Rabu, Oktober 03, 2012

INSTRUMEN PENELITIAN

INSTRUMEN PENELITIAN
MUHAMMAD NANANG QOSIM


BAB I
Pendahuluan
    Instrumen merupakan Alat yang di pakai untuk mengerjakan sesuatu sarana penelitian (berupa perangkat tes dsb) untuk memperoleh data sebagai bahan pengolahan. (Kamus Besar indonesia edisi ketiga Hal: 437).
    Penelitian adalah kegiatan pengmpulan, pengolahan analisa dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prisip umum. (Kamus Besar indonesia edisi ketiga).
    Instrumen penelitian merupakan alat yang dipakai suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suau hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prisip umum.













BAB II
Pembahasan
Keberhasilan penelitian banyak ditentukan oleh instrumen yang digunakan, sebab data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaa penelitian (masalah) dan menguji hipotesis  diperoleh mellui instrumen. Instrumen sebagai alat pengumpul data harus betul-betul empiris sebagaimana adanya. Data yang salah atau tidak menggambarkan data empiris bisa enhyesatkan peneliti, sehingga kesimpulan penelitian yang ditarik atau dibuat peneliti bisa keliru.  Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam menyusun instrumen penelitian, antara lain :
1.    Masalah Variabel yang diteliti termassuk indikator variabel, harus jelas dan spesifik sehingga dapat dengan mudah menetapkan jenis instrumen yang akan digunakan.
2.    Sumber  data/informasi baik jumlah maupun keragamannya harus diketahui  terlebih dahulu sebagai bahan atau dasar dalam menentukan isi, bahasa, sistematika item dalam instrumen penelitian.
3.    Keterandalan dalam instrumen itu sendiri sebagai alat pengumpulan data baik dari keajegan, kesahihan maupun objektivitasnya.
4.    Jenis data  yang diharapkan dari penggunaan instrumen harus jelas, sehingga peneliti dapat memperkirakan cara analisis data guna pemecahan masalah penelitian.
5.    Mudah dan praktis digunakan akan tetapi dapat menghasilkan data yang diperlukan.
Apabila mengkaji hakikat instrumen penelitian, peneliti sebaiknya memperhitungkan terlebih dahulu jenis data manakah yang diperlukan dalam penelitian. Apakah data kuantitatif atau data kualitatif? Apakah data nominal, ordinal, interval atau data rasio ? apakah data primer atau data sekunder? Data kuantitatif data yang berkenaan dengan jumlah atau kuantitas, yang dapat dihitung dan simbolkan dengan ukuran-ukuran kuantitas.  Data kualitatif berkenaan dengan nlai kualitas seperti baik, sedang, kurang, dan lain-lain. Data kualitatif jika perlu dapat disimbolkan dengan ukuran-ukuran kuantitatif, asal ada kriteria yang jelas dan ajeg penggunaannya.
    Data nominal adalah data kategori, yakni klasifikasi atau penggolongan. Data ordinal adalah data yang memiliki penggolongan dan urutan (order) berdasarkan kriteria tertentu, misalnya ranking, nomor urutan. Data interval adalah data yang memiliki sifat penggolongan, urutan, dan harga atau nilai.
    Misalnya data mengenai prestasi belajar. Data rasio adalah data yang memiliki sifat-sifat kategori, ordinal, interval, dan memiliki standar yang pasti. Misalnya, data hasil pengukuran dengan alat yang baku seperti meter untuk ukuran panjang, kilogram untuk ukuran berat, celcius untuk ukuran suhu dan lain-lain. Data primer adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, sedangkan data sekunderdiperoleh dari tangan kedua seperti laporan, dokumentasi, nilai rapot, nilai ujian dan lain-lain.
A.    Jenis-jenis Instrumen
Instrumen penelitian sebagai alat pengumpul data , dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain :
1.    Tes
Tes adalah alat pengukur yang berharga bagi peneitian pendidikan. Tes ialah seperangkatseperangkat rangsangan (stimulus) yang diberikan kepada seorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dapat di jadikan dasar bagi penetapan skor angka. Persyaratan pokok bagi tes adalah Validitas dan reliabilitas. Dua jenis tes yang sering dipergunakan sebagai alat pengukur adalah :
a.    Tes lisan, yaitu berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara lisan tentang aspek-aspek yang ingin diketahui keadaannya dari jawaban yang diberikan secara lisan.
b.    Tes tertulis, yaitu berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara tertulis tentang aspek-aspek yang ingin diketahui keadaannya dari jawaban yang diberikan secara tertulis. Tes tertulis ini dibedakan dalam dua bentuk yaitu ;
(1)    Tes essay (essay test) yaitu tes yang menghendaki agar testee memberikan jawaban dalam benuk uraian atau kalimat-kalimat yang disusun sendiri.
(2)    Tes objektif adalah suatu tes yang disusun di mana setiap pertanyaan tes disediakan alternatif jawaban yang dipilih. Tes ini dapat menghasilkan skor konstan, tidak tergantung kepada siapa pun yang memberi skor tidak dipengaruhi oleh sikap subjektivitas. Tes subjektif diberi ke dalam beberapa bentuk berikut ini :
(a)    Tes betul-salah (true false items)
(b)    Tes pilihan Ganda (multiple choice items)
(c)    Tes menjodohkan (matcing items)
(d)    Tes melengkapi (completion items)
(e)    Tes jawaban singkat (short answer items)
(Mechrens dan Lechman, 1975)
Dilihat dari tingkatannya tes dapat diklasifikasikan menjad dua tes baku dan tes buatan penliti sendiri. Tes baku adalah tes yang dipublikasikan dan telah disiapkan oleh para ahli secara cermat sehingga norma-norma perbandingan, validitas, reliabilitas dan petunjuk pemberian skornya telah di uji dan disiapkan. Tes buatan sendiri, agar dapat dipergunakan sebagai alat pengukuran perlu diperhatikan beberapa hal berikut :
(1)    Tes harus valid
Tes disebut valid apabila tes tersebut benar-benar dapat mengungkapkan asek yang diselidiki secara tepat, dengan kata lain harus memiliki tingkat ketepatan yang tinggi dalam mengungkap aspek-aspek yang hendak diukur.
(2)    Tes harus realiabel
Tes dikatakan reliabel apabla tes tersebut mampu memberikan hasil yang relatif tetap apabila dilakukan secara berulang pada kelompok individu yang sama. Dengan kata lain tes itu memiliki tingkat ketetapan yang tinggi dalam mengungkap aspek-aspek yaang hendak diukur.
(3)    Tes harus objektif
Tes dikatakan objektif apabila dalam memberikan nialai kuantitatif terhadap jawaban, unsur sobjektivitas penilai tidak ikut mempengaruhi.
(4)    Tes harus bersifat diagnostik
Tes bersifat diagnostik apabila tes memiliki daya pembeda dalam arti mampu memilah-milah individu yang memiliki kemampuan yang tinggi sampai dengan angka terendah dalam aspek yang akan diungkap. Untuk itu harus dilakukan perhitungan tingkat kesukaran butir tes dan analisa butir tes. Tingkat kesukaran berupa indeks P = 100 dari satu butir tes yang termudah sampai indeks P = 0,00 dari satu item tes yang tersukar. Keadaan ini harus tersebar sedemikian rupa di dalam tes. Penyebarannya disarankan sebagai berikut 20% butir tes yang sukar 50% butir tes yang kesukarannya sedang, dan 30%butir tes yang mudah.
(5)    Tes harus efesien
Tes yang harus efesien yaitu tes yang mudah cara membuatnya dan mudah pula penilainnya.

