terbatas sebagai realitas yang mandiri, terlepas dari Allah sebagai Sumber segala keindahan. Persis lantaran sifat keindahan itulah maka ia memiliki kekuatan untuk menarik kepada dirinya sendiri dalam cara tertentu sehingga jiwa lupa akan Sumber keindahan ini dan juga fakta bahwa keindahan bentuk duniawi bersifat sementara. Tak banyak orang yang teralihkan dari Allah lantaran sesuatu yang buruk. Biasanya yang menyibukkan jiwa dan menjauhkannya dari Taman Kebenaran adalah sebuah bentuk yang memiliki beberapa jenis keindahan, yang padanya jiwa kemudian menjadi tertarik. Bayangan Keindahan Wajah Dia mulai bersaing di dalam jiwa dengan Keindahan mutlak, disebabkan oleh ketidaktahuannya jiwa tidak dapat membedakan antara yang Nyata dan pantulannya. Singkatnya, dalam visi Tasauf yang integral, keindahan akan tetap menjadi kenyataan di pusat kehidupan spiritual. Taman Kebenaran itu indah, dan tak seorang pun dapat memasukinya yang tidak menghargai keindahan dan yang tidak indah secara batin, yang tidak dapat membedakan antara keindahan dan kejelekan, yang berkaitan dengan mencermati perbedaan antara yang nyata dan tak nyata, yang salah dan yang benar.

Keindahan tidak dapat dipisahkan dari yang nyata dan benar karena, seperti mereka, ia mendampingi pantulan dari yang Esa di dalam yang banyak. Ia membukakan pintu bagi yang terbatas menuju yang Tidak Terbatas dan membebaskan jiwa dari kungkungan bentuk-bentuk terbatas, meskipun ia termanifestasi dalam tatanan formal. Harmoni merupakan hasil dari pantulan yang Esa di dalam yang bermacam-macam, dan karena itu ia terkait erat dengan keindahan. Objek keindahan memiliki harmoni kualitatif yang terkait dengan realitas seperti warna. Mereka tidak hanya dapat memiliki harmoni kualitatif tetapi juga kuantitatif. Ini dapat ditemukan, misalnya dalam musik, yang, di samping kualitas suara, terkait secara kuantitatif dengan pengukuran dan matematika, disiplin yang dipelajari dalam sains harmonik. Seni Islam dicirikan oleh proporsi harmonis, kejelasan matematis, dan berbagai tingkat simetri.

Dalam dunia spiritual lainnya yang tidak simetris juga dapat menjadi kendaraan bagi keindahan, sebagaimana yang dapat kita lihat pada taman Zen, tetapi dalam perspektif Sufi simetri biasanya dianggap terkait dengan harmoni dan harmoni dengan keindahan. Keindahan jenis ini melibatkan akal, dan kemampuan akal untuk mengerti, termasuk keindahan matematis, dianggap sebagai kualitas keindahan yang dirasakan pada tingkatan yang tinggi. Di bawahnya terletak keindahan yang dicerap oleh pancaindera dan di atasnya keindahan tak terlukiskan dari dunia yang mentransendensi segala bentuk. Tetapi seperti yang sudah disebutkan, semua tingkat keindahan ini adalah pantulan dari Keindahan puncak Wajah sang Kekasih, yang dialami oleh kita manusia saat berada dalam keadaan Surgawi.

Pengalaman keindahan itu masih berdiam jauh di dalam jiwa. Salah satu fungsi keindahan dalam kehidupan manusia adalah untuk memunculkan ingatan tentang Keindahan surgawi. Jika dipahami secara spiritual, keindahan itu sendiri menjadi sarana pemusatan perhatian dan penemuan kembali watak sejati kita sebagaimana Allah telah menciptakan kita, watak yang masih kita bawa jauh di dalam diri kita meskipun sudah terlupakan sebagai akibat dari kejatuhan kita ke dalam keadaan ketidaktahuan dan tidak lagi mengenal siapa diri kita. Setelah menjadi sepenuhnya terlahiriahkan (exteriorized), kita cenderung untuk hanya melihat pada bentuk lahiriah dan mencari keindahan lahiriah, sedangkan para Sufi merenungkan, melalui bentuk-bentuk lahiriah, makna batiniahnya dan keindahan batiniah yang terkandung di dalamnya. Seperti kata penyair Sufi Persia abad ketiga belas Awhad al-Dīn Kirmānī,

Lalu aku memandang wajah dunia dengan mata optik,
Karena bentuk lahiriah membawa tanpa Makna batin.
Dunia tak lain adalah bentuk dan kita harus hidup dalam bentuk:
Kita tak dapat melihat Makna lahiriah kecuali dalam bentuk.