2.    Wawancara dan kuisioner
Salah satu cara untuk memperoleh data ialah dengan jalan mengajukan pertanyaan. Wawancara dan kuesioner memakai pendekatan ini. Instrumen ini dapat digunakan untuk mendapatkan informasimengenai fakta, keyakinan, perasaan, niat, dan sebagainya. Meskipun wawancara dan kuesioner sama-sama menggunakan pendekatan bertanya, kedua metode tersebut mempunyai perbedaan penting.
a.    Wawancara adalah metode pengumpulan data yang sudah mapan dan yang, karena beberapa sifatnya yang  unik, masih banyak dipakai. Salah satu aspek wawancara yang terpenting ialah sifatnya yang luwes. “Rapport”  atau hubungan baik dengan orang yang diwawancarai dapat memberikan suasana kerjasama, sehingg memungkinkan diperolehnya informasi yang benar. Pewancara dapat mempertimbangkan macam orang yang diwawancarai serta situasi ketika wawancara itu dilakukan. Pewancara dapat menguraikan pertanyaan atau menjelaskan maksud pertanyaan it sekiranya pertanyaan tersebut kurang jelas bagi subjek. Kelebihan-kelebihan ini tidak terdapat dalam teknik pengumpulan data yang lain.
b.    Kuesioner
Kontak langsung dengan para subjek yang diperlukan dalam wawancara memakan banyak waktu serta mahal biayanya. Banyak informasi yang sama dapat dikumpulkan dengan perantaraan daftar pertanyaan tertulis yang diberikan kepada para subjek. Dibandingka dengan wawancara, daftar pertanyaan atau kuesioner tertulis ini lebih efesien dan praktis, serta memungkinkan digunakannya sampel yang lebih besar. Kuesioner banyak digunakan penelitian pendidikan. Keuntungan selnjutnya teknik ini adalah, karena semua subjek diberi instruksi yang sudah baku, maka hasil-hasil penelitian itu tidak akan diwarnai oleh penampilan, suasana perasaan, atau tingkah laku peneliti.
Yang Perlu Diperhatikan Dalam Membuat Kuesioner
•    Pakai bahasa yang sederhana, yang mudah dimengerti oleh responden, hindari menggunakan bahasa yang sulit dimengerti
Contoh:
•    Apakah Ibu mengikuti program ASI Eksklusif?
•    Apakah Ibu memberikan makanan tambahan selain ASI pada bayi ibu? (lebih mudah dimengerti)