Menurut hadis Nabi, Allah telah menuliskan keindahan di atas wajah segala sesuatu. Inilah wajah yang dipalingkan setiap makhluk kepada Allah. Realisasi spiritual berarti melihat wajah ini dan keindahan yang tertulis di atasnya serta mendengarkan musik indah dari seruan setiap makhluk, yang membentuk inti eksistensinya. Ini berarti melihat bentuk-bentuk dalam kebeningan metafisikal mereka dan bukan kegelapan lahiriah mereka. Kebeningan itu tak terpisahkan dari keindahan karena ia seperti jendela yang melaluinya Cahaya dari yang Tak Berhingga dan bersamanya pantulan dari Keindahan-Nya memasuki substansi bentuk itu sendiri, membuatnya menjadi kendaraan yang, melalui kecantikan mereka, membawa kita kepada yang Tak Berbentuk dan kepada Sumber dari semua keindahan.

Ya Tuhan Engkau yang paling mengetahui itu kini dan nanti,
Kami tidak melihat apa pun kecuali keindahan Wajah-Mu
Yang indah di dunia ini adalah cermin dari Keindahan-Mu
Kami telah melihat di Wajah Raja yang Maha Perkasa.

Akan tetapi, untuk meraih tujuan perenungan Keindahan Allah di dalam bentuk-bentuk duniawi, jiwa harus memperoleh kembali keindahan realitas purbanya, yang tak lain dari ihsān, dan yang dengan demikian juga berarti menjadi berhiaskan kebajikan-kebajikan—kebajikan yang memperindah jiwa dan yang akhirnya merupakan milik Allah. Jiwa yang indah tertarik kepada Keindahan Ilahi seperti ngengat tertarik kepada cahaya lilin dan senantiasa mengalami di dalam setiap keindahan duniawi Keindahan Ilahi dari sang tukang Kebun di Taman Kebenaran, sebuah keindahan yang tak terpisahkan dari tujuan akhir kehidupan manusia.

Para raja menjilati tanah yang darinya keindahan ini dibuat,
Sebab Allah telah mencampur di dalam tanah berdebu
Seteguk keindahan dari cangkir paling terpilih-Nya.
Inilah dia, kekasih tersayang—bukan bibir tanah liat itu—
Yang engkau kecup dengan ratusan gairah,
Maka bayangkanlah, seperti apa kiranya andai ia tak bercela!
Rūmī

KEDAMAIAN

Kita tidak dapat membicarakan makna spiritual keindahan tanpa berpaling kepada soal kedamaian. Keindahan menarik jiwa, dan di dalamnya jiwa menemukan semua yang dicarinya. Jadi mengapa pergi ke tempat lain? Mengapa dia terusik? Menyaksikan keindahan membutuhkan ketenangan dan kesenangan, ketenteraman dan kedamaian. Dalam tatanan formal, selama jiwa tertarik oleh keindahan bentuk tersebut, ia tetap dalam keadaan damai, tetapi dalam banyak kasus jiwa segera berhadapan dengan keterbatasan eksistensi dari bentuk dan, mendapati keterbatasan ini bersifat membelenggu, mengalihkan perhatiannya ke tempat lain dan meninggalkan keadaan damai karena usikannya. Akan tetapi, bagi kaum Sufi, keindahan bentuk merupakan simbol dan pantulan dari arketipe surgawinya, yang ia renungkan melalui bentuk tersebut. Keindahan bentuk dengan demikian mengantarkan orang seperti itu kepada wajah Keindahan Tak Terbatas, tempat ditemukannya kedamaian sejati. Dalam Keindahan Tak Terbatas tidak terdapat batasan eksistensial, dan tidak ada yang dapat mengganggu keadaan mengalami kedamaian tertinggi seperti itu dengan mengalihkan perhatian jiwa ke tempat lain karena jiwa berada dalam keadaan di mana pada kenyataannya tidak ada tempat lain baginya untuk beralih. Ini adalah sebuah keadaan yang oleh sebagian Sufi Asia Tengah disebut perdamaian universal (shulh-i kull). Itu adalah ketika kedamaian yang diraih ketika seseorang terbenam di dalam Realita yang melampaui semua ketegangan dan dualisme, di mana hal-hal yang berlawanan bertemu, coincidentia oppositorum .