3.    Daftar infertory
Mendapat ukuran kepribadian adalah bidang lain yang menarik perhatian para peneliti pendidikan. Ada beberapa jenis ukuran kepribadian , masing –masing mencerminkan sudut pandang teoritis yang berlainan. Sebagian mencerminkan teori tentang sifat dan jenis (traith and type theories), sedang yang lain berasala dari teori psikoanalitis dan motivasi. Peneliti harus mengetahui secara tepat lebih dulu apa yang diukurnya baru kemudian memilih instrumen, dengan memperhatikan bukti kevalidan instrumen. Tiga jenis ukuran kepribadian yang paling banyak dipakai adalah :
(1)    Daftar inventori (inventories)
(2)    Skala penilaian (rating scale) dan
(3)    Teknik proyektif
4.    Skala pengukuran
Skala Pengukuran menurut (Nazir, 1999), serta (Good dan Hatt, 1952) adalah cara mengubah fakta-fakta kualitatif yang melekat pada objek atau subjek penelitian (attribute) menjadi urutan kuantitatif. Pembuatan skala pengukuran ini dibuat dengan mendasarkan pada dua asumsi.
(1)    Ilmu pengetahuan pada akhir-akhir ini lebih cenderung menggunakan prinsip-prinsip matematika
(2)    Ilmu pengetahuan semakin menuntut presisi yang lebih baik utamanya dalam hal mengukur gradasi, misalnya sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, atau dalam urutan angka seperti contohnya, 4,3,2,1.
5.    Obsevarsi
Dalam banyak hal, pengamatan langsung secara sitematis terhadap tingkah lau merupakan metode yang disukai. Seorang peneliti menetapkan terlebih dahulu tingkah laku yang ingin diteliti, keudian memikirkan prosedur sistematis untuk menetapkan, menggolongkan, mencatat tingkah laku itu, baik dalam situasi wajar, ataupun yang “buatan”.
6.    Sosiometri
Teknik Sosiometris dipakai untuk mempelajari organisasi kelompok-kelompok sosial . prosedur dasarnya, meskipun dapat dimodifikasi dengan berbagai cara, berupa permintaan kepada para anggota suatu kelompok tertentu untuk menunjukan teman pilihan mereka yang pertama, kedua, dan seterusnya menurut kriteria tertentu, biasanya untuk sesuatu kegiatan tertentu pula.




















BAB III
Kesimpulan
Instrumen merupakan Alat yang di pakai untuk mengerjakan sesuatu sarana penelitian. Keberhasilan penelitian banyak ditentukan oleh instrumen yang digunakan, sebab data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaa penelitian (masalah) dan menguji hipotesis  diperoleh melalui instrumen. Instrumen sebagai alat pengumpul data harus betul-betul empiris sebagaimana adanya.
Tes adalah alat pengukur yang berharga bagi peneitian pendidikan. Tes ialah seperangkatseperangkat rangsangan (stimulus) yang diberikan kepada seorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dapat di jadikan dasar bagi penetapan skor angka.














DAFTAR PUSTAKA
Arief Furchan M.A, PHD.2007. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan.    Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Diknas.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Balai Pustaka. Jakarta
S. Margono, Drs.2005. Metodologi Penelitian Pendidikan.Pt Rineka Cipta. Jakarta
Suharsimi arikunto, Prof. Suahrdjono,Prof, Supardi, Prof. 2009. Penelitian Tindakan Kelas.  Bumi Aksara. Jakarta
Nana sayodikh. 2009. Metodologi penelitian tindakan kelas.. Rosda karya.bandung.
Nana sudjana, Dr dan Dr. Ibrahim, M.A.2007.Penelitian Dan Penilaian Pendidikan.Bandung. Sinar Baru Algesindo
Sukardi, Prof. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan, kompetensi dan praktinya. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Penggunaan Pendekatan filosofis, historis, semiotik, dan fenomologi sebagai sarana menafsirkan wahyu di era postmodern

 Penggunaan Pendekatan filosofis, historis, semiotik, dan fenomologi
sebagai sarana menafsirkan wahyu di era postmodern
Muhammad Nanang Qosim

A. PENDAHULUAN
Ketika pluralisme agama semakin didasari oleh banyak tokoh agama, entah lewat perkembangan pengetahuan, peradaban bangsa–bangsa atau yang lainnya, banyak pemikir agama islam mulai menaruh minat pada metodologi studi islam. Dari metode-metode itu ada yang bersifat a priori dan metafisik.
Kritik agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh umat agama dari jurusan lain, yakni yang dikembangkan oleh ilmu antropologi, historis, fenomenologi, filosofis, semiotika, sosiologi dll. Dari kelompok studi ini dengan dibandingkan dengan kelompok lain ialah karena mereka lebih tertarik pada praktik–praktik peribadatan, ritus, upacara–upacara yang konkret.
Metodologi studi Islam merupakan suatu usaha yang sistematis dalam membentuk manusia–manusia yang bersikap, berfikir, dan bertindak sesuai dengan ketentuan–ketentuan yang digariskan oleh agama Islam untuk keselamatan dan kebahagian hidupnya di dunia maupun di akhirat.
Maka perlu ada pengkajian dalam pendekatan islam pada era postmodern pada saat ini. Permasalah-permasalan yang muncul akibat zaman yang bergulir cepat dan analisis masalah-masalah keagamaan pada era saat ini masih tergolong tradisional.
B. PERMASALAHAN
1. bagaimana pendekatan filosofis, pendekatan historis, pendekatan semiotika dan pendekatan fenomenologi?
2. Apa tujuan dari pendekatan-pendekatan tersebut?



C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a) Pendekatan Filosofis
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenal sebab-sebab, asas-asas, hukum dsb terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Pengertian filsafat pada umumnyadikemukakan oleh Sidi Galzaba. Menurut beliau filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik formatnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita sering menjumpai berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlainan, namun inti semua pulpen adalah sebagai alat tulis.[1]
Berdasarkan pendekatan filosofis, Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan nilai-nilai ajaran Islam menurut konsepsi filosofis, bersumber kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendekatan filosofis ini memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembaangannya didasarkan kepada sejauh manan pengembangan berfikir dapat dikembangkan.
Dalam proses belajar mengajar, pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam, atau pada proses penciptaan manusia berasal, bagaimana proses kejadiannya sampai pada terciptanya bentuk manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, yaitu Allah SWT).
Dalam hal ini, Al-Qur’an benar-benar memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan pikirannya (rasio) secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selalau hamba Allah SWT, selaku makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi.
Pendekatan filosofis, Al Qur’an memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti dengan adanya pengahrgaan Allah SWT kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran (rasio). Ungkapan penghargaan tersebut terulang sebanyak 780 kali salah satu diantaranya adalah surat Al Baqarah: [2]: 269:[2][3]
b) Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis kea lam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada dasarnya kandungan Al-Qur’an, yaitu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religious yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintregasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, dan demikian lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah SWT, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara’ (orang-orang fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), dan sebagainya.
Jika pada bagian yang berisi konsep-konsep Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, Al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kejadian-kejadian historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersenbunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.[4]
Menurut buku Fenomenologi Agama historis adalah studi mengenai rangkaian ungkapan-ungkapan khusus, yang tidak dapat ditarik kembali, di mana ungkapan-ungkapan yang lebih akhir secara kumulatif dipengaruhi yang lebih dahulu. Pendekatan historis bisa dicapai melalui usaha memahami ungkapan-ungkapan itu dengan cara menghubukannya dengan konteks sejarah mereka dan memahami seluruh konteks dengan cara berpindah dari satu ungkapan ke ungkapan yang lain.
c) Pendekatan Semiotika
Merupakan suatu pendekatan atau metode analisis untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna arti dari suatu tanda atau lambang.[5] Dari pengertian tersebut yang perlu digarisbawahi yaitu bahwa para ahli melihat pendekatan semiotika merupakan suatu ilmu pendekatan atau proses yang berhubungan dengan tanda. Namun jika kita perhatikan, definisi yang diberikan nampaknya terlalu luas.
Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal tang menunjuk pada adanya hal lain.
Sebagaimana halnya para ahli semiotika membedakan tingkatan hubungan semiotika yaitu tataran sintaktik (sintactic level), tataran semantik (semantic level), tataran prakmatik (pracmatic level).
Selain itu terdapat tiga macam inkuiri semiotika yaitu semiotika murni (pure), deskrpsiptif (dercriptive), dan terapan (applied).
Semiotika murni berkenaan dengan desain metabahasa, yang seharusnya mampu membicarakan setiap bahasa yang menjadi objek semiotika. Karena sumbangannya bagi semiotika murni, seseorang mungkin menyebut karya.
d) Pendekatan Fenomenologi
Merupakan studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.[6] Pengikut fenomenologi agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religious, seperti korban, ritus, dewa-dewa, dan lain sebagainya.
Satu fenomena religious yang khusus tidaklah harus dianggap seolah hanya mempunyai satu arti; mungkin saja dan sungguh-sungguh mempunyai banyak arti bagi partisipan yang berbeda dalam tindak religious. Dengan menghubungkan apa yang dipahami oleh masing-masing partisipan, fenomenologi menerima suatu pemahaman diatas pemahaman banyak individu partisipan.
Metode fenomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermaksud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu.[7]





2. Tujuan dari beberapa Pendekatan
a. Pendekatan Filosofis
• Agar seseorang dapat menggunakan pemikiran atau rasio seluas-luasnya sampai titik maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga seseorang terlatih untuk terus berfikir dengan menggunakan kemampuan berfikirnya.
• Dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar mendapatkan hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
• Agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.[8]
b. Pendekatan Historis
• Seseorang dapat melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara alam idealis dengan alam empiris dan historis.
• Untuk mengenali berbagai macam konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret yaitu konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, konsep hari akhir dll.[9]
c. Pendekatan Semiotika
• Untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengatur agama Islam.
• Mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan dalam agama Islam dan membawanya pada sebuah kesadaran.[10]


d. Pendekatan Fenomenologi
• Untuk menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya.
• Untuk merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno atau menerangkan permasalahan suatu cerita dari mitos.
• Untuk menerangkan pokok-pokok dari praktik-praktik religious dan upacara-upacara orang-orang primitive.
• Untuk memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religious dengan kehidupan sekitar.[11]
3. Tokoh-tokoh dari berbagai pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
Dari pendekatan filosofis tokohnya yaitu Muhammad Al-Jurjawi yang berjudul “Hikmah Al-Tasyri’ wa falsafatuuhu” selain itu pula Louis O. Kattsof yang mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan adalah merenung.[12]
b) Pendekatan Historis
Salah satu tokoh dari pendekatan historis adalah Kuntowijoyo yang telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam.[13]
c) Pendekatan Semiotika
Beberapa tokoh pendekatan semiotika yaitu :