Adalah luar biasa bahwa jiwa manusia mendamba kedamaian sementara hidup di dunia yang penuh dengan perselisihan, pertikaian, perlawanan, perjuangan, dan peperangan. Apabila kita merenungkan istilah peace, shalom, shanti, dan salam dalam Kekristenan, Yudaisme, Hindu, dan Islam secara berturut-turut dan penggunaannya di mana-mana oleh para pengikut agama ini, serta istilah dengan arti yang sama yang digunakan di tempat lain, kita menjadi sadar akan keuniversalan kerinduan ini. Tasauf menekankan pentingnya kerinduan ini di dalam jiwa dan pentingnya mewujudkan tujuan dari kerinduan ini. Tetapi kaum Sufi berulang kali menekankan bahwa perdamaian ini tidak dapat ditemukan di dunia oposisi dan dualisme sementara kita tetap terikat ke dunia ini, itu hanya dapat ditemukan dengan mentransendensi dunia ini dan meraih Realitas Ilahi, yang sebagai Keindahan mutlak, juga merupakan kedamaian mutlak. Seperti yang dikatakan:

Tiada ketenteraman kecuali di dalam rengkuhan ruhani Kebenaran Ilahi (haqq).

Menurut Al-Quran dan sebuah hadis Nabi, ucapan sambutan dari para penghuni Surga, Taman itu, adalah salām atau damai; itulah ucapan salam yang biasa di kalangan Muslim, al- salām ‘alaykūm, atau “damai atasmu.” Nah, Taman itu bersinar dengan keindahan yang agung, yang dulu kita saksikan sebelum Kejatuhan kita dan orang-orang yang diberkati akan kembali mengalaminya setelah kematian. Keindahan seperti itu tidak dapat tidak kecuali berpadu dengan kedamaian dan ketenangan. Jiwa yang tidak merasakan ketenangan di dalam Keindahan Ilahi tidak layak mendapatkan Surga. Dia bahkan harus membawa ketenangan batin dan ketenangan jiwa ke ranah surgawi melalui pencapaian kebajikan-kebajikan spiritual agar dapat memasuki Taman itu dan mampu memetik manfaat dari kedamaian di ranah yang ke dalamnya jiwa-jiwa yang diberkati diperbolehkan masuk. Dengan cara yang sama jiwa yang diberkati harus menambahkan sesuatu pada Bait jannati agar orang itu layak untuk berada di sana.

Singkatnya, damai (al-salām) berada pada level tertinggi Nama Tuhan, dan Allah adalah kedamaian itu sendiri sekaligus pemberi kedamaian, karena Dia adalah indah dan sumber segala keindahan. Al-Quran menegaskan dalam sebuah ayat yang memainkan peran penting dalam amalan Sufi, ” Dialah yang telah menurunkan ketenangan (al-sakīnah) ke dalam hati orang-orang mukmin” (QS Al-Fath [48]:4). Sakīnah ini, yang memiliki kesesuaian dengan Shekinah menurut Kabbalis, merupakan kedamaian yang bersifat surgawi dan berpadu dengan rahmat, karena Allah adalah sumber langsungnya. Tetapi kita harus siap untuk menerima karunia yang besar ini dengan menyelaraskan diri dengan kebenaran, beriman dan mencintai Allah, dan mengarahkan jiwa kita kembali kepada Sumber dari semua keindahan dengan cara mengamalkan kebajikan. Melihat Keindahan Wajah sang Kekasih tidak dapat dipisahkan cinta mutlak dan tak bersyarat pada Dia yang Sendirinya mutlak dan tak bersyarat, dan ini dipisahkan dari mengalami kedamaian “yang melampaui semua pemahaman.”

Mari kita ingat bahwa jalan spiritual melibatkan pengetahuan, di satu sisi, serta cinta dan keindahan, di sisi yang lain. Akan tetapi, konsekuensi berikut mengikuti jalan ini juga menyebabkan diraihnya kedamaian yang didambakan jiwa. Selain itu, seperti yang kita akan lihat dalam bab berikutnya, jalan pengetahuan, cinta, dan keindahan memerlukan tindakan benar dan baik, yang tanpanya seseorang tidak dapat menyadari sepenuhnya pengetahuan ilahi dan tidak akan mampu untuk mencintai Allah dan melihat Keindahan-Nya dengan sepenuhnya wujud dirinya. Akibatnya, tanpa kebaikan dan kebajikan orang tidak bisa mencapai perdamaian yang pada tingkatannya yang paling mendalam tidak dapat dipisahkan dari keindahan dan yang kita semua cari jauh di kedalaman diri kita bahkan di tengah hiruk-pikuk, kekacauan, dan ketegangan dunia tempat kita hidup.

cuplikan dari buku
GARDEN OF TRUTH
Seyyed Hossein Nasr
Penerbit Mizan