1. Charles Sanders Peirce
Adalah salah seorang filosof Amerika yang paling orisinal dan multidimensional yang lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839.
2. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure terkenal teori semiotikanya dengan tanda. Beliau berasal dari Swiss.
3. Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli semiotik dibidang linguistic pada abad kedua puluh.
d) Pendekatan Fenomenologi
Tokoh tokoh pendekatan fenomenologi yaitu
1. Husserl (1859-1939), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan agama islam.
2. Profesor G. van der Leeuw (1933) yaitu dengan menerbitkan buku “Phanomenologie der Religion”.[14]
4. Contoh- contoh dari berbagai pendekatan
a. Pendekatan Filosofis
Sebagai mahasiswa setiap harinya kita jumpai berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlain-lainan, namun inti semua pulpen itu adalah alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.

b. Pendekatan Historis
Seseorang yang ingin memahami Al-qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari turunnya Al-qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Al-qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-qur’an.
c. Pendekatan Semiotika
Asap menandai adanya api.
d. Pendekatan Fenomenologi
Cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, upacara pengguburan dan sebagainya.
D. KESIMPULAN
Dari makalah yang sudah dijelaskan di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengertian
a) Pendekatan Filosofis
Berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik formatnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.
b) Pendekatan Historis
Dapat disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah segala peristiwa yang dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
c) Pendekatan Semiotika
Merupakan suatu ilmu pendekatan atau proses yang berhubungan dengan tanda.
d) Pendekatan Fenomenologi
Merupakan studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
2. Tujuan dari beberapa pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
 Agar seseorang dapat menggunakan pemikiran seluas-luasnya sampai kepada titik maksimal dari daya tangkapnya
 Dapat digunakan dalam memahami agama
 Agar merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan
b) Pendekatan Historis
 Agar melihat adanya kesenjangan atau keselarasan
 Untuk mengenali berbagai macam konsep
c) Pendekatan Semiotika
 Untuk menunjukkan tanda-tanda/kaidah-kaidah
d) Pendekatan Fenomenologi
 Untuk menginterprestasikan suatu teks
 Untuk merekonstruksi suatu kompleks
 Untuk menerangkan pokok-pokok
 Untuk memahami struktur dan organisasi
3. Tokoh dari berbagai pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
 Muhammad Al-Jurjawi
 Louis O. Kattsof
b) Pendekatan Historis
 Kuntowijoyo
c) Pendekatan Semiotika
 Charles Sanders Peirce
 Ferdinand de Saussure
 Roman Jakobson
d) Pendekatan Fenomenologi
 Husserl
 Profesor G. van der Leeuw
4. Contoh-contoh dari berbagai pendekatan
a) Pendekatan Filosofis
 Berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlainan
b) Pendekatan Historis
 Seseorang yang ingin memahami Al-qur’an
c) Pendekatan Semiotika
 Asap menandai adanya api
d) Pendekatan Fenomenologi
 Upacara penguburan
E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan. Penulis sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Penulis minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi.
Akhirnya segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya dan menerangkan pikiran-pikiran kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Amiiiiin….
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogjakarta: Kanisius. 1995.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Sirozi, M., dkk. Arah Baru Studi Islam Indonesia Teori dan Metodologi. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media Group. 2008.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006.

________________________________________
[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42-43.
[2] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), cet.1. hlm. 100-101.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm: 43
[4] Abuddin Nata, Op cit, hlm. 46-48.
[5] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006 ), cet. 3. hlm. 11.
[6] Mariasusai Dhafamony, Fenomenologi Agama, (Yogjakarta: Kanisius, 1995 ), cet 1. hlm. 7.
[7] Ibid, hlm. 42-43.
[8]Armai Arief, Op cit, hlm. 101.
[9] Abudin Nata, Op cit, hlm. 47.
[10] Alex Sobur, Op cit, hlm. 12.
[11] Mariasusai Dhafamony, Op cit, hlm. 31.
[12] Abuddin Nata, Op cit, hlm. 43.
[13] M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam Indonesia Teori dan Metodologi, (Yogjakarta: Ar Ruzz Media,2008), cet. 1, hlm. 17-18.
[14] Mariasusai Dhafamony, Op cit, hlm. 42.

ULAMA

ULAMA
M. Nanang Qosim
1.    PENDAHULUAN
Ulama  yang  secara  leksikal  berarti  orang  yang  berpengetahuan    mempunyai kedudukan  yang  sangat penting  dan  strategis  dalam  masyarakat  Islam.  Kedudukannya yang  sangat  penting  tersebut,  tidak  saja  dikarenakan  fungsinya  sebagai  tempat  rujukan masyarakat  dalam  menghadapi  berbagai  persoalan  keagamaan  yang  mereka  hadapi, akan  tetapi  pada  masyarakat  tertentu  dan  pada  masa  tertentu  ulama  pun  mempunyai peran  yang  cukup  significan  dalam  masalah-masalah  sosial,  politik,  maupun kenegaraan.
Pentingnya  kedudukan  ulama  dalam  masyarakat  Islam  tersebut  pada  awalnya dilandasi  oleh  keterangan    dari    teks-teks  al-Quran  dan  al-Hadits.  Kemudian kandungan  dari  teks-teks  tersebut  menjadi  filosofi  dan  norma  yang  dianut  oleh masuarakat Islam sejak sepeninggalnya Rasulullah sampai sekarang. Di  dalam    Al-Quran  banyak  sekali  ayat-ayat  yang  menerangkan  kedudukan ulama di  sisi  Allah.  Dalam    surat  al-Mujadalah  Allah  SWT  berfirman  : “  Allah  akan mengangat  orang-orang  yang  beriman  dan  orang-orang  yang  berilmu  lebih  tinggi beberapa derajat “ . Bahkan dalam surat  Ali Imran ayat 18, Allah SWT menyebut diri-Nya  bersama  para  malaikat  dan  orang-orang  yang  berilmu    dalam  persaksian  akan keesaan-Nya.
Demikian  juga  banyak  sekali  hadits-hadits  nabi  yang  menjelaskan  tingginya kedudukan  ulama.  Salah satu  teks    yang  mendukung  posisi  di  atas  adalah  hadits nabi yang  berbunyi  ‘Innal  ‘Ulama  waratsah  al-anbiya ‘  (  sesungguhnya  ulama  adalah pewaris  para  nabi  ).  Menurut  Ibn  Hajar  Al-Atsqalani (773  -  852  ),  dalam Fath  al- Bary, hadits tersebut adalah  hadits yang ditemukan dalam beberapa kitab hadits, antara lain  dalam  kitab-kitab  Abu  Dawud,  Al-Turmudzy  dan  Ibnu  Hibban.  Hadits  ini dipandang shahih oleh  Al-Hakim, hasan oleh  Hamzah  Al-Kinany,  dan  dilemahkan oleh  para ulama  hadits  lainnya,  disebabkan  karena idhtirab,  kekacauan  dan kesimpangsiuran para perawinya. ( Ibn Hajar, 1959 : 169 )
Imam    Bukhari  menulis    hadits  di  atas  di  dalam  sahihnya,  tetapi  beliau  tidak menyatakan  bahwa  ungkapan  tersebut  adalah  hadits  Nabi  saw.  Pencantumannya  pada kitab tersebut  memberi arti bahwa ungkapan tersebut mempunyai dasar yang diperkuat oleh  al-Quran  dengan  firman Allah  : Kemudian K ami wariskan  al-Kitab  kepada  yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami ( Q.S 35 : 32 )
Untuk  mengetahui  siapakah  ulama  itu,  sebaiknya  kita membuka  lembaran  Al-Quran  dan  hadits.  karena  keduanya  banyak  membicarakan  hal  itu. Kata ‘ulama disebutkan  di  dalam  Al-Quran sebanyak  dua  kali. Pertama, dalam konteks ajakan  Al-Quran  untuk  memperhatikan  turunnya  hujan  dari  langit,  beraneka  ragamnya  buah-buahan,  gunung, binatang  dan  manusia  yang  kemudian  diakhiri  dengan  firmannya, Sesungguhnya yang takut kepada Allah di  antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (  Q.S  35 : 28  ) Ayat  ini menggambarkan bahwa  yang dinamakan ulama adalah  orang-orang  yang  memiliki  pengetahuan  tentang  ayat-ayat  Allah  yang  bersifat  kauniyah. Kedua,  dalam  konteks  pembicaraan  Al-Quran  yang  kebenaran  kandungannya  telah diakui oleh ulama Bani Israil ( Q.S 26 : 197 )
Berdasarkan  ayat  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  yang  dinamakan  ulama menurut  Al-Quran  adalah  mereka  yang  mempunyai  pengetahuan  tentang  ayat-ayat Allah,  baik  yang  bersifat kauniyah maupun quraniyyah,  dan  dengan  pengetahuan tersebut mereka mempunyai sifat khosyyah dan taqwa.
2.    BATASAN MASALAH
Hadits-hadits  nabi    yang  berkaitan  dengan  masalah  ulama  cukup  banyak ragamnya,  seperti  yang  berkaitan  dengan    kedudukannya,  karakteristiknya,  dan  tugas-tugasnya.  Karena  begitu  banyaknya  hadits-hadits yang  berkaitan dengan  ulama  dalam berbagai  aspeknya, maka pada   makalah ini penulis  hanya akan mencoba mengungkap salah satu aspek saja, yaitu bagaimana karakteristik-karakteristik ulama menurut hadits nabi.  Semua  hadits  nabi    yang  berkaitan  dengan  ulama  dikumpulkan  kemudian diklasifikasi  berdasarkan  masalahnya.  Setelah  itu  dianalisis  dan  dikaitkan  dengan masalah-masalah  yang  berkembang  sekarang.  Perlu  diketahui  pula  bahwa  dalam makalah  ini  tidak  dimasukkan  semua  hadits  yang  berkaitan  dengan  karakteristik ulama.  Pemakalah  hanya  membatasi  sebanyak  10  hadits  yang  dianggap  penting  dan mewakili.
3.    KARAKTERISTIK-KARAKTERISTIK  ULAMA  MENURUT  HADITS  NABI  DAN  UPAYA RELEVANSINYA
3.1.    Ulama yang mengamalkan ilmunya
1)    Bersabda Rasulullah SAW  :  “Orang  ‘alim,  ilmu,  dan  amal  ada di dalam  surga.  Jika seorang  ‘alim  tidak  mengamalkan  apa  yang  diketahuinya  maka  ilmu  dan  amalnya berada di surga,  sedangkan orang ‘alim tersebut ada di  dalam neraka “. (H.R Dailami )
2)    Bersabda  Rasulullah  SAW  : “  Seseorang  tidak  dikatakan  ‘alim  sebelum  dia melaksanakan apa yang diketahuinya “. ( H.R  Baihaqi dari Abi Darda )
3)    Bersabda Rasulullah  SAW : “ Di akhir  zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang fasik “. ( H.R  Hakim dari Anas )
4)    Bersabda Rasulullah SAW : “ Ilmu itu ada dua. Pertama ilmu di lisan.  Itu merupakan hujjah  Allah  pada  makhluknya.  Dan  kedua  ilmu  dalam  hati.  Itulah  ilmu  yang bermanfaat “. ( H.R Tirmidzy dari Jabir )
Kemampuan  seorang  ‘alim  untuk  melaksanakan  apa  yang  diketahuinya merupakan  indikasi  bahwa  pengetahuannya  tersebut  masuk  ke  dalam  hatinya.  Amal merupakan  buah  dari  ilmu.  Ilmu  dapat  dilihat  berbuah  atau  tidak  melalui  amal.  Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diwujudkan dengan amal perbuatan.
Seperti  telah  dijelaskan  pada  pendahuluan,  bahwa  yang  dimaksud  dengan ‘ulama  menurut  Al-Quran  adalah  mereka  yang  mempunyai  pengetahuan  apa  saja tentang  ayat-ayat  Allah  dan    dibarengi  dengan  sifat  khosyyah.    Maka  yang  dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat  adalah ilmu apa saja yang dengannya   dapat menjadikan seorang ‘alim lebih merasa takut dan taqwa kepada Allah. Ilmu yang dimilikinya dapat bermanfaat bagi dirinya  dan juga bermanfaat  bagi orang  lain. Ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya, apabila dia mampu melaksanakan; sedangkan bermanfaat bagi orang lain,apabila ilmu tersebut mampu menunjukkan orang lain kepada jalan kebaikan.
3.2.    Bersifat Wara
5)    Bersabda Rasulullah SAW  : “  Yang  celaka dari  ummatku  adalah  seorang  ‘alim  yang suka  maksiat  serta  seorang  abid  yang  bodoh.  Sejahat-jahatnya  orang  jahat  adalah orang  jahat  dari  kalngan  ulama.  Dan  sebaik-baiknya  orang  baik  adalah  orang  yang paling baik dari kalangan ulama “. ( H.R darimi dari Akhwash )
6)    Bersabda R asulullah  SAW  : “Sifat  adil  itu   baik,  tetapi  lebih  baik  jika  dimiliki oleh para  penguasa;  sifat  pemurah  itu  baik,  tetapi    lebih  baik  jika  dimiliki  oleh  para hartawan;  sifat  wara  itu  baik,  tetapi lebih  baik  jika dimiliki  oleh para  ‘ulama;  sabar itu baik, tetapi  lebih baik  jika dimiliki oleh  kaum papa; bertaubat itu baik,  tetapi lebih baik  jika  dimiliki  oleh  para  pemuda;  dan  pemalu  itu  baik,  tetapi  lebih  baik  jika dimiliki oleh kaum  perempuan “. ( H.R Dailami dari Umar )
Sifat wara merupakan  sifat  yang  harus selalu  melekat pada diri seorang  ulama. Wara  adalah  kemampuan  seorang  ‘alim  untuk  selalu  menjaga  diri  dari  kemungkinan terjerumus  pada  perbuatan-perbuatan  tercela.  Seorang  ‘alim  yang  melaksanakan ilmunya  dia  akan  bersifat  wara.  Dalam  hadits  di  atas  dijelaskan  bahwa  sifat  wara  itu baik,  akan  tetapi  lebih  baik  lagi  jika  dimiliki  oleh  ulama.  Pentingnya  seorang  ulama memiliki  sifat  wara  ini,  karena  ulama  merupakan  panutan  masyarakat.  Semua perbuatan  dan  tingkah  lakunya  akan  selalu  diperhatikan  dan  diikuti  oleh  ummatnya. Sehingga jika dia salah maka ummatpun akan mengikutinya.
3.3.    Tidak Ambisi terhadap Harta dan Kekuasaan
7)    Bersabda  Rasulullah  SAW  : “  Sejahat-jahatnya  ulama  adalah  ulama  yang mendatangi  penguasa.  Dan  sebaik-baiknya  penguasa  adalah  mereka  yang mendatangi ulama ". ( H.R Ibnu Majah dari Abu Hurairah )
8)    Bersabda Rasulullah SAW : “Para  ulama adalah  kepercayaannya  para  rasul selama mereka  tidak  berkecimpung  dengan    kekuasaan  serta  memasuki  keduniaan.  Jika mereka  berkecimpung  dengan  urusan  kekuasaan  serta  memasuki  urusan  keduniaan, maka mereka  telah mengkhianati       para rasul. Oleh karena itu hati-hatilah terhadap mereka. ( H.R Al-’Aqili dari Anas )
Hadits  di  atas  memberi  pengertian  kepada  kita  bahwa  diantara  karakteristik ulama adalah tidak    ambisi terhadap harta dan kekuasaan. Ungkapan “selama  dia  tidak bergaul dengan penguasa  dan  memasuku  urusan keduniaan “.  Kalau kita  mengambil pengertian  seperti  di  atas,  bagaimana  kalau  seorang  ulama  datang  kepada  penguasa dalam  rangka  membicarakan  ummat  atau  untuk  menasihati  penguasa  yang bersangkutan.  Hal  ini  tentunya bukan merupakan  perbuatan  terlarang  dan  bahkan  bisa dianggap  sebagai  perbuatan  terpuji.  Dan  dari  segi  lain  perbuatan  tersebut  jelas menguntungkan  ummat.  Kalau  seorang  ulama  tidak  mau  datang  kepada  penguasa dengan  alasan  hadits  di  atas,  maka  untuk  masa  sekarang  ini  akan  sangat  merugikan ummat  Islam  pada  umumnya.  Pemakalah  lebih  setuju  jika  ungkapan  di  atas diterjemahkan dengan  “ tidak  berambisi  pada  persoalan  kekuasaan  dan harta benda “.  Sebab  perbuatan ambisi  ini  dapat  menjerumuskan  seseorang  untuk  berbuat yang tidak terpuji.
3.4.    Ikhlas dalam beramal dan tidak bersifat dengki
9)    Bersabda Rasulullah SAW : “Janganlah kamu mempelajari ‘ilmu untuk merendahkan ‘ulama  serta  membingungkan  masyarakat  sehingga  arah  manusia  akan  berbalik padamu.  Maka  barang  siapa  yang  berbuat  demikian  ia  berada  dalam  neraka  “. ( H.R Ibnu Majah dari Jabir )
Ilmu  yang  dimiliki  oleh  seorang  ‘alim  hendaklah  digunakan  untuk  tujuan-tujuan  kebaikan  ummat,  bukan  hanya  untuk  kebaikan  bagi  dirinya  sendiri.  Seorang ‘alim  hendaklah  memanfaatkan  ilmunya  bukan  untuk  memperoleh  popularitas,  dan bukan pula untuk menyaingi sesama ulama lainnya.
3.5.    Bersikap amanah dalam menyampaikan ilmu
10)    Bersabda Rasulullah SAW :“  Barang siapa  yang ditanya  tentang  suatu pengetahuan kemudian  dia  menyembunyikannya,  dia  pada  hari  kiamat  akan  dikendalikan  dengan kendali dari neraka “. ( H.R Abu Dawud dari Tirmidzy )
Seorang  ‘alim  hendaklah  menyampaikan  pengetahuan  yang  ia  ketahui  kepada orang lain yang membutuhkannya. Pengetahuan adalah anugrah Allah yang merupakan milik  ummat.  Semua manusia  berhak  untuk  menikmati  dan  mendapatkan  petunjuk dari  ilmunya  seorang  ulama.  Berdasarkan  hadits  di  atas  bahwa  seorang  ulama  yang menyembunyikan  ilmunya  maka Allah  SWT  akan  mengendalikannya  dengan  kendali api neraka di akhirat nanti. ( H.R Abu Dawud dari Tirmidzy )
4.    KESIMPULAN
Dengan  melihat  beberapa  hadits  Rasulullah  di  atas  kita  bisa  melihat  bahwa karakteristik- karakteristik ulama adalah sbb :
1.    mengirinya  ilmu yang diketahuinya dengan perbuatan-perbuatan nyata
2.    bersikap wara
3.    tidak ambisi pada kekuasaan dan harta dunia
4.    bersikap ikhlas dan tidak dengki
5.    bersikap amanah dalam menyampaikan ilmu






DAFTAR PUSTAKA
Bukhary ( 1996 ) Shahih Bukhari, Beirut : Darul-Fikr
Ghazali,  Abu  Hamid  Muhammad  bin  Muhammad Ihya  ‘Ulum  al-Din, Juz  I Beirut  : Darul-Fikr.
Hasyimy  bek  ,  Ahmad    (  1948  )  Mukhtaru  al-Ahadits  Nabawiyyah  wal  Hikam  al-Muhammadiyyah. Indonesia : Maktabah Dar al-Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah.
Nawawy,  Muhyiddin  Abi  Zakaria  Yahya  (  1938  )  Riyadush  Sholihin  min  Kalamil-
Mursalin, Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby
Quraish Shihab ( 1995 ) Membumikan Al-Quran, Bandung : Mizan